PROFESI mentereng advokat mulai tertutup untuk sarjana-sarjana hukum yang baru lulus. Sejak awal tahun ini, misalnya, wilayah Yogyakarta telah dinyatakan tertutup bagi advokat baru. Sebelumnya, diam-diam Menteri Kehakiman telah pula menginstruksikan tidak ada lowongan bagi advokat baru di wilayah DKI Jakarta, yang konon telah dihuni sekitar 700 orang advokat. Pembatasan serupa, kabarnya, juga akan diberlakukan di kota-kota besar lainnya, seperti Medan, Surabaya, dan Bandung. Pembatasan itu bukan saja mengagetkan para calon advokat baru, tapi juga merisaukan para advokat dan pengurusnya. Di Yogyakarta, jumlahnya dibatasi 50 orang, sesuai dengan formasi yang ditetapkan oleh Departemen Kehakiman. "Kami akan meminta agar kesempatan untuk menjadi advokat dibuka kembali, sebab jumlah advokat yang kini berpraktek di Yogyakarta sebenarnya tidak sampai 50 orang," kata Ketua Ikadin Yogyakarta, Soewartini Martodihardjo. Perbedaan data itu, menurut Soewartini, terjadi akibat beberapa advokat yang sudah diangkat ternyata tidak lagi berpraktek. "Ada yang berhenti karena sudah tua, pindah kota, atau menjadi anggota DPR," tutur Soewartini. Kecuali itu, kata Soewartini, di daerahnya dengan penduduk 3 juta, paling sedikit dibutuhkan sekitar 60 orang advokat, 60 orang pengacara praktek (pokrol), serta Lembaga Bantuan Hukum. "Kebutuhan itu sejalan dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat serta tingkat pertumbuhan penduduk," ujar pengacara wanita itu. Para pengacara Yogyakarta juga berpendapat, profesinya itu tidak perlu diberi pembatasan semacam itu. "Sebaiknya kesempatan menjadi advokat itu dibuka seluas-luasnya, biarkan masyarakat yang menyeleksi mana advokat yang bermutu dan mana yang tidak," ujar Jeremias Lemek. Rekannya Kamal Firdaus menambahkan, "Kalau dibatasi akibatnya tarif advokat akan naik." Semua kekhawatiran pengacara itu dibantah oleh Ketua Pengadilan Tinggi Yogyakarta, Asmuni. "Yang penting maksud kebijaksanaan itu. Kalau ada meja yang bisa diangkat 2 orang, mengapa harus diangkat 10 orang?" katanya. Untuk mengecek kebenaran data Ikadin, tentang tidak semua advokat benar-benar berpraktek, kata Asmuni, pihaknya akan melakukan pendataan ulang. "Kalau memang ada advokat yang tidak aktif lagi, kami akan mencabut surat pengangkatannya," kata Asmuni lagi. Selain itu, ia juga akan menertibkan advokat-advokat yang berprofesi ganda. "Mereka akan disuruh memilih, apakah jadi advokat atau profesi lain," tambahnya. Sekjen Kehakiman, Moh. Salim, mengatakan kebijaksanaan Menteri Kehakiman itu semata-mata bertujuan untuk pemerataan advokat di berbagai daerah. "Sebab, dari data yang ada ternyata di kota-kota besar advokat menumpuk, sementara di daerah-daerah tertentu malah tidak ada sama sekali," katanya. Dalam catatan Departemen Kehakiman memang banyak daerah yang mempunyai formasi puluhan advokat ternyata hanya dihuni beberapa orang advokat atau bahkan tidak ada sama sekali. Di Banda Aceh, Mataram, Palangkaraya, dan Bengkulu, yang punya formasi sekitar 20 sampai 30 advokat, misalnya, ternyata tidak seorang pun advokat yang tercatat berpraktek di sana. Sementara itu, Jayapura, Palu, Jambi, hanya dihuni masing-masing seorang advokat. Sebaliknya, di ibu kota Jakarta dari formasi 600 orang telah diisi sekitar 700 orang advokat. "Padahal, banyak sekali perkara di daerah-daerah itu yang perlu ditangani oleh advokat atau penasihat hukum," kata Moh. Salim. Namun, ketentuan menteri itu, ternyata menurut Ketua Umum DPP Ikadin, Harjono Tjitrosoebono, sudah disetujui organisasinya. "Pada prinsipnya, kami setuju dengan konsep Menteri agar advokat juga menyebar di daerah-daerah," katanya. Hanya saja ia berharap agar advokat muda yang ditempatkan di daerah terpencil mendapatkan insentif dari pemerintah, paling kurang selama dua tahun pertama mereka berpraktek. "Sebab, jelas advokat yang bekerja di daerah itu, berbeda dengan profesi dokter, bukan pegawai negeri," tambah Harjono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini