Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Vonis-vonis yang batal

12 putusan pengadilan negeri dikembalikan pengadilan tinggi sumatera utara. karena putusan perkara itu disidangkan dengan hakim tunggal. vonis itu dibatalkan dan harus diulang.

14 Maret 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GARA-GARA jumlah hakim tidak mencukupi, sejumlah perkara yang sudah divonis harus diulangi sejak awal lagi. Ini terjadi di Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan, yang mengembalikan sekaligus membatalkan 12 putusan pengadilan negeri di wilayahnya, Februari lalu. "Repot memang. Tapi karena mereka menyidangkannya main hakim sendiri," kata Djazuli Bachar, 57, Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, kepada TEMPO. Yang dimaksud Djazuli main hakim sendiri, karena perkara tersebut disidangkan dengan hakim tunggal. Dan rekapitulasi putusan yang dibatalkan itu tampak dalam laporan Pengadilan Tinggi, yang disusun akhir bulan lalu, berdasarkan persidangan sepanjang 1986. Djazuli kelihatan tak puas dengan keadaan itu. Berulang kali dia mengingatkan pada ketua pengadilan negeri di seluruh Sum-Ut, agar mempedomani UU No. 14/1970 pasal 15, dan surat edaran Mahkamah Agung tertanggal 20 Februari 1986. Isinya antara lain: perkara biasa disidangkan harus dengan majelis. Artinya, persidangan dihadapi 3 hakim. Tak boleh tunggal. "Ini prinsipiil," katanya. Kekesalan Djazuli bisa dimaklumi. Perintah seperti ini bukan baru sekali ini dia lakukan. Belum setahun jadi ketua pengadilan tinggi di Medan, dia, pada Agustus 1985 sudah memerintahkan Mukmin Yus Siregar, 52, ketika itu Ketua Pengadilan Negeri Padangsidempuan, untuk menyidangkan kembali Nirwan Hasibuan, yang sudah divonis 4 bulan lantaran membunuh Ipong. Untung, Jaksa T. Ginting banding, hingga ketahuan perkara itu diputus akhir Maret 1985 dengan hakim tunggal Mukmin. Rupanya, perintah itu dianggap "enteng" oleh Mukmin, yang kini jadi hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan. Mukmin mengontak Nirwan yang segera mengajukan kasasi. Permohonan kasasi itu tentu saja dianggap Djazuli tak relevan. "Keputusan sela kok dikasasi," kata Djazuli. Tapi Mukmin punya alasan mengapa kasus Nirwan tidak disidangkan oleh sebuah majelis. Dia waktu itu, katanya, hanya membawahkan 2 hakim. Padahal, di sana ada 7 tempat persidangan yang tersebar di beberapa kecamatan. "Jadi, apa boleh buat. Kami kekurangan hakim," kata Mukmin tegas. Dari 12 putusan yang dikembalikan oleh pengadilan tinggi, 7 memang berasal dan wilayahnya. Sejak kasus itu, jumlah hakim di Pengadilan Negeri Padangsidempuan ditambah jadi 7 orang. Jumlah ini toh belum dianggap cukup. "Mestinya, ya, ada 12 hakim, hingga bisa jadi 4 majelis," kata Mukmin. Jumlah itu, menurut Mukmin, sesuai dengan kebutuhan sebuah pengadilan negeri kelas II-A, yang mesti memiliki 13 hakim (termasuk ketua dan wakil ketua pengadilan), sebagaimana diatur oleh surat keputusan Menteri Kehakiman, 4 Agustus 1977. Kekurangan hakim memang bukan cuma terjadi di Padangsidempuan. Hal serupa terjadi juga di Pengadilan Negeri Tarutung yang 3 putusannya mesti diulangi. Di pengadilan kelas II-A ini, pada 1986 hanya ada 5 hakim untuk melayani 6, tempat persidangan yang tersebar dan dipisah medan berat. Artinya, hanya tersedia 1 majelis dengan sisa 2 hakim. "Kami jadi 7 pontang-panting. Dan sesekali, sidang berlangsung dengan hakim tunggal," kata L.S.M. Sitorus, 49, humas Pengadilan Negeri Tarutung. Persidangan dengan hakim tunggal tersebut, menurut Sitorus, diperlakukan untuk perkara singkat yang sudah memperoleh izin MA. Persoalan sebenarnya, kata Ketua Pengadilan Tinggi Djazuli Bachar, memang bukan pada soal jumlah hakim. Tapi terletak pada penafsiran hakim tentang jenis perkara biasa dan perkara singkat. Sebab, pengembalian perkara, yang sempat divonis hakim tunggal, bukan saja menyangkut daerah yang kekurangan tenaga hakim. Pengadilan Pematangsiantar dan Kisaran pun masing-masing memperoleh 1 berkas. "Izin MA untuk hakim tunggal hanya mengenai perkara singkat. Perkara biasa harus dengan majelis," kata Djazuli. Dengan kata lain, semua vonis yang dikembalikan ke pengadilan negeri itu adalah perkara biasa. Pertanyaannya kemudian: "Bagaimana kalau 'terpidana' merantau setelah "bebas"? "Terpidana yang tak sah itu harus dicari sampai dapat," kata Djazuli. "Itu risiko." Djazuli tidak bisa menerima alasan kurangnya jumlah hakim menyebabkan pengadilan terpaksa memakai hakim tunggal dalam menangani perkara biasa. "Sekurang-kurangnya hakim di pengadilan, toh masih ada lebih dari tiga orang hakim dan itu cukup untuk membentuk majelis," katanya. Ia juga tidak bisa menerima kalau dikatakan kebijaksanaannya itu akan menyebabkan banyak perkara tertunda. "Biar perkara tertunda, itu salah siapa? Mereka harus sabar menunggu droping hakim," kata Djazuli. Apa pun keputusan Djazuli dan alasan pengadilan negeri, tampaknya persoalan memang rumit. Sehingga, memang perlu dipecahkan segera, agar orang yang terlibat perkara tak menjadi korban.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus