INI agaknya "permainan" lain dari Lobak Chendra, Direktur Utama PT Bank Pasar Dwimanda. Setelah menggemparkan karena membawa lari uang nasabahnya sekitar Rp 20 milyar, diam-diam ia telah mengalihkan pemilikan rumahnya, di Jalan Gunawarman 34, Jakarta, kepada orang lain, Him Benaya Mursalim Yusuf. Lebih mengagetkan, pengalihan hak milik atas rumah itu, ternyata, telah dikukuhkan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Djadi Widjojo, pertengahan Februari lalu. Padahal, rumah itu, yang konon berharga hampir Rp 1 milyar, satu-satunya milik Lobak yang diharapkan nasabah bisa "dilego" untuk mengganti sebagian uang mereka. Harapan nasabah untuk sekadar mendapat uang "obat kecewa" semakin sirna, karena rumah megah itu sekarang sudah ditempati oleh Kantor Pengacara Sidambaran Wairo, penasihat hukum Mursalim Yusuf tadi. Di kantor itu juga kini bergabung bekas Deputi Kapolri, Letjen Pol (pur) Pamudji. Penjualan rumah, secara diam-diam dan di bawah tangan, itu kini dituduh para nasabah Bank Dwimanda, dan juga Pengacara Kaligis -- kuasa pemegang Saham Dwimanda, Atit Chandra -- sebagai permainan kotor. "Itu bukan permainan kotor lagi, tapi sangat kotor," ujar Ketua I Panitia Likuidasi Bank Pasar Dwimanda, Hamonangan Siagian. Harapan nasabah untuk memperoleh uang kembali sedikitnya dari rumah milik Lobak tampaknya bakal sia-sia. "Rumah itu memang sudah menjadi hak milik klien saya, sejak sebelum Lobak kabur," kata Wairo, yang kini menempati rumah itu. Menurut Wairo, rumah seluas 669 m2 itu sebenarnya sudah dibeli oleh kliennya Mursalim, yang menjadi pedagang ikan hias, sejak Juni 1986, dengan harga Rp 750 juta. Hanya saja, katanya, kendati sudah dibayar lunas, Lobak tetap mendiami rumah itu. Surat perjanjian jual belinya pun mirip dengan surat pinjam meminjam biasa. Artinya,kalau Lobak tidak melunasi utangnya Rp 750 juta, sampai akhir Desember, rumah itu akan jatuh menjadi milik Mursalim. Sebab, kata Wairo, ketika itu Lobak masih ingin membeli kembali rumah itu. Ternyata, tutur Wairo, ketika tanggal yang dijanjikan tiba, 26 Desember lalu, Mursalim mendapat telepon dari istri lobak agar mengambil rumahnya. Kuncinya, kata istri Lobak, sudah mereka titipkan kepada pembantu yang menunggu rumah tadi. Mursalim pun, cerita Wairo, segera datang ke rumah di Jalan Gunawarman itu. Di rumah itu Mursalim hanya mendapatkan perabotan berupa kursi, tempat tidur, AC, serta akurium, yang konon ikannya sudah pada mengambang. Karena Mursalim masih mempunyai rumah lain, masih cerita Wairo, ia tidak segera pindah ke rumah itu. Beberapa hari kemudian muncullah kabar bahwa Lobak sudah kabur. Mursalim pun konon panik karena jual beli rumah itu belum diaktakan di notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). "Karena itu ia datang kepada kami dan minta persoalannya diselesaikan," tutur Wairo. Pengacara itu, setelah mengajukan permohonan ke pengadilan, berhasil mendapatkan pengesahan hak milik kepada kliennya. Cerita Wairo itu tidak dipercayai sedikit pun oleh para nasabah Bank Dwimanda dan Kaligis. Sebab, kata Kaligis, sampai 29 Desember, rumah itu masih ditempati Lobak Chendra. "Ketika itu saya menelepon ke rumah itu, yang mengangkat telepon mengaku pembantu dan mengatakan 'Tuan dan Nyonya lagi ke luar'," ujar Kaligis. Kaligis menganggap semua cerita tentang jual beli rumah itu hanya permainan orang-orang yang ingin mendapat keuntungan dari kaburnya Lobak. "Kalau begitu caranya, 'kan sama saja mereka itu menari-nari di atas mayat orang lain," ujar Kaligis, yang telah meminta jasa Polri dan Opstibpus mengatasi soal itu. Pengacara itu malah menyayangkan sikap pengadilan yang tetap saja mengesahkan jual beli di bawah tangan itu, padahal sudah tahu nasahah Bank Dwimanda panik akibat Lobak kabur. "Putusan hakim itu mengundang tanda tanya," katanya. Ia malah khawatir ada "mafia" yang mengatur semua permainan itu. "Bisa saja setelah ini tiba-tiba Agraria mengeluarkan akta balik nama atas rumah itu. Sebab itu, saya sarankan para nasabah buru-buru mengajukan bantahan ke pengadilan," kata Kaligis. Ketua Likuidasi Bank Dwimanda, Hamonangan Siagian, sependapat dengan Kaligis. "Semua Jual beli itu hanya tipuan saja, mana mungkin pedagang ikan hias sanggup membeli rumah semahal itu," katanya. Menurut Hamonangan, Lobak ternyata tidak berbuat sendiri memperdayai nasabahnya. "Ia memang sudah lari keluar negeri, tapi komplotannya masih ada di sini," ujar Hamonangan. Wakil para nasabah itu khawatir semua kekayaan Lobak, nantinya, akan dialihkan dengan cara-cara seperti pengalihan rumah itu. Sebab itu, ia selain ke Opstibpus juga akan ke DPR mengadukan nasib para nasabah. Ketua majelis hakim, Djadi Widjojo, tidak bersedia menanggapi berbagai tuduhan terhadap hakim dalam memutuskan perkara itu. "Kami belum sampai meninjau ke materi perkara, dan baru memeriksa syarat-syarat formalnya," kata Djadi. Ia mengaku tahu Lobak sudah buron tapi tetap mengesahkan jual beli itu. Sebab, katanya, ia sudah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan undang-undang, yaitu melakukan pemanggilan sebanyak tiga kali. Ternyata, katanya setelah melakukan tiga kali pemanggilan kepada Lobak -- dua kali melalui kelurahan dan sekali melalui koran -- "ternyata ia tidak pernah datang." Karena syarat pemanggilan sudah terpenuhi, kata Djadi, ia memutuskan perkara itu secara verstek (keputusan tanpa kehadiran pihak yang dikalahkan). Berdasarkan putusan itu, pihak Lobak, yang dikalahkan masih bisa mengajukan perlawanan (verzet) dalam waktu 2 minggu setelah putusan. "Jika tidak ada perlawanan dalam tenggang waktu itu, berarti vonis itu sah,"kata Djadi. Ternyata sampai pekan lalu memang belum ada perlawanan. Rapi, 'kan ? Karni Ilyas, Laporan Erlina Soekarno & Agus Sigit (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini