Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMISI Pemberantasan Korupsi menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang saat ini tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. Penolakan dilakukan karena pemerintah dan DPR ngotot memasukkan delik korupsi. KPK menilai masuknya delik itu bakal melemahkan mereka dan upaya pemberantasan korupsi. Kepada Tempo, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menjelaskan posisi lembaganya terhadap Rancangan KUHP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenapa KPK menolak Rancangan KUHP?
Ada beberapa alasan. Salah satunya adalah kekhususannya itu. Tindak pidana korupsi dianggap spesial, tidak bisa didekati secara makro. Modusnya selalu berkembang.
Sejauh mana lembaga Anda terlibat dalam penyusunan rancangan tersebut?
KPK diundang dan kami ikut pertemuan di Kementerian Hukum dan HAM sekitar akhir 2017. Saya yang hadir. Tim perumus waktu itu mengatakan salah satu semangat kodifikasi adalah menyatukan tindak pidana di luar KUHP. Mereka bilang tidak akan masuk semua, hanya core crime-nya.
KPK akhirnya memilih tidak banyak terlibat dalam pembahasan rancangan ini?
Awalnya kami selalu ikut pembahasan. Tapi pada suatu waktu, ketika semua masukan dari KPK tidak pernah diterima, apa gunanya kami terlibat? Kami khawatir keberadaan KPK nantinya akan melegitimasi delik korupsi dalam rancangan itu.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode Muhammad Syarif: Banyak Pasal yang Menguntungkan Koruptor
Sikap KPK ketika itu?
Kami sejak awal menghendaki aturan korupsi tak ada di KUHP. Cukup dibuat satu pasal penghubung ke Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ide ini tidak terpakai hingga pembahasan berikutnya.
Setelah itu, KPK tidak pernah lagi terlibat?
Kami menyampaikan sikap melalui surat kepada tim pemerintah dan DPR. Sampai lima kali dan itu ditembuskan ke Presiden. Terakhir, kami menulis surat kepada Presiden untuk bertemu agar bisa menjelaskan posisi KPK. Ini bisa melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Mengenai delik korupsi ini, apa sebenarnya kekhawatiran KPK?
Ada hal yang betul-betul membuat kami takut. Di Undang-Undang KPK disebutkan kewenangan KPK menyelidiki, menyidik, dan menuntut tindak pidana korupsi seperti diatur Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan banyak delik korupsi pindah ke KUHP, apakah kami bisa melakukan kewenangan tersebut? Ini bisa menjadi persoalan dan bahan gugatan di pengadilan. Ini juga bisa menyulitkan pemberantasan korupsi.
Pasal-pasal apa saja dalam Rancangan KUHP yang dianggap bisa menyulitkan pemberantasan korupsi?
Dari draf terakhir, ada enam pasal yang diambil dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Misalnya ancaman hukuman dan denda lebih rendah dalam rancangan ini ketimbang Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Pertanyaannya adalah ada aturan yang sama persis di dua undang-undang ini.
Menurut sejumlah kalangan, rancangan ini juga menghilangkan uang pengganti.…
Ini juga menjadi ketakutan kami. Dari draf terakhir yang kami terima memang tiada diatur. Selama ini uang pengganti bisa menjadi asset recovery. Kalau denda ada batasannya. Uang pengganti ini bisa kita hitung dari keuntungan dan bunga.
Seberapa penting pasal-pasal itu bagi KPK dan pemberantasan korupsi?
Ada pasal suap yang banyak digunakan KPK untuk mempidanakan tersangka. Misalnya, di Undang-Undang Pemberantasan Korupsi ada ancaman seumur hidup. Dalam rancangan ini hanya sampai maksimal lima tahun. Bayangkan saja kalau ini terjadi. Orang seperti bekas Ketua Mahkamah Konstitusi (Akil Mochtar, yang tertangkap menerima suap) paling hanya dihukum lima tahun, bukan seumur hidup. Jadi yang senang para koruptor. Banyak pasal yang menguntungkan mereka.
Apa bahayanya jika ada dua ketentuan yang sama dalam Rancangan KUHP yang sifatnya umum dan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi yang khusus?
Jaksa dan penyidik mau pakai mana? Kalau KPK nantinya pakai KUHP, bisa dipersoalkan kewenangannya. Di pengadilan akan terjadi kekacauan penafsiran.
Bagaimana dengan norma hukum yang menyebutkan undang-undang seperti KUHP yang mengatur secara umum bisa diabaikan ketika ada undang-undang pidana khusus?
Norma itu memang ada. Tapi dalam Rancangan KUHP ini ada pasal 3 yang menyebutkan, ketika terjadi perubahan aturan, yang digunakan adalah undang-undang yang baru. Ada konflik norma di sini. Ini yang kami sebut tidak konsisten.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo