Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tambal Sulam Kawasan Pertumbuhan

Pengembangan sejumlah kawasan ekonomi khusus meleset dari target. Persoalan lahan masih jadi kendala.

23 Juni 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tambal Sulam Kawasan Pertumbuhan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU komitmen sudah cukup untuk menyelamatkan muka Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara. Janji itu berasal dari empat pemodal pada pertengahan Mei lalu. Di depan Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), mereka bersedia membenamkan investasi di Kawasan Ekonomi Khusus Bitung. "Gara-gara komitmen mereka, Dewan Nasional memutuskan status KEK Bitung tetap dilanjutkan," kata Jhoni W.T. Lengkey, akhir Mei lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jhoni adalah Direktur Operasional PT Membangun Sulut Hebat (MSB), badan usaha milik pemerintah provinsi yang mengurus KEK Bitung. Perusahaan ini mendapat mandat pada akhir 2017, tiga tahun setelah pemerintah pusat menetapkan Bitung sebagai kawasan ekonomi khusus. Sebelum MSB berdiri, pemerintah provinsi menggarap sendiri kawasan tersebut. Inilah yang membuat pengembangan kawasan Bitung berjalan bak siput. "Kami mengevaluasi kesiapan mereka sejak tahun lalu," kata Bambang Wijanarko, Kepala Bagian Pengelolaan Informasi Dewan Nasional KEK.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Evaluasi itu berujung teguran. Puncak evaluasi terjadi pada 18 Mei lalu. Saat itu Dewan Nasional memanggil direksi MSB. Dewan menanyakan apakah target pengoperasian KEK Bitung perlu diperpanjang. Mengacu pada Undang-Undang Kawasan Ekonomi Khusus, KEK semestinya sudah beroperasi paling lama tiga tahun sejak ditetapkan. Bila KEK belum siap, Dewan bisa memberi perpanjangan maksimal dua tahun. "Kalau sampai 21 Mei tidak ada kegiatan, akan diperpanjang atau disetop sama sekali," kata Jhoni. "Makanya saya bawa empat calon investor."

Empat pemodal itu adalah PT Bakrie Mina Bahari, pengusaha minuman asal Surabaya, pengusaha bijih plastik asal Cina, dan perusahaan yang bergerak dalam bisnis penyimpanan bahan bakar. Di hadapan Dewan Nasional, yang diketuai Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, keempatnya menyatakan bersedia berinvestasi di Bitung. "Komitmen investasi empat investor ini Rp 3,44 triliun," ujar Jhoni.

Strategi mendatangkan empat investor itu terbukti manjur. Dewan Nasional menganggap KEK Bitung sudah punya sedikit kemajuan. Pada 10 Agustus mendatang, Presiden Joko Widodo akan melakukan groundbreaking KEK Bitung, yang sebagian lahannya kini sedang diratakan.

l l l

KAWASAN Ekonomi Khusus Bitung bukan satu-satunya KEK yang pengembangannya meleset dari target. Ada tiga kawasan lain yang jadwal operasinya tertunda, yakni KEK Morotai di Maluku Utara, Tanjung Api-Api di Sumatera Selatan, dan Maloy Batuta Trans Kalimantan di Kalimantan Timur. "Semua dikasih teguran," tutur Bambang Wijanarko.

Empat KEK itu sudah ditetapkan lewat peraturan pemerintah sejak 2014 dan ditargetkan beroperasi pada 2017. Kawasan spesial ini digadang-gadang menjadi pemanis buat menarik investor. Tujuannya untuk menghidupkan perekonomian setempat agar kemajuan antardaerah terjaga. Tapi pengembangan semua kawasan meleset dari target yang dijadwalkan.

Dewan Nasional KEK menemukan pengembangan sejumlah kawasan itu molor karena pengembang sulit menguasai lahan. Masalah makin runyam ketika pihak pengusul adalah pemerintah daerah. Pemerintah daerah atau badan usaha milik daerah dianggap belum mampu menjual dan mengembangkan kawasan. "Mereka masih harus menyesuaikan diri bagaimana mendatangkan investor," ucap Wahyu Utomo, Deputi Bidang Koordinasi Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Perekonomian, yang merangkap Ketua Tim Pelaksana Dewan Nasional KEK. Dari empat KEK yang pengoperasiannya tertunda tersebut, tiga kawasan dikelola pemerintah daerah dan badan usaha daerah setempat. Hanya Morotai yang dikembangkan swasta, yaitu Grup Jababeka.

Sebelum PT Membangun Sulut Hebat mendapat mandat, misalnya, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara berkutat pada masalah lahan. Pemerintah provinsi awalnya mencanangkan KEK Bitung berdiri di atas lahan seluas 534 hektare. Gara-gara konflik kepemilikan tanah dengan warga di area tersebut, hingga tahun lalu baru 92,96 hektare lahan yang bisa dibebaskan. "Awal Mei lalu kami dapatkan sertifikat hak pengelolaan lahannya," ujar Jhoni Lengkey. Lahan itulah yang kini dijajakan kepada para investor. "Lahan sisanya akan kami bebaskan bersama rekan bisnis."

Selain masalah lahan dan pengembang, Dewan Nasional KEK mencatat ada perkara lokasi yang mempengaruhi kawasan berkembang. Kondisi itu terjadi di Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Lesung di Pandeglang, Banten. "Tanjung Lesung ini agak terlambat karena jaraknya jauh sekali," ucap Wahyu. Kawasan yang menjual potensi wisata ini berada di ujung barat daya Pulau Jawa.

Grup Jababeka mengembangkan Tanjung Lesung sebagai kawasan pariwisata terintegrasi sejak 1991. Pada 2012-tiga tahun setelah Undang-Undang Kawasan Ekonomi Khusus terbit-Tanjung Lesung mendapat status KEK. Nyatanya, status dengan sederet insentif itu tak kunjung menarik banyak investor. "Kami masih sulit jualan karena akses ke sana terbatas," kata Setyono Djuandi Darmono, pendiri sekaligus Chairman Grup Jababeka, di kantornya di Jakarta, akhir Mei lalu.

Tanjung Lesung termasuk terisolasi. Jarak menuju jalan tol terdekat, yaitu Jakarta-Merak, 100 kilometer lebih via gerbang Serang Timur. Harapan muncul saat Presiden Joko Widodo meresmikan beroperasinya Tanjung Lesung sebagai kawasan ekonomi khusus pada Februari 2015. Saat itu, kata Darmono, Jokowi menanyakan kenapa Tanjung Lesung "gitu-gitu aja". "Saya bilang, 'Kalau ada tol, beres semua, Pak'," ujar Darmono kepada Presiden Jokowi.

Presiden langsung memerintahkan pembangunan segera jalan tol yang menyambungkan Serang dengan Tanjung Lesung. Respons tersebut, kata Darmono, berkebalikan dengan reaksi pemerintah daerah yang ia dapatkan sebelumnya. "Selama ini pemerintah daerah menganggap pengembangan akses tanggung jawab pengembang," ujarnya.

Konsorsium PT Wijaya Karya Serang Panimbang (WSP) kini sedang menggarap jalan tol Serang-Panimbang. Jababeka punya sebagian kecil saham dalam perkongsian ini. Tapi WSP hanya menggarap 50,677 kilometer dari total panjang jalan tol 83,7 kilometer. Sisa 33 kilometer digarap dengan skema kerja sama pemerintah-badan usaha menggunakan availability payment. Pemerintah menargetkan jalan tol itu selesai pada 2019.

l l l

SAMA-sama menjual kawasan pariwisata, nasib Mandalika di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, lebih mujur ketimbang Tanjung Lesung. Padahal keduanya sama-sama sempat terbengkalai. "Dulu kami belum memprioritaskan pengembangan Mandalika. Kami masih berfokus di Nusa Dua, Bali," kata Direktur Utama PT Indonesia Tourism Development Corporation Abdulbar Mansoer, awal Juni lalu.

Sejak Mandalika ditetapkan sebagai kawasan ekonomi khusus pada 2014, peruntungannya berubah. Hotel-hotel kecil tumbuh di sekitar pantai. Warung-warung muncul. Banyak wisatawan pelesiran. Investor berdatangan menyewa tanah dan membangun hotel serta kawasan hiburan. "Mereka datang setelah kami memulai investasi sendiri," kata Berry-sapaan akrab Mansoer.

Mandalika kini jadi anak emas Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus. Menurut Wahyu Utomo, kesuksesan Mandalika adalah buah kombinasi antara pengembang yang kompeten dan lahan yang sudah beres.

Adapun anak emas kedua adalah Sei Mangkei, kawasan ekonomi khusus usulan PT Perkebunan Nusantara III (Persero) di Simalungun, Sumatera Utara. Kawasan ini ditetapkan pemerintah sebagai KEK pada 2012 dan mulai beroperasi pada Januari 2015. "Sei Mangkei juga bisa cepat karena sejak awal lahannya milik PTPN III," ujar Wahyu.

Di area seluas 1.933,8 hektare ini, PTPN III mengembangkan kawasan industri berbasis kelapa sawit dan karet. PTPN III menargetkan aliran modal sebesar Rp 123,3 triliun dari investor. Tapi kini baru ada komitmen senilai Rp 10,64 triliun. "Awalnya memang kawasan yang kami siapkan untuk industri hilir kami," kata Sekretaris Perusahaan PTPN III Andi Santoso di Jakarta, awal Juni lalu. "Sekalian saja kami kembangkan."

Salah satu investor awal di Sei Mangkei adalah PT Unilever Indonesia Tbk. Di tengah-tengah kebun sawit itu, Unilever mendirikan fasilitas oleochemical, yang pada November 2015 mulai beroperasi. "Saat ini kapasitas produksi kami sekitar 250 ribu ton per tahun," kata Endy Julisetiawan, Direktur PT Unilever Oleochemical Indonesia, awal Juni lalu.

Sebagai investor pertama di luar pengembang, Unilever merasakan betul tambal sulam kawasan ekonomi baru itu. Menurut Endy, beberapa pembangunan infrastruktur kawasan baru digarap bersamaan dengan pembangunan pabrik Unilever. "Bahkan dalam beberapa hal kemajuan pembangunan pabrik lebih cepat," katanya. Salah satunya, ketersediaan listrik dan gas.

Tapi Endy bisa sedikit lega. Dengan segala keterbatasan di awal, perusahaannya masih menangguk untung karena lokasi mereka dekat dengan pasokan bahan mentah, yaitu minyak dan minyak inti sawit. "Ini memudahkan kami memperoleh pasokan dari sumber-sumber yang bisa kami telusuri asal-usulnya," ucap Endy. Sekitar 70 persen bahan baku Unilever berasal dari perkebunan sawit milik PTPN III.

Melihat sudah adanya sedikit kemajuan di Mandalika dan Sei Mangkei, Dewan Nasional punya strategi baru. Agar kawasan cepat beroperasi, kata Wahyu Utomo, setiap pengusul harus menguasai tanah lebih dulu dan sudah ada badan pengelola, tidak asal memberi usul.

Khairul Anam, Suprianto Khafid (Lombok)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus