Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESKI mendapat penolakan dari sana-sini, pemerintah berkukuh memasukkan delik korupsi ke Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tim perumus beralasan masuknya pasal-pasal itu adalah upaya kodifikasi untuk menjadi jembatan ke Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tanpa menghilangkan kekhususannya atau lex specialis. Dua pekan lalu, kepada Linda Trianita dari Tempo, anggota tim perumus pemerintah yang juga Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Enny Nurbaningsih, mengungkapkan alasan masuknya delik korupsi ke rancangan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenapa pemerintah ngotot memasukkan delik korupsi ke Rancangan KUHP?
Ini karena tindak pidana berkembang sedemikian rupa. Untuk tindak pidana khusus, yang dimasukkan core crime dan diberi judul tindak pidana khusus sehingga sifat kekhususannya tetap melekat. Rancangan ini rekodifikasi untuk mengkonsolidasikan kembali hukum pidana nasional.
KPK menolak opsi itu dan mengusulkan dibuatkan saja satu pasal penghubung (bridging) di Rancangan KUHP ke Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Justru inilah (delik korupsi) yang bakal menjadi penghubung ke undang-undang tindak pidana khusus, misalnya korupsi. Jadi yang ada di Rancangan KUHP ini hanya core.
Kajian KPK dan para pegiat antikorupsi menyebutkan delik korupsi dalam rancangan ini bakal menghapus ketentuan yang sama di Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan adanya core, tentu ketentuan yang sama dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi harus dicabut. Tidak boleh ada dobel pengaturan.
Ini bisa menjadi celah mempersoalkan tindakan hukum KPK karena tak jelasnya ketentuan yang harus digunakan.…
Pasal 14 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi sudah jelas mengatur bahwa jika tindak pidana disebut sebagai tindak pidana korupsi, yang berlaku penegakannya adalah undang-undang khusus.
Anggota Tim Perumus Pemerintah, Enny Nurbaningsih: Salah Besar Ada Pelemahan Pemberantasan Korupsi
Bagaimana dengan tidak adanya ketentuan dalam Rancangan KUHP yang menegaskan kewenangan KPK sebagai lembaga khusus?
Ada ketentuan peralihan yang menegaskan pelanggaran tindak pidana korupsi tetap menjadi kewenangan KPK juga. Ada dalam pasal 729, yang nantinya mengatur kewenangan lembaga-lembaga khusus tetap berlaku sesuai dengan undang-undang masing-masing.
Pasal 723 dalam rancangan itu justru mengatur sebaliknya bahwa semua ketentuan umum dalam rancangan KUHP menjadi dasar bagi ketentuan pidana di undang-undang lain.
Penegasan pasal 729 sebenarnya sudah jelas bahwa untuk delik khusus, seperti korupsi, yang berlaku adalah Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Jadi tidak ada yang dicabut.
Indonesia Corruption Watch menyatakan pasal 729 selalu menjadi tameng pemerintah untuk meyakinkan publik bahwa tak ada pelemahan KPK dan pelemahan pemberantasan korupsi.
Itu salah besar. Dengan tetap berlaku kewenangan KPK dan sekaligus kekhususan dalam penegakan hukumnya, tidak ada istilah pelemahan KPK dan pelemahan pemberantasan korupsi.
Kenapa dalam rancangan ini terkesan ada pengurangan hukuman untuk sejumlah kategori tindak pidana korupsi?
Untuk pidana maksimum tetap 20 tahun. Ancaman pidana mati itu tetap berlaku. Ini akan ditegaskan dalam ketentuan penutup sehingga tidak akan membingungkan dalam penegakannya.
KPK merasa tidak didengar tim perumus sehingga pimpinannya menulis surat ke Presiden untuk meminta waktu bertemu membahas soal ini?
Kami justru berharap KPK selalu datang memberi masukan. Jangan mutunglah. Mari sama-sama kita perbaiki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo