Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH enam bulan berlalu, Presiden Joko Widodo baru memberi lampu hijau untuk menyediakan waktu bertemu dengan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam rangka membahas Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Rencana persamuhan ini merupakan respons Presiden atas surat yang dilayangkan pimpinan komisi antikorupsi pada 4 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jokowi pertama kali menyampaikan bersedia menerima pimpinan KPK saat menghadiri buka puasa di kediaman Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan pada awal Juni lalu. Kamis pekan lalu, Presiden memastikan pertemuan dengan pimpinan komisi antikorupsi bakal segera digelar di Istana Negara. Kalau tidak minggu ini, minggu depan awal, ujar Jokowi, Kamis pekan lalu. Sampai Jumat pekan lalu, pertemuan itu belum terlaksana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam surat itu, tertulis perihal yang hendak disampaikan KPK kepada Jokowi, yakni delegitimasi korupsi sebagai extraordinary crime dalam perumusan tindak pidana pokok dalam Rancangan KUHP. Intisari dalam delapan lembar surat yang diteken Ketua KPK Agus Rahardjo itu mengulas penolakan KPK atas proyek kodifikasi yang memasukkan delik korupsi ke Rancangan KUHP. "Ini akan melemahkan tindak pidana korupsi," kata Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif.
Dalam surat itu, KPK menguraikan sepuluh alasan menolak keras rancangan undang-undang tersebut. Selain bakal melemahkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, alasan lainnya seperti tertuang dalam layang itu adalah Rancangan KUHP yang mencantumkan delik korupsi akan memandulkan KPK. "Ini langkah mundur pemerintah dan DPR," begitu salah satu pernyataan sikap KPK dalam surat itu.
Surat itu sesungguhnya bukan yang pertama dikirimkan pimpinan KPK kepada Presiden Joko Widodo. Sejak 2017, komisi antikorupsi lima kali menyurati tim panitia kerja penyusunan Rancangan KUHP dari pemerintah dan DPR yang juga ditembuskan ke Presiden. Isinya serupa: KPK meminta Rancangan KUHP direvisi dengan membuang pasal-pasal korupsi. "Kami mengusulkan cukup membuat satu pasal penghubung di Rancangan KUHP ke Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," ujar Syarif.
Juru bicara Presiden, Johan Budi S.P., mengatakan, setelah menerima surat pimpinan KPK, Jokowi langsung meminta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menampung usul mereka. Presiden, menurut Johan, juga menyiapkan waktu untuk bertemu dengan pimpinan KPK guna membahas Rancangan KUHP. "Sampai akhir pekan ini sedang kunjungan kerja ke daerah. Ada kemungkinan pertemuannya pekan berikutnya," ucap Johan pada Sabtu pekan lalu.
Upaya KPK menolak delik korupsi masuk Rancangan KUHP juga dilakukan dengan cara memberikan masukan kepada tim perumus pemerintah. Tim yang dibentuk Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ini terdiri atas mantan Menteri Kehakiman, Muladi; Kepala Badan Pembinaan Hukum Enny Nurbaningsih; serta bekas Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM yang juga guru besar Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo.
Syarif mengatakan ia beberapa kali menggelar pertemuan dengan tim perumus guna membahas Rancangan KUHP sejak pertengahan tahun lalu. Salah satunya pertemuan yang digelar di kantor Kementerian Hukum dan HAM pada September 2017. Ketika itu, Syarif lantang menolak delik korupsi sebagai ketentuan pidana khusus masuk Rancangan KUHP. "Saat itu tim perumus mengatakan spiritnya adalah kodifikasi menyatukan tindak pidana di luar KUHP," ucap Syarif.
Dalam beberapa pertemuan, perdebatan berlangsung alot. Pemerintah ngotot memasukkan delik tindak pidana khusus masing-masing pada kejahatan utama alias core crime. Syarif kembali bertanya kepada tim pemerintah mengenai kategori kejahatan utama dalam undang-undang tindak pidana korupsi. Namun ia tak mendapat jawaban yang memuaskan. "Waktu itu dikatakan tidak bisa diberi tahu," ujar pengajar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, itu.
KPK menilai pemerintah tak konsisten dalam menyusun kodifikasi Rancangan KUHP. Menurut Syarif, tim pemerintah seharusnya juga memasukkan ketentuan pidana militer yang masuk kategori pidana khusus ke Rancangan KUHP. "Tidak dijawab juga. Banyak sekali ketidakkonsistenan," katanya.
Lantaran tak ada titik temu, pimpinan KPK menawarkan solusi kepada tim pemerintah dengan mengusulkan satu pasal penghubung di Rancangan KUHP ke Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK pun diminta membuat susunan kalimat ihwal pasal penghubung itu. "Dalam satu pasal bisa memuat sekaligus tindak pidana khusus," ujarnya.
Dalam pembahasan berikutnya, masukan dari KPK itu ternyata tak pernah dibahas lagi. Pemerintah dan DPR jalan terus mempertahankan delik korupsi. Mereka bahkan mengejar target merampungkan pembahasan Rancangan KUHP yang terdiri atas 735 pasal itu bisa disahkan pada Agustus mendatang. Karena mentok, pimpinan KPK menempuh upaya terakhir, yakni melobi Presiden Joko Widodo agar membatalkan delik korupsi tersebut masuk Rancangan KUHP.
Ketua tim perumus pemerintah, Muladi, mengatakan rancangan itu merupakan konsolidasi hukum pidana materiil karena revisi terakhir KUHP terjadi pada 1962. Menurut dia, sifat KUHP mendatang adalah kodifikasi yang terbuka dan tidak melemahkan pemberantasan korupsi. Muladi menyebutkan hanya tindak pidana suap yang masuk kategori kejahatan utama di rancangan tersebut. "Jadi dalam KUHP itu hanya diatur tindak pidana pokoknya," ucap guru besar hukum Universitas Diponegoro ini.
Anggota tim perumus pemerintah, Enny Nurbaningsih, mengatakan masuknya delik korupsi ke Rancangan KUHP tidak akan menghilangkan posisi kejahatan ini sebagai pidana khusus. Ia meminta KPK tetap terlibat memberi masukan tentang rancangan ini ketimbang menyampaikan penolakan sampai Presiden Jokowi. "Mari sama-sama kita perbaiki. Jangan mutunglah," kata Enny.
BAKAL masuknya delik korupsi ke revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan kolonial Belanda ini mencuat sejak medio 2013. Kala itu, pemerintah di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersepakat dengan DPR akan membahas kembali Rancangan KUHPbaru yang sudah ngendon selama sepuluh tahun di meja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pimpinan KPK kala itu meminta Presiden menarik Rancangan KUHP yang sudah dikirimkan ke DPR. Wakil Ketua KPK saat itu, Busyro Muqoddas, mengatakan masuknya tindak pidana korupsi berpotensi menggembosi peran KPK. Ia menuturkan, kejahatan luar biasa atau lex specialis korupsi akan hilang apabila delik itu masuk ke KUHP. "Konvensi PBB juga mengkategorikan korupsi sebagai kejahatan luar biasa," ujarnya. "Makanya punya aturan dan pengadilan khusus."
Meski mendapat penolakan dari sana-sini, pemerintah dan DPR jalan terus. Bahkan, dalam rapat kerja antara pemerintah dan DPR pada Juni 2017, kedua lembaga ini sudah sepakat memasukkan aturan tindak pidana korupsi ke rancangan itu. Bahkan, dalam draf terakhir, pemerintah dan DPR sudah menyepakati pasal-pasal korupsi beserta ancaman hukumannya.
Dari kajian KPK, sedikitnya ada enam pasal di Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dimasukkan ke Rancangan KUHP. Enam pasal ini dianggap mewakili kejahatan utama tindak pidana korupsi. Selain itu, ada empat pasal yang masuk ke tindak pidana umum KUHP.
Dalam Rancangan KUHP, pidana penjara dan denda dari pasal-pasal itu jauh lebih rendah. Pasal ancaman hukuman bagi penerima suap, misalnya, dari maksimal seumur hidup atau 20 tahun menyusut menjadi 5 tahun. "Selama ini mayoritas anggota DPR dan penyelenggara negara yang menerima suap dijerat ketentuan ini," kata Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif.
Rancangan KUHP itu juga tak memuat ketentuan mengenai uang pengganti. Padahal, menurut Syarif, pemulihan aset negara dari kejahatan korupsi paling signifikan didapat dari uang pengganti. Bekas Ketua DPR, Setya Novanto, misalnya, dihukum membayar uang pengganti Rp 66 miliar terkait dengan perkara megakorupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Bekas Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp 57 miliar terkait dengan perkara korupsi proyek Hambalang.
Penolakan atas rancangan ini juga disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil. Koalisi yang terdiri atas sejumlah lembaga pegiat antikorupsi ini menjaring dukungan publik di media sosial dengan membuat petisi "KPK dalam Bahaya. Tarik Semua Aturan Korupsi dari RKUHP". Sampai pekan lalu, ribuan orang meneken petisi ini sebagai bentuk dukungan atas penolakan tersebut.
Menurut kajian Indonesia Corruption Watch, salah satu anggota koalisi, ada 12 poin delik korupsi di Rancangan KUHP yang bisa melemahkan KPK. Termasuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi karena ada pengurangan hukuman badan dan denda bagi pelaku kejahatan ini.
KPK juga bakal tidak lagi bisa menindak kasus korupsi yang diatur dalam Rancangan KUHP karena kewenangannya hanya terbatas pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. "Ini ancaman serius," ujar peneliti hukum ICW, Lalola Ester.
Hal senada disampaikan Laode Muhammad Syarif. Selama ini kewenangan KPK diatur Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan itu menyebutkan kewenangan KPK dalam menyelidiki, menyidik, dan menuntut suatu kasus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan dalam Rancangan KUHP tidak ada penegasan ihwal kewenangan KPK. Padahal di pasal 3 rancangan itu disebutkan, jika terjadi perubahan aturan, yang digunakan adalah ketentuan yang terbaru atau yang paling ringan. "Ini bisa jadi perdebatan panjang dan menjadi celah menggugat kewenangan KPK," kata Syarif.
Ketua tim perumus pemerintah, Muladi, membantah jika rancangan itu dianggap bakal mengebiri upaya pemberantasan korupsi. Menurut dia, ada ketentuan pasal 729 mengenai aturan peralihan yang menyebutkan, saat undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan bab tindak pidana khusus tetap dilaksanakan berdasarkan kewenangan lembaga seperti KPK. "Tidak ada maksud KUHP nantinya mengganggu kewenangan KPK," ujarnya. "Saya sendiri turut merancang Undang-Undang KPK, tidak mungkin mau menghancurkannya."
Harkristuti Harkrisnowo mengatakan ancaman pidana tindak pidana korupsi dalam Rancangan KUHP tidak bertujuan menguntungkan koruptor. Tim, kata dia, berpandangan ancaman pidana perlu pertimbangan yang rasional karena selama ini ketentuan pidana di Indonesia belum memiliki standar. Ia mencontohkan perubahan ancaman pidana penjara minimum dikurangi menjadi dua tahun agar proporsional.
Anggota panitia kerja Rancangan KUHP Dewan Perwakilan Rakyat, Arsul Sani, mengatakan pembahasan Rancangan KUHP sudah 95 persen. Hanya ada 11 item yang tertunda pembahasannya, termasuk tindak pidana korupsi. "Tertundanya soal reformulasi saja," ujar politikus Partai Persatuan Pembangunan itu.
Mengenai kekhawatiran rancangan itu bisa melemahkan pemberantasan korupsi, Arsul meminta KPK dan pihak lain menyampaikan secara resmi protes tersebut agar bisa difasilitasi. "Ini belum kami ketok. Pemerintah kan baru mengusulkan," katanya.
Linda Trianita, Anton A., Rezki A., Ahmad Faiz
Langkah Mundur Rancangan KUHP
DEWAN Perwakilan Rakyat menargetkan pengesahan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diketuk pada Agustus mendatang. Kendati dihujat sejumlah kalangan karena memaksakan delik korupsi masuk rancangan tersebut, Dewan dan pemerintah jalan terus. Komisi Pemberantasan Korupsi dan sejumlah pegiat antikorupsi bersuara keras menolak rancangan itu. Ancaman pidana dan denda, misalnya, menyusut lama hukuman dan besarannya. Berikut ini perbandingan rancangan KUHP dengan aturan pemberantasan korupsi saat ini.
Kewenangan KPK
Rancangan KUHP:
Tidak ada pasal yang menegaskan kewenangan KPK sebagai lembaga khusus pemberantasan korupsi.
Aturan saat ini:
KPK berwenang menindak kasus korupsi seperti diatur Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (jo Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK).
Korupsi Sektor Swasta
Rancangan KUHP:
Aturan baru yang diadopsi dari The United Nations Convention against Corruption (UNCAC), seperti korupsi di sektor swasta, terancam tak bisa ditangani KPK.
Aturan saat ini:
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 mengatur KPK berwenang mengurus tindak pidana korupsi di korporasi.
Uang Pengganti
Rancangan KUHP:
Tidak mengatur pidana tambahan berupa uang pengganti.
Aturan saat ini:
Pasal 18 ayat 1 huruf b mengatur pidana tambahan uang pengganti. Pidana ini dipandang sebagai upaya pemulihan aset negara (asset recovery). Sejumlah terdakwa korupsi pernah merasakan jerat ini.
Pengurangan Ancaman Hukuman
Pidana Percobaan
Rancangan KUHP:
Pasal 17 ayat 3 mengatur pelaku percobaan dipidana dengan hukuman dua pertiga dari ancaman pokok.
Aturan saat ini:
Pasal 15 mengatur pidana percobaan diganjar hukuman yang sama dengan pelaku pidana.
Pidana Pembantuan
Rancangan KUHP:
Pasal 22 ayat 3 mengatur pembantuan untuk melakukan tindak pidana dikurang sepertiga dari ancaman pokok.
Aturan saat ini:
Pasal 15 mengatur pidana percobaan diganjar hukuman yang sama dengan pelaku pidana.
Pemufakatan Jahat
Rancangan KUHP:
Pasal 13 ayat 3 mengatur pidana maksimal untuk pemufakatan jahat melakukan tindak pidana adalah sepertiga dari ancaman pidana pokok untuk tindak pidana bersangkutan.
Aturan saat ini:
Pasal 15 mengatur pidana percobaan diganjar hukuman yang sama dengan pelaku pidana.
Pidana Denda Kejahatan Korupsi Serupa
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi | Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana | Pasal 2 Minimal Rp 200 juta Maksimal Rp 1 miliar | Pasal 687 Minimal Rp 10 juta Maksimal Rp 2 miliar | Pasal 3 Minimal Rp 50 juta Maksimal Rp 1 miliar | Pasal 688 Minimal Rp 10 juta Maksimal Rp 150 juta | Pasal 5 Minimal Rp 50 juta Maksimal Rp 250 juta | Pasal 689 Minimal Rp 10 juta Maksimal Rp 150 juta | Pasal 11 Minimal Rp 50 juta Maksimal Rp 250 juta | Pasal 690 Minimal Rp 10 juta Maksimal Rp 150 juta | Pasal 13 Maksimal Rp 150 juta | Pasal 691 Maksimal Rp 10 juta | Pasal 12B Minimal Rp 200 juta Maksimal Rp 1 miliar | Pasal 692 Minimal Rp 10 juta Maksimal Rp 500 juta |
Pidana Badan
Rancangan KUHP:
Pasal 306 mengatur upaya menghalang-halangi penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dapat diancam hukuman paling lama 7 tahun penjara dan denda maksimal Rp 500 juta.
Aturan saat ini:
Pasal 21 dan Pasal 22 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur upaya menghalang-halangi penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dapat diancam minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun penjara. Denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta.
Menghancurkan atau Merusak Akta atau Surat atau Lainnya untuk Digunakan Sebagai Pembuktian
Rancangan KUHP:
Pasal 398 huruf a dan b mengatur ancaman hukuman pidana penjara paling lama 4 tahun.
Aturan saat ini:
Pasal 10 huruf a dan b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur pidana penjara paling lama 7 tahun.
Pengembalian Kerugian Negara
Rancangan KUHP:
Tidak ada klausul yang menjamin pengembalian keuangan negara tidak menghapus pidana.
Aturan saat ini:
Pasal 4 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana.
Naskah: Linda Trianita, Anton Aprianto | Sumber: Komisi Pemberantasan Korupsi, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Indonesia Corruption Watch, Dewan Perwakilan Rakyat, Pusat Data Dan Analisa Tempo
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo