Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Yang Terusir Dari Gunung Bandega

Sejumlah warga bandega, garut, jawa barat ditahan. selain tak bersih lingkungan mereka dituduh menyerobot tanah negara. berdasar sk mendagri mereka punya hak. padahal hgu tersebut milik pt sam.

22 Oktober 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA di perkebunan teh Gunung Badega, Kabuaten Garut, Jawa Barat sampai pekan lalu tegang. Balai desa, yang nyaris jadi puing, kosong karena ditinggalkan kepala desa dan aparatnya. Di sana-sini, seperti bekas medan laga, pohon teh berserakan. Setiap sore, penduduk berkumpul-kumpul di sudut-sudut kampung, sementara para petugas keamanan berjaga-jaga. Padahal, beberapa bulan lalu kawasan Gunung Badega masih terlihat sebagai desa yang tenteram dan damai. Di situ telah bermukim 2.500 orang penduduk, yang telah 38 tahun menggarap wilayah bekas perkebunan seluas 500 hektar di Kecamatan Cikajang itu. Karena sudah dua keturunan di situ, mereka pun merasa tanah itu menjadi milik mereka. Sebenarnya, tanah itu bekas hak erpacht atas nama NV Cultuur Mij Tjikanere. Pada 1965, berdasarkan keputusan pengadilan, tanah perkebunan itu dirampas untuk negara. Tanah itu kemudian dikonversikan menjadi HGU atas nama PT Sitrin. Entah bagaimana caranya, HGU PT Sitrin itu kemudian dibeli oleh PT Surya Andaka Mustika (PT SAM). "Kami membeli HGU dari Samhudi, Dirut PT Sitrin." kata Dirut PT SAM, Hikmat Wiradilaga, tanpa menyebut harganya. Penduduk, yang tak tahu-menahu proses berpindah-pindahnya HGU itu, sekitar 1986 kaget ketika PT SAM tiba-tiba mengklaim tanah itu miliknya dan mengumumkan rencananya akan membuka kembali perkebunan di situ. Perusahaan itu juga bersikeras agar penggarap segera angkat kaki dari tempat itu. Penduduk tentu saja menolak, kendati bupati Garut sudah menyediakan lahan penampungan seluas 70 hektar. Ketegangan semakin hari semakin memuncak. Bentrokan pun pecah. Penduduk, pertengahan bulan lalu, nekat mengusir kepala desa dan merusakkan kantor balai desa. Seminggu kemudian, polisi menahan 13 orang petani yang dianggap mendalangi kerusuhan itu. Dua pekan lalu, dua orang petani mewakili penduduk, diantar LBH Bandung, menanyakan nasib ke-13 orang rekannya itu ke PoldaJawa Barat. Toh, Polres Garut sampai sekarang masih tetap menahan mereka. "Mereka telah melakukan tindak kriminalitas menyerobot tanah negara," kata Letkol. (Pol.) A. Somantri Emay, Kapolres Garut, kepada TEMPO. Dan seperti biasa, Kapolres menuduh, "Mereka tidak bersih lingkungan, bahkan ada yang bekas anggota organisasi terlarang PKI." Penduduk menyangkal menyerobot tanah bekas perkebunan itu. "Kami merasa berhak atas tanah ini, karena kami menggarapnya sudah sejak 1950," kata Suhdin, salah seorang petani yang kini ditahan. Ia menunjuk antara lain SK Mendagri yang menyebutkan: Rakyat yang menggarap tanah negara, seperti tanah bekas perkebunan, sejak 1960 dilindungi undang-undang dan tak bisa diganggu gugat. Berdasarkan ketentuan itu, pada 1980 mereka mengajukan permohonan hak milik atas bekas perkebunan itu. Tapi sampai saat ini permohonan mereka tak mendapat jawaban. Ternyata, kemudian muncul PT SAM, yang merasa lebih berhak atas tanah itu. Para petani penggarap semakin kaget karena pemilik HGU itu ternyata mengantungi 312 tanda tangan mereka, lengkap dengan pernyataan kesediaan menyerahkan tanah garapannya kepada perusahaan itu tanpa tuntutan ganti rugi. "Ini jelas palsu. Kami tak pernah membuat pernyataan tersebut," kata Iri, 70 tahun, salah seorang petani yang tanda tangannya ikut dipalsu. Sejak itulah kemarahan penduduk meledak. "HGU itu tidak sah karena berdasarkan pernyataan dan tanda tangan palsu," kata Suhdin bersemangat. Tapi sampai kini tak jelas siapa yang memalsu tanda tangan petani itu. R.H. Hikmat Wiradilaga membantah pihaknya terlibat pemalsuan tanda tangan penduduk. Ia hanya menyesalkan tindakan penduduk yang merusakkan patok-patok tanah dan mencabuti tanaman teh milik perusahaannya. "Padahal, kami telah menyerahkan ganti rugi untuk pembebasan tanah itu sebesar Rp 200 juta," katanya. Polres Garut pun belum mengusut pemalsu tanda tangan itu. "Kami memang belum sempat memeriksa kasus pemalsuan itu. Tapi kalau benar palsu, siapa pun pelakunya akan kami tindak," kata Letkol. Pol. A. Somantri Emay. Bisakah HGU berdasar tanda tangan palsu itu dibatalkan? Kabag Pengembangan Pertanian Pemda Provinsi Jawa Barat, Darso Suhanda, mengatakan tak mungkin. "Biasanya, dalam kasus seperti itu si pengusaha hanya diminta uang "tegak", yakni ganti rugi. Kalau sertifikatnya harus dicabut lagi, tak mungkin," kata Suhanda. Dengan demikian, masa depan para penggarap itu semakin jelas. Hasan Syukur

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus