ZENDARTO, tua dan malang. Sakit-sakitan dan loyo. Bekas Kepala Pegadaian Negara Cabang Samarinda itu dituduh melakukan manipulasi, dibebastugaskan, dan gajinya disetop, sejak dua bulan lalu. Padahal, ia belum dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Yang terjadi baru, Rabu pekan lalu, perkaranya diserahkan ke Polresta Samarinda. Zen menderita berbagai penyakit sejak 1984, yakni sejak bertugas di Samarinda. "Padahal, sebelumnya, ketika bertugas di Manado, saya sehat-sehat saja," tuturnya. Karena penyakitnya makin parah. "Ya, kencing manis, lumpuh, sesak napas" awal tahun lalu, lelaki berusia 52 tahun itu diminta istirahat saja di rumah. Sampai di situ tak ada masalah. Ketika Kepala Inspektorat Pegadaian Negara Wilayah Kalimantan Timur dan Selatan, Santoso, S.H., secara tak sengaja menemukan selisih saldo kas dan daftar persediaan barang gadaian di gudang Pegadaian Negara Cabang Samarinda, nasib Zen rupanya berbelok. Pemeriksaan intensif menyimpulkan, ada dugaan Zendarto telah menciptakan sekitar 10 nasabah fiktif yang seolah-olah menggadaikan barang. Menurut pengusutan Kepala Inspektorat itu, telah digadaikan 126 gelang imitasi, empat kantung kecil berisi sembilan perhiasan emas murni, dan 16 perhiasan lain terdiri dari cincin, anting dan medalion kalung, peniti yang semuanya imitasi. Barang itu semua memang ada. Namun, taksiran harga gadainya lebih tinggi daripada biasanya. Akibat manipulasi itu, negara dirugikan sekitar Rp 10 juta (dari emas murni) dan Rp 4 juta lebih (dari emas imitasi). Jumlah seluruhnya Rp 14 juta lebih. Itu bisa terjadi, karena taksiran harga dan penjagaan gudang penyimpanan barang gadaian dilakukan oleh Zen sendiri. Ini bukan hanya lantaran ia adalah kepalanya, tapi juga karena kantornya memang kekurangan tenaga. Kepada Santoso, Kepala Pegadaian Negara Cabang Samarinda itu mengaku bahwa semua itu dilakukannya untuk membiayai pengobatan penyakitnya yang begitu parah. "Tapi saya tidak percaya seluruhnya," kata Santoso. Semula, Zen mendapat kesempatan sebulan untuk mengembalikan uang yang dipakainya itu. Tapi karena ternyata ia tidak mampu, perkaranya diserahkan kepada Polresta Samarinda. Adapun Zen kini bersyukur. "Kalau tidak diketahui Pak Santosa, uang yang saya gunakan bisa membengkak sampai Rp 50 juta lebih," katanya. Sebab, permainannya itu sudah ia lakukan lebih dari setahun. Ia menyatakan dengan sungguh-sungguh bahwa uang itu benar-benar digunakannya untuk berobat ke dokter, ke dukun, perawatan di rumah sakit -- selain untuk membayar utang kepada kantornya itu. "Saya bersumpah, tak sepeser pun yang dimakan oleh keluarga saya." Ide manipulasi ini, bila nanti memang terbukti, diperoleh Zen ketika ia tahu sejumlah perhiasan tak laku dilelang. Yakni perhiasan yang tak ditebus oleh yang menggadaikannya. Zen lalu memutuskan membehnya sendiri -- ini pangkal celaka -- dengan uang kantor. Sesudah barang jadi miliknya, ia kembali mengadaikan perhiasan-perhiasan tadi atas nama 10 orang nasabah yang semuanya fiktif. Maksudnya, uang hasil penggadaian untuk menutup uang kantor yang dipakainya untuk membeli barang lelangan itu. Dengan harapan, tentu saja, masih ada sisa. Tapi itu tinggal teori, karena uang keburu habis untuk membayar pengobatan. Sebagai pegawai golongan IID dengan masa kerja 30 tahun, gajinya hanyalah Rp 200.000. Tadinya Zen berharap, kasusnya itu tak sampai dilimpahkan ke kepolisian. Tapi cukup dihukum dengan tindakan administratif saja. "Saya heran, masa atasan saya tak melihat keadaan saya selama ini. Sebenarnya, saya ingin menggantinya, tapi saya tak mampu," katanya. Penyakitnya kini semakin payah. Tubuhnya loyo. Apalagi dalam dua bulan terakhir, ia tidak lagi menerima gaji. "Saya bingung. Bagaimana saya harus memberi makan anak-anak saya? Beberapa perabot rumah tangga sudah mulai terjual," tutur ayah 11 anak dan kakek dua cucu ini. "Kalau sekarang saya disuruh menjadi tukang kebun pun bersedia, untuk mengangsur utang-utang saya itu." Laporan Rizal Effendi (Samarinda)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini