Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Panggilan lewat duta besar

Saat berada di belanda adnan buyung nasution menolak panggilan kedubes ri di belanda untuk diperiksa lagi dalam kasus contempt of court. adnan mengirim surat ke depkeh, bahwa panggilan tersebut tak sah.

18 April 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERKARA contempt of court Buyung Nasution belum selesai. Sementara itu pengacara beken itu kini berada di Negeri Belanda untuk menyelesaikan program doktornya. Itu sebabnya Menteri Kehakiman Ismail Saleh, sebagai instansi terakhir yang menentukan kasus Buyung, 25 Maret lalu, meminta pengacara itu dalam waktu dua pekan datang ke Kedubes Indonesia di Belanda. Untuk membela diri, sebelum dijatuhkan tindakan administrasi terhadapnya. Rabu pekan lalu jangka waktu itu habis. Tapi si Abang, begitu panggilan akrab Buyung, ternyata tidak datang ke Kedubes. Ia malah mengirimkan surat ke Menteri Kehakiman melalui Duta Besar M. Romly, yang isinya menolak maksud panggilan tersebut. "Saya tidak habis pikir bagaimana di suatu negara hukum menteri kehakimannya bisa mengancam akan menghukum seorang warganya dan kemudian menetapkan batas waktu dua minggu untuk membela diri tanpa dasar dan aturan hukum yang jelas," ujar Buyung, seperti dikutip Radio Nederland, Rabu lalu. Ismail Saleh memang sudah mengambil ancang-ancang untuk menjatuhkan vonis akhirnya kepada Buyung, setelah Dewan Kehormatan DPP Ikadin -- organisasi advokat -- dan Mahkamah Agung mengambil sikapnya dalam kasus itu. DK Ikadin sebelumnya menjatuhkan hukuman berupa peringatan keras kepada Buyung, sementara Ketua Mahkamah Agung memberikan peringatan biasa. Menurut Undang-Undang Mahkamah Agung, 1985, dan Undang-Undang Peradilan Umum 1986, Menteri Kehakiman memang disebutkan berwenang mengawasi dan mengambil tindakan terhadap pengacara setelah mendengar usul Mahkamah Agung dan organisasi pengacara yang bersangkutan. Hanya saja sampai saat ini peraturan pelaksanaan undang-undang itu, seperti pernah diakui Ismail Saleh kepada TEMPO, belum ada. Toh proses perkara Buyung tetap berlanjut. Bahkan seperti dikatakan Ismail Saleh kepada Kompas kesempatan yang diberikannya selama duaminggu bagi Buyung untuk membela diri itu sesuai dengan undang-undang tersebut. "Jadi, menurut undang-undang, Buyung memang berhak memberikan keterangan kepada kami sebagai pembelaan diri," ujar Ismail Saleh. Persoalan yang menimpa Buyung itu bermula dari sidang subversi perkara Dharsono. Ketika majelis hakim yang diketuai Soedijono membacakan vonisnya, Januari tahun lalu, tiba-tiba Buyung menyambar pengeras suara di depannya. "Saya protes siapa yang tidak etis," katanya, sambil bertolak pinggang. Rupanya, ia tersinggung terhadap kata-kata hakim yang menyebut tim pembela tidak etis -- karena menuduh pemerintah yang mematangkan situasi sehingga peristiwa Priok terjadi. Dharsono hari itu akhirnya divonis 10 tahun penjara. Aksi Buyung hari itu dibiarkan saja oleh hakim. Tapi sebulan kemudian Hakim Soedijono, yang waktu itu sudah dimutasikan ke Medan, mengadukan Buyung ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Buyung didakwa telah melakukan tindakan menghina dan merendahkan martabat pengadilan (contempt of court). Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kendati diprotes Buyung tidak berwenang mengadilinya, memvonis pengacara itu tidak tanggungtanggung: dipecat dari jabatan pengacara. Pengadilan Tinggi Jakarta kemudian memperbaiki keputusan itu menjadi skorsing 6 bulan. Ternyata, Mahkamah Agung kemudian menganulir semua vonis itu menjadi hanya peringatan saja. "Akhirnya, saya sampai kepada pertimbangan, kiranya Buyung cukup diberi peringatan saja," ujar Ketua Mahkamah Agung Ali Said kepada TEMPO (TEMPO, 14 Eebruari). Keputusan Ali Said, yang akan menjadi pertimbangan bagi Menteri Kehakiman sebelum mengeluarkan keputusan akhir, lebih ringan ketimbang vonis yang dijatuhkan DK Ikadin yang menjatuhkan hukuman peringatan keras. Padahal, kata Buyung, ia nekat menginterupsi hakim justru dalam rangka mempertahankan eksistensi pengacara yang dikatakan hakim tidak etis. Kini setelah semua proses pengadilan dan organisasi dilewatinya, pengacara yang selalu berpenampilan rapi itu harus pula mendapat putusan akhir dari Ismail Saleh. Itulah yang dianggap Buyung, dalam suratnya ke Menteri Kehakiman tertanggal 8 April lalu, tanpa dasar hukum yang sah. Sebab, Undang-Undang Mahkamah Agung dan Peradilan Umum yang digunakan Menteri Kehakiman untuk memanggilnya, menurut Buyung, dilahirkan jauh setelah insiden interupsinya di persidangan Dharsono itu. Padahal, berdasarkan asas legalitas dalam hukum, tulis Buyung, tidak ada suatu perbuatan yang bisa dihukum kecuali berdasarkan peraturan hukum yang sudah diundangkan terlebih dahulu. Selain itu, menurut Buyung, ketentuan pengacara diawasi oleh Menteri Kehakiman juga dikalahkan oleh ketentuan khusus di Undang-Undang Mahkamah Agung itu juga. Dalam ketentuan khusus itu disebutkan, pengacara, khusus dalam menyelenggarakan tugas-tugas peradilan, berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung. Sebab itu, ia berpendapat bahwa pemeriksaan kasusnya sudah selesai dengan keluarnya keputusan Mahkamah Agung yang memberinya hukuman peringatan. Selain soal asas-asas hukum itu, Buyung, seperti juga ketika dipanggil oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, menganggap panggilan Menteri Kehakiman itu tidak ada dasar hukumnya, apalagi memberi waktu baginya untuk membela diri selama dua pekan. "Dari mana ia mendapat ketentuan waktu dua minggu itu, aturan hukum mana yang dia pakai? Ini 'kan main kekuasaan belaka, orang digugat saja ada aturan mainnya," ujar Buyung melalui telepon kesal. Sebab itu, pengacara yang selalu "berkibar-kibar" itu menolak semua tindakan yang mungkin akan dijatuhkan Menteri terhadapnya. Kalau hukuman itu dijatuhkan juga? "Abang akan tuntut nanti. Sampai ke mana pun Abang akan membuat perhitungan," tambah Buyung. Karni Ilyas, Laporan Eko Yuswanto (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus