Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL-Seiring meningkatnya minat penelitian social humaniora dengan perspektif GEDSI (Gender, Equality, Disability and Social Inclusion), maka Klirens Etik sangat penting untuk dikedepankan. Tujuannya untuk melindungi kelompok rentan sebagai subyekpenelitian, sekaligus menjunjung tinggi rasa hormat kepada subyek, kebermanfaatan riset, keadilan, konsen, keamanan data, integritas, dan bebas konflik kepentingan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, peraturan mengenai Klirens Etik tidak secara eksplisit tertuang pada UU No.11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,maupun pedoman pendanaan penelitian. Saatini, peraturan tentang etika penelitian masih berfokus di bidang ilmu kesehatan yang tertuang pada PermenkesNo.7 tahun 2016.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa perguruan tinggi sudah memiliki Komite Etik Penelitian dan menyediakan pelayanan uji etik. Namun, kebanyakan masih fokus pada bidang kesehatan dan psikologi. Padahal, klirens Etik juga perlu diterapkan di semua bidang keilmuan, termasuk social humaniora.
Untuk itu, KSIxChange x ALMI Special Scientist Seri ke-38 mengangkat isu ”Pengarusutamaan Perspektif GEDSI dan Pelembagaan Klirens Etik Penelitian” menjadi topik webinar pada 16 November 2021.Klirens Etik sangat penting bagi peneliti untuk memastikan pekerja riset bekerja sesuai kaidah ilmiah.
“Karenaitu prinsip-prinsip dasar kodeetik perlu memiliki keseragaman di tingkatnasional guna melindungi kelompok rentan yang menjadi subyek penelitian,” ujar Ketua ALMI (Akademi Ilmuwan Muda Indonesia), Dr Sri Fatmawati, yang juga Peneliti Kimia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Team Leader Knowledge Sector Initiative (KSI) Jana Hertz dalam sambutannya mengatakan, KSI bekerja dengan16 lembaga peneliti kebijakan di Indonesia mendukungpenelitian yang berkualitas dengan mengedepankan evidence based policy. “Misi kami adalahmendorong terciptanya kemajuan penggunaan ilmupengetahuan multidisipliner yang berperan dalam perumusan kebijakan publik, “ katanya.
Diskusi virtual yang dikemasdalam format talkshowinidimoderatori oleh Dr Gumilang A. Sahadewo, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM). Adapun narasumber yang hadir antara lain Plt DirekturJenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Prof. Ir. Nizam, M.Sc, dan Ketua Komisi Klirens Etik Bidang llmu Sosial dan Kemanusiaan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dr. Augustina Situmorang, MA.
Berikutnya Analisis Kebijakan Ahli Madya Subdirektorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Diktis Kementerian Agama Dr Suwendi, Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak, Universitas Indonesia (PUSKAPA UI) Dr. Santi Kusumaningrum, Dosen Fakultas Sastra Inggris, Universitas Negeri Malang Dr.Evi Eliyana, dan Dosen Fakultas Hukum, UGM Dr. R. Herlambang P. Wiratraman.
Ada tiga rekomendasi yang dirumuskan ALMI. Pertama penggugahan kesadaran dan penguatankapasitas tentang etika penelitian dan integrasi perspektif GEDSI dalam penyusunan protokol dan penelaahan Klirens Etik. Kedua, reformulasi kebijakan turunan yang mendorong pelembagaan Klirens Etik yang berperspektif GEDSI. “Dan ketiga pembentukan unit-unit penelaahan Klirens Etik di perguruan tinggi dan lembaga penelitian lainnya,“ ujar Evi Eliyana yang mewakili ALMI.
Menanggapi rekomendasi tersebut,Augustina Situmorang, menjelaskan, sebelum meleburke BRIN, Divisi Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) LIPI memiliki mekanisme Klirens Etik bernama Subkomisi Klirens Etik Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan dan pernah juga menerbitkan buku saku Klirens Etik pada 2016.
Plt Dirjen PT Riset dan Teknologi Nizam mengatakan,sedang merevisi Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dapat mengcover isu-isu central. “Sebelumnya pada 2018, kami sudah merancang pengarusutamaan GEDSI dan kelembagaannya, namun perubahan nomenklatur organisasi dari Kemenristekdikti menjadi Kemenristekbud, pembahasannya sempat terhenti. Kedepannya, kami akan dalami lagi, dan disusun kembali standar, protokol, prosedur, dan operasionalnya“ujar Nizam menjawab pertanyaan dari ALMI.
Kelembagaan klirensetik di tingkat perguruan tinggi dan lembaga penelitian dinilai masih belum cukup. Selain itu, belum adanya kebijakan turunan yang secara eksplisit mendukung pelembagaan Klirens Etik memunculkan risiko pelanggaran etika penelitian oleh individu peneliti.
Risiko pelanggaran ini semakin tinggi jika subyek terlibat termasuk kelompok rentan, misalnya karena identitas gendernya, seksualitasnya, disabilitas yang disandangnya, kesukuan atau keagamaan minoritasnya atau identitas rentan lainnya.
Knowledge Sector Initiative (KSI) adalah program kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia yang didanai oleh DepartemenLuar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia bekerjasama dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas).(*)