Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Iklan

Menguatkan Peran Masyararakat dalam Pengelolaan Sumber Air

Kewajiban pendistribusian sumber air merupakan upaya mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan sumber air yang diamanatkan UU SDA.

8 Februari 2022 | 17.50 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFO NASIONAL-Ketersediaan air minum yang layak masih menjadi problem yang belum terselesaikan di Indonesia yang sudah 76 tahun merdeka. Pengelolaan sumber mata air yang seharusnya dilakukan Negara dan dimanfaatkan masyarakat luas, belum optimal. Sebagian kalangan berpendapat, Pemerintah harus tegas menegakan kedaulatan air melalui penerapan UU dan regulasi yang berpihak pada kepentingan masyarakat luas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kehadiran UU No.17 tahun2019 mengatur Sumber Daya Air (SDA) agar dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Rakyat pun memiliki hak atas air dengan tiga prioritas penggunaan sumber daya air, yaitu prioritas pertama untuk kebutuhan pokok sehari- hari, prioritas kedua untuk pertanian rakyat, dan prioritas ketiga untuk kebutuhan usaha.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski mulia, namun amanah UU tersebut tak mudah diterapkan di lapangan karena tiga alasan.Pertama, Pemerintah belum membuat peraturan turunan UU SDA hingga melewati tenggat Oktober 2021. Akibatnya, isi UU SDA belum bias dijalankan.Kedua, UU SDA dimasukan dalam UU Cipta Kerja Tahun 2020 dan terjadi perubahan  signifikan. Diantaranya hilangnya hak pengelolaan sumber daya air yang seharusnya dimiliki pemerintah daerah. Ketiga, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan UU Cipta Kerja sebagai “inkonstitusional bersyarat” dengan masa tenggang selama dua tahun.

Kondisi tersebut memunculkan kesan hilangnya kedaulatan rakyat atas sumber air.  Praktek di lapangan,  para pelaku industri air minum dalam kemasan (AMDK) sebagai pemegang izin terkesan menguasai sumber air. Sejumlah kegelisahan public terkait penerapan UU SDA diperbincangkan dalam talkshow bertajuk”Refleksi 2 Tahun UU Sumber Daya Air: Kedaulatan Air Mau Dibawa Kemana?”secara daring, 26 Januari 2022.

Peneliti FMCG Insights, Achmad Haris Januariansyah berpandangan, belum adanya kepatuhan industri AMDK terhadap pasal-pasal terkait pengusahaan air. Misal, salah satu kewajiban perusahaan AMDK yang diatur dalam Peraturan Menteri PU adalah membagikan minimal 15 persen dari jumlah debit air yang diizinkan untuk dibagikan ke masyarakat sekitar via penyediaan hidran atau keran air.

Padahal kewajiban pendistribusian sumber air merupakan upaya mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan sumber air yang diamanatkan UU SDA. Kewajiban lain adalah penyisihan sebagian laba untuk konservasi sumber air. Dua kewajiban ini tidak pernah dilaksanakan perusahaan AMDK.

Selama ini partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber bersifat voluntary, berdasarkan kerelaan karena tidak diatur dalam UU. Idealnya peran masyarakat dicantumkan dalam UU.“Partisipasi masyarakat perlu yang berkaitan dengan haknya.Seperti masyarakat harus punya akses ke sumber air yang dikelola perusahaan swasta.Termasuk hakmendapatkan distribusi air hingga 5 persen dan hak agar wilayahnya dikonservasi agar sumber mata air tetap berkelanjutan,” ujar Haris.

Sedangkan Kepala Sub Direktorat Perencanaan Teknis Kementerian PUPR, Dedes Pinandes, mengatakan tidakdapat memaksa masyarakat untuk tidak memanfaatkan AMDK karena konsumsi AMDK sudah menjadi bagian dari gaya hidup sebagian masyarakat.  “AMDK lebih praktis dibanding air dari pipa penyedia air bersih seperti air PDAM yang perlu dimasak sebelum dikonsumsi,” ujarnya.

Narasumber lainnya Guru Besar Universitas Muhammadiyah Jakarta, Prof. Dr. Syaiful Bakhri SH, MH berpendapat, meningkatnya pengunaaan AMDK menunjukan secara kultur penduduk Indonesia tidakmau lagi memasak air untuk diminum. Perubahan kultur tersebut bukan hanya terjadi di perkotaan tapi juga didesa-desa. Warung-warung kecil di desa pun menjual AMDK. Implikasinya biaya hidup lebih tinggi untuk membeli air minum.

Hal ini karena Pemda tidak berhak mengatur akses air minum yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Sehingga yang terjadi adalah komersialisasi air.“MK memutuskan tidak boleh lagi ada komersialisasi AMDK.MK juga mencabut Peraturan Pemerintah (PP) yang merupakan turunandari UU SDA 2013.Bila masih terjadi komersialisasi air dan tidak terkontrol pemerintah, ini inkonstitusional,”kata Syaiful.

Sementara Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA), Muhammad Reza Sahib menilai Indonesia merupakan daerah rawan bencana. Salah satunya berhubungan dengan pengelolaan air yang buruk. Curah hujan Indonesia yang tinggi menyebabkan problem yang dihadapi berbeda dengan negara-negara di Eropa dan Afrika yang mengalami kelangkaan sumber air.“Krisis air kita adalah krisis manajemen, termasuk krisis kebijakan dan politik. Dalam keputusan MK ditetapkan hak atas air merupakan hak konstitusional, namun yang terjadi adalah liberalisasi air,” ujarnya.

Menurutnya, saat ini masih terjadi diskriminasi.Ada beberapa wilayah yang dekat dengansumber air malah mengalami kekurangan air.Daerah tersebut bukanhanya di Pulau Jawa, tapi juga di luar Jawa.Misalnya,sebagian besar masyarakat di Nusa Tenggara Timur bergantung pada air tanah, sementara pemerintah masih memberikan izin kepada perusahaan air minum kemasan.“Yang terjadi adalah pelanggaran hak masyarakat oleh Negara dan swasta dengan izinpemerintah,” kata Reza.

Karena pemerintah tidak mengatur hal itu maka perusahaan air mineral swasta terkesan mengatur dirinya sendiri.Reza pun berharap pemerintah segera menerbitkan duaPP. Pertama, PP terkait alokasi pengelolaan sumber air untuk kepentingan sosial masyarakat sebagaibagian dari hak asasi manusia.Kedua, PP terkait hak guna untuk sektor bisnis. (*)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus