Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat hari ini menggelar rapat paripurna keenam untuk masa sidang I tahun sidang 2019-2020. Dalam rapat itu, DPR akan melanjutkan pembahasan terkait rancangan undang-undang sumber daya alam atau RUU SDA.
Rapat paripurna yang dijadwalkan mengundang sejumlah kementerian dan lembaga terkait ini sedianya dimulai pukul 10.00 WIB. Namun, hingga pukul 11.15 WIB, pimpinan Dewan belum juga membuka rapat.
Berdasarkan pantauan Tempo, baru segelintir anggota dewan yang menduduki kursi rapat. Adapun rapat baru dimulai pukul 11.30 WIB dan dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Utut Adianto. Rapat paripurna lebih dulu membahas soal RUU Pekerja Sosial.
Pembahasan RUU SDA mengundang Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Menteri ESDM, Menteri Pertanian, serta Menteri Hukum dan HAM.
Proses RUU SDA telah memasuki pembahasan tingkat dua. Rancangan beleid ini ditolak oleh sejumlah koalisi masyarakat sipil. Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Wahyu Perdana mengatakan ada empat hal dalam poin-poin RUU yang berpotensi cacat.
Pertama, WALHI menilai bahwa secara keseluruhan, perancangan beleid masih menggunakan pendekatan komoditas. Pendekatan itu dikhawatirkan menimbulkan kemungkinan kapitaliasi air oleh swasta.
“Rancangan undang-undang tidak boleh secara parsial hanya bicara soal perusahaan,” ujar Wahyu dalam diskusi seputar RUU SDA di kantor WALHI, Jakarta Selatan, Ahad, 1 September lalu.
Wahyu mengatakan, termin ini hanya sedikit dipakai oleh negara-negara di dunia. Misalnya Afrika dan sejumlah negara bagian di Amerika. Menurut Wahyu, regulasi menyangkut sumber daya air tidak boleh parsial, melainkan mesti simultan atau menyeluruh lantaran menyangkut hajat hidup seluruh penduduk.
Kedua, prinsip perancangan RUU SDA semestiya mengadopsi Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau PPLH Tahun 2009. Sebab, dalam RUU, naskah beleid yang dirembuk di Komisi V telah menyangkut hukum lingkungan hidup.
“Ketiga, soal nomenklatur kementerian atau lembaga yang mengurusi tentang SDA itu,” ucapnya. Menurut Wahyu, sampai saat ini, pembahasan RUU SDA belum spesifik membahas kewenangan kementerian atau lembaga terkait pengelolaan air. Bila tidak diatur, ke depan sejumlah kementerian dan lembaga akan tumpang-tindih dalam melaksanakan aturan.
Adapun terakhir, undang-undang yang dirancang mesti memuat review dan audit terhadap izin atau konsesi yang telah dikeluarkan. Selain WALHI, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI turut menyoroti RUU SDA. Wakil Ketua Umum Bidang Advokasi YLBHI Era Purnamasari mengatakan ada potensi penyimpangan prinsip pengelolaan air dalam naskah akademis RUU.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini