Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Industri Farmasi Kurangi Impor Sesuai Inpres Jokowi

Industri farmasi optimistis mampu mengurangi impor sesuai dengan Instruksi Presiden No 6/2016. Salah satu cara produsen obat untuk mengurangi impor adalah dengan mengembangkan potensi bahan baku lokal berbasis riset dan bersinergi dengan pemerintah.

15 Juli 2019 | 17.15 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Direktur Eksekutif Dexa Laboratories Biomolecular Sciences (DLBS) Dexa Group, Raymond Tjandrawinata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFO BISNIS — Mayoritas bahan baku obat-obatan di Indonesia masih bergantung dari negara-negara lain. Fakta itu diungkapkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia. “Sekitar 90 persen bahan farmasi Indonesia impor karena tidak mudah untuk mengembangkan bahan baku obat,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Kemenkes Siswanto, pada forum kesehatan di Magelang, Oktober 2018 silam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketergantungan Indonesia terhadap bahan baku obat-obatan impor membuat sejumlah kalangan prihatin. Padahal nilai industri farmasi Indonesia sekitar 4,7 miliar dolar AS atau setara dengan 27 persen dari total pasar farmasi ASEAN. Pemerintah berupaya mengatasi hal ini dengan menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan yang ditekan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kalangan industri turut berupaya mengatasi ketergantungan bahan baku obat impor. Salah satu hasilnya adalah fitofarmaka, obat tradisional berbahan alami yang dapat disetarakan dengan obat-obatan modern.

Obat berjenis fitofarmaka dibuat dari unsur-unsur tanaman dan hewan melalui proses uji praklinis dan klinis pada manusia. Fitofarmaka yang telah distandardisasi diakui memiliki khasiat sama dengan obat kimia. “Proses uji klinis fitofarmaka memang tidak mudah dan tidak murah,” ujar Direktur Eksekutif Dexa Laboratories Biomolecular Sciences (DLBS) Dexa Group, Raymond Tjandrawinata.

Menurut Raymond, ada perbedaan mendasar antara karakter obat kimia dan fitofarmaka. Obat kimia menimbulkan efek yang lebih cepat terhadap penyakit dibanding fitofarmaka. Namun, fitofarmaka aman dikonsumsi dalam waktu panjang dan tidak menimbulkan efek samping.

Hingga kini, fitofarmaka asli Indonesia bak tamu di negeri sendiri. Selain itu, pengetahuan masyarakat terhadap produk dan khasiat fitofarmaka juga minim. Belum lagi sebagian besar industri farmasi membeli bahan baku, meracik, dan mengembangkan, serta menjual obat. Jika industri fitofarmaka nasional dapat dikembangkan, ketergantungan akan bahan baku obat-obatan impor bisa ditekan.

Sayangnya, pengembangan dan pemasaran produk-produk fitofarmaka belum sesuai harapan kalangan industri domestik. Saat ini para produsen mengandalkan pemasaran fitofarmaka pada jalur asuransi pribadi dan sistem jual bebas atau Over the Counter (OTC).

Kalangan medis seperti dokter juga masih meragukan data-data dan material uji klinis fitofarmaka sehingga penggunaannya oleh pasien masih terbatas. Menurut Raymond, upaya memperluas penggunaan fitofarmaka bisa dilakukan jika produsen fitofarmaka gencar melakukan edukasi dan menyertakan kelengkapan data-data klinis dalam setiap kemasan. Selain itu, juga melakukan komunikasi terus menerus kepada para pelaku usaha dan pemerintah.

Sejak 2005, Dexa Medica melalui program Drugs Discovery melibatkan ratusan ilmuwan dalam proses riset dan pengembangan fitofarmaka secara intensif. Tujuannya menemukan obat-obat baru yang berasal dari bahan-bahan alami Indonesia, mencakup tanaman, binatang, dan mikrobiota—seluruh mikroba di tubuh manusia, seperti bakteri, archae, virus, dan jamur. Dua fitofarmaka produksi DLBS yang telah teruji klinis adalah inlacin—bahan dasar kayu manis dan daun bungur—untuk pasien diabetes dan disolf yang terbuat dari cacing tanah untuk pasien penderita penyakit jantung dan stroke.

Teknologi yang digunakan pada fasilitas riset dan fasilitas produksi di DLBS sudah mampu dan siap menjalani Pharma 5.0 sekaligus mendukung program Indonesia 4.0 yang dijalankan Pemerintah RI. 

Pelaku industri farmasi lainnya, Kalbe Farma juga mendorong kemandirian bahan baku dengan meresmikan pabrik bahan baku obat dan produk biologi di Cikarang, Desember 2018. Salah satu produk pabrik ini adalah Erythropoietin (EPO) untuk pengobatan cuci darah dan kanker. Sedangkan, Kimia Farma sejak tiga tahun lalu mengembangan produk sefalosforin dan turunannya. 

Jika industri farmasi khususnya fitofarmaka diperkuat, menurut Raymond, akan berdampak pada para petani dan peternak sebagai penghasil bahan baku yang berstandar. Selain itu, para pelaku usaha juga dapat bekerja sama dengan para akademisi dan peneliti dalam mengembangkan bahan baku. “Para petani bisa sejahtera jika produsen membeli bahan baku yang jumlahnya bisa berton-ton,” katanya. Dengan demikian, harga jual obat dapat ditekan dan swasembada obat-obatan nasional pun tercapai. (*)



Bahasa Prodik

Bahasa Prodik

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus