Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Damannas Tegaskan Perbedaan Masyarakat Adat dengan Kerajaan/Kesultanan

Golongan kerajaan dan kesultanan sedang berupaya memiliki undang-undang sendiri dalam NKRI.

28 Oktober 2022 | 10.21 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFO NASIONAL - Ketua Dewan AMAN Nasional (Damannas) Abdon Nababan menegaskan masyarakat adat tidak bisa disamakan dengan kerajaan atau kesultanan karena posisi konstitusionalnya sangat berbeda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kita melihat ada suatu upaya yang bisa mengaburkan batas antara masyarakat adat dan kerajaan atau kesultanan,” ujarnya pada sarasehan bertajuk “Memperjelas Kedudukan dan Hak Konstitusi Masyarakat Adat dan Kerajaan/Kesultanan di Indonesia” yang menjadi bagian dari Kongres Masyarakat Adat Nusantara Keenam (KMAN VI) di Obhe Sereh, Jayapura Papua, Rabu, 26 Oktober 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Abdon menyatakan kerajaan atau kesultanan punya sejarah yang tidak bisa disamakan dengan Masyarakat Adat. Kerajaan atau kesultanan merupakan negara yang ada sebelum terbentunya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Jika kerajaan atau kesultanan diterima sebagai pemerintah, artinya harus ada reorganisasi pemerintahan di seluruh wilayah Republik Indonesia.  Itu bisa berakibat pada pengambilalihan hak-hak masyarakat adat yang dulu di bawah kerajaan dan kesultanan.

Dalam konteks ini, kata Abdon, Masyarakat Adat bisa berhadapan dengan “dua negara” sekaligus. “Dengan satu Negara Republik Indonesia saja masih banyak persoalan yang menimbulkan konflik, apalagi ditambah kehadiran kerajaan dan kesultanan. Karena itu, AMAN menegaskan masyarakat adat itu berbeda dengan entitas kerajaan dan kesultanan,” tuturnya.

Sejak 2021, golongan kerajaan dan kesultanan berupaya memiliki undang-undang sendiri dalam NKRI. Mereka berjuang lewat DPD RI agar memiliki posisi dan status hukum. “RUU yang sedang mereka usulkan lewat perwakilan DPD RI namanya RUU Perlindungan dan Pelestarian Budaya Adat Kerajaan Nusantara,” kata Abdon.

Lebih lanjut, Abdon menuturkan bahwa golongan kerajaan dan kesultanan saat ini memiliki setidaknya tujuh organisasi yang berupaya memulihkan kembali kerajaan dan kesultanan agar bisa menjadi bagian dari pemerintahan RI.

“Sementara kita dari masyarakat adat, sedang berjuang lebih dari 10 tahun supaya memiliki UU yang mengakui dan memberikan perlindungan kepada hak-hak masyarakat adat, yaitu UU Masyarakat Adat.”

Dua RUU ini, kata Abdon, kalau tidak cermat dan memberikan batas yang jelas dan tegas bisa menjadi sumber masalah baru.  “Jangan-jangan wilayah adat yang sedang diperjuangkan oleh masyarakat adat tidak kembali ke tangan kita, tapi kembali ke kerajaan dan kesultanan. Ini patut diwaspadai,” kata Abdon.

Karena itu, Abdon menyatakan pihaknya akan terus mendorong RUU Masyarakat Adat tidak boleh disamakan dengan kerajaan dan kesultanan karena posisi konstitusionalnya berbeda.

Demikian pula, Alfrida Ngato dari Masyarakat Adat Pagu mendorong pemerintah untuk mempertegas kedudukan kerajaan dan kesultanan yang ada di daerah tersebut. Alfrida menyatakan hal ini penting karena dalam banyak kasus di Tidore sering sekali para pengelola negara belum paham siapa yang dimaksud dengan kerajaan atau kesultanan dan masyarakat adat. Ketidakpahaman ini dapat menimbulkan dampak negatif dalam penyelesaian masalah di satu tempat.

Ia mencontohkan saat ada permasalahan di kampungnya, yang didatangi para pengelola negara hanya pihak kesultanan. “Ini tidak baik, kalau pengelola negara saja tidak paham siapa kesultanan dan masyarakat adat, bagaimana mungkin mereka dapat bertindak adil,” kata Alfrida. (*)

Prodik Digital

Prodik Digital

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus