Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menanti Teknologi Imersif di Museum Fatahillah

Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah bersiap menghadirkan teknologi imersif untuk pengalaman sejarah interaktif. Gedung ini di era kolonial pernah difungsikan sebagai balai kota, gedung pengadilan, hingga di tahun 1960-an alun-alun di depannya sempat menjadi terminal bus.

9 Januari 2025 | 21.21 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah di Kota Tua, Jakarta. TEMPO/Lourentius EP

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFO NASIONAL - Teknologi imersif tengah menjadi tren di dunia museum Indonesia. Museum-museum besar seperti Museum Nasional dan Museum Wayang telah memanfaatkan teknologi ini untuk menciptakan pengalaman interaktif yang memukau pengunjung. Tak ketinggalan, Museum Sejarah Jakarta di Kota Tua, atau yang lebih dikenal sebagai Museum Fatahillah, juga bersiap menerapkan teknologi serupa.

Teknologi imersif memungkinkan pengunjung merasakan suasana seolah-olah berada di dalam narasi yang ditampilkan. Melalui kombinasi proyeksi visual 360 derajat, tata suara, dan interaksi digital, teknologi ini menghidupkan pameran museum. Misalnya, sejarah kota atau budaya lokal dapat divisualisasikan dengan cara yang lebih mendalam dan memikat, membuat pengunjung tidak sekadar melihat, tetapi benar-benar mengalami.

Di Museum Fatahillah, teknologi imersif sedang dalam tahap penyelesaian. Inisiatif ini diharapkan memberikan perspektif baru pada pameran yang menampilkan perjalanan panjang Jakarta dari masa prasejarah, kerajaan, penjajahan kolonial, hingga kemerdekaan.

“Sebenarnya sudah selesai pengerjaannya, tetapi saat uji coba ternyata masih ada yang belum sempurna sehingga masih diperbaiki. Mudah-mudahan paling cepat sudah siap diluncurkan pada Februari,” ujar Kepala Unit Pengelola Museum Kesejarahan Jakarta, Esti Utami, saat berbincang dengan Info Tempo pada Rabu, 8 Januari 2025.

Keberadaan ruang imersif akan semakin melengkapi penggunaan teknologi modern di Museum Sejarah Jakarta. Saat ini, museum tersebut telah menerapkan layar interaktif yang memungkinkan pengunjung menjelajahi isi museum melalui satu layar. Ada pula ruang sinema untuk memutar film sejarah yang juga dapat digunakan untuk kegiatan diskusi.

Museum Sejarah Jakarta merupakan salah satu museum yang paling ramai dikunjungi. “Contohnya saat libur Nataru kemarin (Natal 2024 dan Tahun Baru 2025) kunjungan per hari sekitar tiga ribu sampai empat ribu. Bahkan dahulu sebelum pandemi bisa sepuluh ribu orang per hari, kita sempat khawatir karena penuh banget. Gedung ini kan bangunan lama,” tutur Esti.

Patung Hermes berbahan perunggu dari abad ke-18 di Museum Sejarah Jakarta. TEMPO/Lourentius EP

Mayoritas pengunjung banyak yang berswafoto. Salah satu titik favorit yakni patung perunggu Dewa Hermes yang berada di taman museum. Di satu sisi, Esti bahagia melihat antusiasme masyarakat mau datang ke museum. Namun, ia berharap tujuan pengunjung bukan sekadar berfoto. “Saya inginnya pengunjung datang ke sini dan ada yang diperoleh ketika mereka pulang, bisa lebih mengerti tentang sejarah kita, sejarah Jakarta,” ujarnya.

Karena itu, kehadiran teknologi imersif diharapkan dapat memuluskan harapan tersebut. Teknologi ini juga sebagai perwujudan upaya Pemerintah Provinsi DKI menghadirkan museum yang mengikuti perkembangan zaman. “Anak muda sekarang atau generasi Z kan lebih senang melihat yang interaktif begitu,” ucap perempuan yang juga mengepalai Museum Prasasti dan Museum Husni Thamrin.

Sebenarnya Esti telah mengupayakan para pembimbing atau guide yang akan menemani para pengunjung di Museum Sejarah Jakarta. Para pembimbing ini bertugas menerangkan dan membantu pengunjung agar lebih paham tentang sejarah Jakarta. “Setiap hari sekitar 20 petugas yang siap mendampingi,” ujarnya.

Jadi, betapa beruntungnya pengunjung Museum Sejarah Jakarta saat ini. Harga tiket masuk hanya Rp 2.000 untuk pelajar dan Rp. 5.000 untuk dewasa/umum, bisa mendapatkan bantuan dari para pembimbing, dan beberapa pekan ke depan akan menikmati teknologi imersif.

Adapun ruang teknologi imersif ini berada di dalam Ruang Mural, tidak jauh dari pintu masuk. Jika ingin menjelajah secara konvensional, pengunjung akan memasuki satu per satu ruangan yang diawali dengan ruangan prasejarah, ruang di masa kerajaan Pasundan, kemudian Ruang Sultan Agung (Kesultanan Mataram), berlanjut ke era kehadiran VOC, masa kolonial, hingga sejarah peresmian museum di era Gubernur DKI Ali Sadikin.

Museum Sejarah Jakartai. TEMPO/ Lourentius EP

Kisah Balai Kota hingga Terminal

Gedung lokasi Museum Sejarah Jakarta, di era kolonial berfungsi sebagai Balai Kota Batavia (Stadhuis). Pembangunan Stadhuis I dimulai pada tahun 1620 di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen. Gedung ini berfungsi sebagai pusat administrasi dan pemerintahan VOC di Batavia.

Seiring berjalannya waktu, kebutuhan akan ruang yang lebih luas membuat Stadhuis I yang diperkirakan berlokasi di dekat Jembatan Kota Intan, dirobohkan. Pemerintah kolonial kemudian membangun Stadhuis II pada 1626 sampai 1707. Lalu berlanjut Stadhuis III dibangun antara tahun 1707 hingga 1710 atas perintah Gubernur Jenderal Joan van Hoorn. Bangunan ini dirancang menyerupai Istana Dam di Amsterdam, mencerminkan arsitektur khas Belanda pada abad ke-17.

Selain sebagai pusat pemerintahan, gedung Stadhuis juga berfungsi sebagai Raad van Justitie (Dewan Pengadilan). Di sini, berbagai kasus hukum disidangkan, dan bagi mereka yang divonis bersalah, tersedia penjara bawah tanah sebagai tempat penahanan. Penjara ini terkenal dengan kondisi yang sempit, gelap, dan lembab, menambah penderitaan bagi para tahanan. Salah satu tokoh terkenal yang pernah ditahan di sini adalah Pangeran Diponegoro pada tahun 1830 sebelum diasingkan ke Manado.

Penjara bawah tanah dii Museum Sejarah Jakartai. TEMPO/ Lourentius EP Penjara bawah tanah dii Museum Sejarah Jakartai. TEMPO/ Lourentius EP Penjara bawah tanah dii Museum Sejarah Jakartai. TEMPO/ Lourentius EP

Di masa pendudukan Jepang, gedung megah ini beralih fungsi sebagai markas pengumpulan logistik tentara. Fungsi ini berlanjut pada masa pasca-kemerdekaan yang dijadikan sebagai markas komando militer kota yang kemudian dikenal sebagai Kodim 0503 Jakarta Barat. Pada tahun 1968, TNI AD menyerahkan aset bangunan kepada Pemprov DKI meskipun tetap bermarkas di sana. Lapangan alun-alun di depan gedung ini dimanfaatkan sebagai terminal bus dan oplet.

Pada 30 Maret 1974, Gubernur Ali Sadikin meresmikan museum ini dengan tujuan untuk mengumpulkan, merawat, dan memamerkan berbagai artefak yang berkaitan dengan sejarah panjang Jakarta. “Sejak diresmikan, nama resminya adalah Museum Sejarah Jakarta. Karena lokasinya di Jalan Tamah Fatahillah, masyarakat terbiasa menyebutnya Museum Fatahillah sampai sekarang,” kata Esti. (*)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sandy Prastanto

Sandy Prastanto

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus