Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengkaji Islam dalam Ilmu dan Pengamalnya

Ilmu mengkaji Islam berkembang di timur tengah dan negara barat. Namun ihwal pengamalan patut belajar ke Indonesia.

31 Maret 2023 | 18.57 WIB

Mengkaji Islam dalam Ilmu dan Pengamalnya
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFO NASIONAL – Islam secara epistimologi memiliki tiga hal yang harus dibedakan. Pertama, sumber otoritas Islam (religious source of authority), yakni al-Qur’an dan sunnah yang menjadi sumber dan fondasi utama kita beragama. Dalam hal ini di dunia hanya ada satu al-Qur’an, tidak ada versi lain. Baik Sunni maupun Syiah memiliki al-Qur’an yang sama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika bicara tentang sunnah, yang terefleksi dalam kitab kitab hadis, perbedaan sudah mulai muncul, terutama antara Sunni dan Syiah karena masing masing memiliki kitab rujukan utama yang berbeda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Sunni memiliki kutub al-sitta (kitab enam, yakni Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan an-Nasai, Sunan Abu Dawud, Jami al-Tirmidhi dan Sunan Ibn Majah) bahkan kutub tisá (kitab sembilan ditambah, Muwatta Malik, Musnad Ahmad Ibn Hanbal dan Sunan ad Darimi) dan kitab musannafat yang lain seperti Musannaf Abd Razzaq al Sanáni dan lain-lain.

Sementara Syiah memiliki empat kitab rujukan utama yang disebut dengan al-kutub al arbaá, yaitu al-Kafi karya al-Kulayni, Man la yahdhuruhu al-faqih, Tahdhib al-ahkam, dan al-Istibshar. Perbedaan rujukan utama ini menyebabkan terjadinya perbedaan fundamental yang tidak mudah dikompromikan.

Kedua, pemahaman, penafsiran para ulama, sarjana, para penstudi Islam terhadap sumber otoritas di atas. Lahirlah sejumlah kitab tafsir, fiqih, tasawwuf sejarah dan lain-lain, mulai dari yang klasik sampai yang modern, dengan perspektif, pendekatan dan metodologi yang berbeda yang tak terhitung jumlahnya di seluruh dunia.

Pemahaman tentang agama ini kemudian menjadi sangat extensive karena perbedaan perspektif, pendekatan bahkan kepentingan. Potensi perbedaan menjadi tak terhindarkan. Perbedaan kapasitas, latar belakang, kecenderungan dan afiliasi sosial politik tidak jarang menentukan karakter penafsiran dan pemahaman para ulama.

Sejak zaman nabi sampai hari ini, karya tentang Islam ini tidak pernah berhenti. Islam pun tidak hanya dipelajari di negara negara muslim atau mayoritas muslim. Islam diteliti, dikaji, dipelajari di seluruh dunia. Tidak hanya di al Azhar Kairo, Jamiatul imam di Riyad, Universitas Madina, alMustafa di Qum, Iran, Qurawiyyin di Maroko, Zaytuna di Tunis, atau di India, Pakistan, Bangladesh, Malaysia atau Indonesia, tapi juga di Eropa dan Amerika.

Sekarang ini, sulit menemukan universitas besar berkelas dunia di Amerika dan Eropa yang tidak memiliki pusat kajian Islam. Bahkan studi Islam universitas terkemuka dan tertua di Amerika dan Eropa sudah sangat lama dan sangat mapan. Kajian Islam di Oxford dan Cambridge di Inggris, Harvard dan Chicago di Amerika, Sorbone di Paris, Leiden di Belanda, Heidelberg, Berlin dan Bonn di Jerman, Mc Gill di Canada adalah contoh-contoh perguruan tinggi kelas dunia yang memiliki tradisi kajian studi Islam yang sangat mapan.

Western scholarship on Islam telah melahirkan karya karya monumental dalam berbagai bahasa Eropa, terutama Inggris, Jerman, Perancis. Bahkan untuk mengkaji Islam awal di abad pertama kedua hijriah, atau masa-masa pembentukan Islam karya-karya monumental orientalis Eropa penting dan sangat kaya.

Ketiga, bagaimana agama (Islam) secara empiris diamalkan, diartikulasikan dalam pelataran sejarah peradaban Islam. Dalam konteks ini pengamalan agama bisa memiliki banyak versi. Artikulasi Islam di Timur Tengah dalam hal tertentu bisa berbeda dengan yang ada di Eropa, di Amerika, di Afrika, di Asia termasuk Indonesia, karena implementasi agama adalah hasil dialektika dan interaksi intensif antara sumber otoritas dan pemahaman terhadapnya dengan reliatas dimana agama itu diamalkan. Faktor budaya, tradisi, kualitas peradaban suatu tempat sangat mempengaruhi karakter artikulasi agama yang diamalkan.

Jika agama diyakini compatible dengan semua zaman dan tempat, agama harus diterjemahkan secara empiris agar responsif dan adaptif bahkan kontributif terhadap kemajuan, pembangunan, dinamika sosial, budaya, ekonomi politik dimana agama itu diamalkan. Di Eropa dan Amerika misalnya, isu integrasi antara tradisi dan budaya yang dibawa oleh para imigran yang notebene muslim dengan budaya Eropa yang (katanya) menjunjung tinggi nilai demokrasi, kesetaraan gender, kebebasan individu, hak asasi manusia dan lain lain sering menimbulkan ketegangan relasional antara para imigran dan penduduk asli, bahkan tidak jarang agama (Islam) dianggap kontraproduktif terhadap kemajuan dan bertentangan dengan nilai nilai Eropa yang maju dan modern. Ini adalah interaksi yang tidak produktif yang menyebabkan agama tidak dipahami sebagaimana mestinya.

Last but not least, apakah studi Islam di Indonesia cukup diperhitungkan? Tampaknya belum. Scholar Indonesia yang tampil dalam panggung-panggung akademik global tampaknya masih sangat terbatas, karya-karya akademik para sarjana dan ulama kita tampaknya juga masih tertinggal jauh walau beberapa abad lalu kita pernah punya ulama besar kaliber dunia.

Saya mencoba mengamati bahwa ulama kita memang tidak banyak melahirkan karya-karya monumental seperti ulama Timur Tengah, tetapi mereka berkarya dan mengabdi langsung ke masyarakat, membimbing umat mendirikan pesantren dan lain-lain. Hasilnya, pemahaman dan pengamalan Islam yang damai oleh masyarakat seperti yang kita rasakan sekarang.

Sementara ditempat lain, produksi karya monumental para ulama terus berjalan tetapi negaranya tidak stabil secara sosial politik, dan tidak jarang pemahaman agama yang tidak benar yang menjadi pemicunya. Mungkin karena ulamanya kurang turun ke lapangan membimbing umatnya.

Untuk studi Islam, Indonesia memang belum terlalu diperhitungkan, tetapi bagaimana Islam diamalkan dan dipedomani dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia sangat pantas diperhitungkan. Karena Islam Indonesia telah melahirkan Islam yang damai, toleran dan bahkan terlibat dan berkontribusi penting dalam pembangunan. Setuju? Wallahu a’lam. (*)

 

Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, MA | Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama

 

Prodik Digital

Prodik Digital

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus