Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL-Sejak awal Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)menggulirkan inisiatif pelabelan BPA (kemasan terbebas dari bisphenol A), pelaku industry air minum dalamkemasan (AMDK) keras menolak. Para pelaku industri AMDK yang diwakili organisasi ASPADIN berharap pelabelan tersebut dibatalkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Draft revisi Peraturan BPOM tentang Label Pangan Olahan memuat sejumlah pasal yang mewajibkan produsen AMDK yang menggunakan kemasan plastis polikarbonat mencantumkan keterangan "BerpotensiMengandung BPA" . Pelabelan tidak diperlukan jika produsen AMDK mampu membuktikan sebaliknya via uji laboratorium terakreditasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FMCG Insights, lembaga riset produk konsumen berharap semua pihak mendukunglangkah BPOM tersebut. Kemenkes pun harus aktif mendukung pelabelan BPA demi menjaga kesehatan seluruh masyarakat. "Semestinya, Kemenkes yang paling terdepan mendukung BPOM dalam penerapan labelisasi gallon industri AMDK," kata Public Campaigner FMCG Insights Achmad Haris, Januari lalu.
Apalagi kebijakan labelisasi galon ber-BPA merujuk padaUndang-Undang Perlindungan Konsumen. Pihak produsen wajib memberitahukan informasi yang transparan dan detail terkait produk AMDK kepada masyarakat selaku konsumen. Tujuannya memastikan kesehatan dan memberikan nilai edukasi kesehatan masyarakat.
Sedangkan Ketua ASPADIN (Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan) Rachmat Hidayat menyatakan,isu galon yang mengandung policarbonat berbahaya terdapat BPA sudah berembus sejak dua tahun lalu.Meski Pemerintah meminta produsen AMDK memberikan label non BPA, namun faktanya, tidak ada masalah dengan kesehatan atau keamanan pangankarena mengonsumsiAMDK yang menggunakan galon guna ulang(GGU) yang mengandung polikarbonat.
“ASPADIN mewakili pelaku industri AMDK pun secara resmi menyampaikan keberatan dan memohon BPOM untuk tidak melanjutkan pembahasan RAPERBPOM tersebut.Dari aspek kesehatan dan keamananpangan, semua produk pangan olahan termasuk AMDK, dan GGU (Galon Guna Ulang) memenuhi persyaratan perundang-undangan,” ujarnya.
AMDK GGU policarbonat, lanjut Rachmat sudah memenuhi SNI Wajib yang memiliki puluhan standar keamanan dan kualitas sebelum diedarkan di pasar. “Sampai hari ini sudah 38 tahun belum pernah adasatu pun hasil penelitian, insiden keamanan pangan atau laporan gangguan kesehatan akibat konsumsi AMDK GGU PC di Indonesia dan di dunia,” kata Rachmat yang juga sebagai Government and External Scientific Affairs Director Danone Indonesia.
Terkait rencana pelabelan BPA tersebut, Kementerian Perindustrian (Kepemperin) menghormati keputusan BPOM. Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin Edy Sutopo menyatakan, pihaknya menghargai pembahasan isu terkait pelabelan non BPA pada GGU yang banyak dipergunakan pelaku bisnis AMDK. Selama ini industri makanan dan minuman sudah menopang roda perekonomian di Tanah Air. Untuk itu Kemenperin berupaya menjaga kondusifitas iklim usaha pada dua sector tersebut.
Saat ini, BPOM sedang membahas draft aturan terkait pelabelan GGU yang terbuat daribahanpolikarbonatmengandung BPA. Kemenperin, kata Edi memiliki tujuan, agar kepentingan kesehatan dan ekonomi dapat berjalan seiring demi pencapaian tujuan bersama.“Kita jaga kepentingan kesehatan dan kepentingan ekonomi tidak jalan sendiri-sendiri. Dicarikan jalan penyelesaiannya,” ujarnya, Desember 2021.
Dia menambahkan, Kemenperin sudah memberikan masukan resmi agar BPOM dapat menerbitkan keputusan secara proporsional.Keputusan tersebut harus mempertimbangkan pelbagai aspek. Seperti aspek teknologi, ekonomi, kesehatan, hingga psikologis masyarakat.“Kami memberikan masukan agar keputusannya tepat.Setelah keluar, baru akan kami respons,” ujarnya.
Edypun berharap Kemenperin tidak dibawa-bawa dalam rencana pelabelan BPA tersebut. Harapan tersebut ia lontarkan terkait adanya pihak-pihak tertentu yang berusaha membenturkan Kemenperin dengan BPOM. Kemenperin hanya berkepentingan agar industri makanan dan minuman bisa terlindungi termasuk keberlangsungan sektor industri AMDK di Indonesia. Kemenperin memberlakukan semua industri sama agar berkontribusi.
Dukungan terhadap upaya pelabelan BPA oleh BPOM juga datang dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).Aturan BPOM terkait ambang batasbahaya BPA padaAMDK sangat positif untuk perlindungan kesehatan masyarakat. BPOM diminta melakukan sosialisasi secara luas pada masyarakat serta mengkaji dampak social ekonomi penerapan kebijakan tersebut.“Bagus sekali kalau benar dilakukan, jangan sekadar marketing saja dalam penjualan produk.Sebagai orang polimer, saya memandang pentingnya hal ini untuk kepentingan masyarakat,” ujar peneliti Balai Teknologi Polimer BRIN Chandra Liza.
Menurutnya,penentuan ambang batas maksimal residu BPA tidak akan berdampak langsung terhadap industri AMDK skala kecil. Apalagi mayoritas industri AMDK tidak mengggunakan galon, tapi bahan kemasan gelas plastic dan air minum kemasan ukuran medium. Sedangkan BPA hanya dipakai pada kemasan galon.
Diketahui, BPOM menemukan sejumlah kecenderungan yang mengkhawatirkan pada migrasi bahan kimiaBisphenolA (BPA) pada kemasan air minum berbahan poli karbonat bagi kesehatan masyarakat. Bahkan saat ujis ampel'post-market' selama 2021-2022 dengan sampel yang diperoleh dariseluruh Indonesia menunjukkankecenderungan yang mengkhawatirkan. Hal tersebut diungkapkan Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM RI Rita Endang melalui keterangan tertulisnya.
Rita menambahkan, sebanyak 33 persen sampel pada sarana distribusi dan peredaran serta 24 persen sampel berada pada rentang batas migrasi BPA 0,05 mg/kg yang ditetapkan Otoritas Keamanan MakananEropa (EFSA) dan 0,6 mg/kg berdasarkan ketentuan di Indonesia."Potensi bahaya di sarana distribusidan peredaran 1,4 kali lebih besar dari sarana produksi," ujarnya.
Penelitian BPOM juga menunjukan potensi bahaya di sarana distribusi hingga 1,95 kali. Hal tersebut berdasarkan pengujian terhadap kandungan BPA pada produk AMDK berbahan polikarbonat dari sarana produksi dan distribusi seluruh Indonesia.
Hasil kajian BPOM terkait paparan BPA juga menunjukkan, kelompok rentan pada bayi usia 6-11 bulan berisiko 2,4 kali dan anak usia 1-3 tahun berisiko 2,12 kali dibanding kelompok dewasa usia 30-64 tahun. "Kesehatan bayi dan anak merupakan modal paling dasar untuk mewujudkan sumberdaya manusia berkualitas dan berdaya saing yang merupakan salah satu tujuan RPJMN 2020-2024," ujarnya.
Rita menambahkan kajian BPOM bersama pakar ekonomi kesehatan juga memperlihatkan kerugian ekonomi dari permasalahan kesehatan yang timbul akibat BPA pada air kemasan Penelitian dengan metode studi epidemiologi deskriptif yang menggunakan estimasi berdasarkan 'prevalence-based' untuk mengkaji beban ekonomi.
Dipilih satu penyakit dengan dukungan banyak publikasi yang ilmiah. BPA merupakan 'endocrine disruptor' (zat kimia yang dapat mengganggu fungsi hormon normal pada manusia) berdasarkan penelitian berkolerasi pada system reproduksi pria atau wanita seperti infertilitas (gangguan kesuburan).(*)