Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL - “Jika kau sayang padaku, haruslah sayang padaku. Tapi aku tidak memaksamu, karena itu cintamu. Aku hanya bisa menerima dan hidup di dalamnya penuh bahagia. Jika kau benci kepadaku, bertanyalah pada dirimu. Apa mu yang terganggu dengan adanya aku. Dari situ kita berduabelajar, siapa kau, dan siapa aku…”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puisi sederhana karya Suzana Murni inidibacakan oleh Meirinda Sebayang, Ketua Sekretariat Jaringan Indonesia Positif (JIP), di hadapan hadirin yang mengisi momen World AIDS Day 2021. Suzana wafat pada Juli 2002, tepat di usianya yang menginjak 30 tahun. Dalam hidupnya yang singkat, ia hidup sebagai orang dengan HIV (ODHIV). Sepanjang hidupnya pula, Suzana gigih memperjuangkan kesetaraan bagi kelompok ODHIV dan melawan bentuk diskriminasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tokoh kelahiran 23 Maret 1972 ini mulanya dikenal sebagai perancang mode sebelum ia dinyatakan positif HIV. Namun, dengan berani, ia bersuara di forum internasional mewakili komunitas ODHIV. Puisinya yang digemakan oleh Meirinda tadi, membuat hadirin terdiam saatlirik-liriknya dibacakan. Suzana kembali berbagi semangat dan harapan kepada masyarakat tepat di 40 tahun epidemi AIDS.
Sejumlah tamu undangan duduk di bangku yang melingkar di lantai dua kantor UNAIDS Indonesia di Jakarta Selatan, Rabu, 1 Desember 2021. Acara pembacaan puisi ini sekaligus membuka pameran narasi sejarah 40 tahunAIDS dan juga pameran foto yang juga dihadiri oleh perwakilan Kementerian Kesehatan RI, Resident Coordinator PBB di Indonesia, Kedutaan Besar Australia, USAID, Kedutaan Besar Belanda, dan perwakilan dari organisasi komunitas ODHIV dan populasi kunci di Indonesia.
Country Director UNAIDS untuk Indonesia, Krittayawan Boonto, mengatakan UNAIDS tiaptahun telah membuat acara berupa promosi kegiatan untuk menyuarakannya. "Tahun ini kami kembali membuat refleksi sekaligus merekam memori sejarah tentang AIDS. Mulai dari awal dikenal di dunia hingga peristiwa dan pengalaman sekarang ini. Baik proses yang bagus maupun tak bagus di sepanjang rentang waktu," ujarnya.
Dalam ruangpameran, paparan narasi dimulai dengan catatan angka dimulai dengan angka 1981 yang mengisahkan tentang pertamakalinya kasusAcquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) ditemukan. Lalu, pada narasi lain, tertulis angka 1983, di Indonesia, saat dokter Zubairi Djoerban melaksanakan penelitianterhadap 30 transgender perempuan dan dua diantaranya terkena AIDS karena mempunyai gejala klinis. Setiap angka tahun hingga 2021, mengisahkan tentang proses, isu, dan fenomena genting yang terjadi baik di Indonesia maupun di dunia.
Selain kisah sejarah, tajuk 40 Years of AIDS Exhibition juga menggelar karya foto di ruangan pameran paling belakang. Karya tiap fotografer ini mewakili komunitas masing-masing yang berkisah tentang berbagai peristiwa yang dialami dan dirasakan oleh ODHIV untuk memperoleh kesetaraan dan melawan diskriminasi.
Menurut Tina, sapaan karib Krittayawan, kisah komunitas ini dapatditanggapi pengunjung dengan menerjemahkan dan menanggapi visual yang ada. "Sejak awal epidemi AIDS, komunitas telah menjadi garda terdepan dalam merespons HIV. Kami membuat pameran ini juga sebagai bentuk apresiasi dan penghormatan terhadap komunitas serta perayaan bagi kehidupan dan resiliensi mereka,”katanya.
Di ruang gelar karyafoto, ada kotak putih seukuran meja tertulis End AIDS 2030. Tiaphadirin dapat menorehkan tandatangan dan pesan pemberi semangat. Di dinding pameran, tertulis tiga kata kunci: End Inequalities, End AIDS, dan End Pandemics.
Sebanyak 30 karya para fotografer dari komunitas ODHIV dan populasi kunci yang rentan terhadap HIV ditampilkan dengan dua baris berjajar memang terlihatm enarik dan beragam. Gina Afriani Wulan Pratiwi, misalnya, menggambarkan simbol orang yang bergandengan tangan dengan narasi karyanya yang berjudul"Boxing HIV".
Karya fotografer Andri F dan Edi Saputra Lubis memunculkan visual gelas mug, sendok, dan piring, disertai keterangan tulisan, "Keluargaku tidak memperbolehkan aku berbagi piring, sendok dan garpu dengan mereka lagi. Aku harus menggunakan alat makanku sendiri. Aku merasa sangat diasingkan…"
Lalu, foto karya lainnya, berobyek alat-alatmedis yang kerap kita lihat di rumahsakit. Foto itu dilengkapi dengan keterangantertulis, "Meski pun angka kasus HIV di Indonesia tinggi, namun banyak orang yang masih enggan melakukan tes HIV karena adanya stigma negatif di masyarakat".
Ayah mendiang Suzana, Fadlan Fadli, yang hadir di acara pembukaan itu, mengatakan saat ini pandangan terhadap ODHIV banyak berubah ketimbang di masa lalu. Sosialisasi terhadap masyarakat dan detail informasi tentang AIDS sudah cukup luas diketahui.
Dia memberikan semangat sekaligus keyakinan kepada komunitas ODHIV untuk terus berjuang menuju kehidupanl ebihbaik. "Indonesia dan masyarakat dunia harus terus berjuang dan tetap percaya diri untuk mengatasi setiap persoalan. Seperti terhadap pandemi Covid-19, kita tetap harus mematuhi protokol kesehatan, stay healthy tetapi jangan terlalu khawatir," ujarnya.
Masyarakat dapat berkunjung melihat gelaran ini yang akan secara permanen ada di Kantor UNAIDS Indonesia di Jakarta Selatan pada hari kerja melalui reservasi terlebih dahulu. Tim UNAIDS akan memfasilitasi kunjungan masyarakat sekaligus memberikan edukasi komprehensif tentang sejarah HIV dan AIDS, secara global dan nasional. Informasi lebihlanjut, silakan kunjungi media sosial Instagram @unaids.id dan Twitter @unaids_id. (*)