Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

"desa setan" di perbatasan

Di daerah perbatasan thailand-kampuchea biasanya dipakai pengungsi untuk menyeberang ke thailand. daerah itu juga sering menjadi sasaran peluru. orang asing banyak berdatangan ke sana.

19 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAWASAN Thailand yang berbatasan dengan Kampuchea biasa disebut daerah terlezat yang berbentuk T-bone steak, daging bistik kelas wahid. Dan Aranyaprathet adalab kota terbesar dan terdepan yang dilintasi jalan raya Pbnom Penh-Bangkok. Wartawan TEMpo Toeti Kakiailatu berada di sana pekan lalu. Laporannya: DI kawasan perbatasan bagian tengah ini alam memberi peluang yang longgar. Artinya tidak ada batas yang berupa gunung tinggi, sungai besar ataupun muras yang ganas. Tapi ada hamparan sawah yang datar dengan sedikit berbukit-bukit. Di situ pula biasanya kaum pengungsi Kampuchea menyeberang ke Thailand. Dulu sebelum 1979 cuma ada satu resimen tentara yang menjaga kawasan ini. Kini Divisi IX menjaganya. Pedesaan yang berhadapan dengan kota-kota Kampuchea seperti Pailin, Battambang, Sisophon dan Poipet ini, menurut cerita penduduk, sering mendapat rezeki sasaran peluru AK47 atau roket RPG (Rocket Power Gun). Agustus lalu, Son Sann mengadakan konperensi pers di salah satu desa terdepan Thailand ini. Kontan beberapa hari berikutnya desa itu mendapat hujan peluru dan roket dari pasukan Vietnam dan Kampuchea-nya Heng Samrin. "Kami menghitung 80 roket di Desa Nong Chan," kata seorang perwira dari Divisi IX. Karena itu, sejak September pemerintah Thailand melarang pelarian Kampuchea memberikan pernyataan politik. Juga tidak boleh seorang wartawan pun berada di perbatasan. "Masalahnya, penduduk kami menjadi korban," sambung perwira tersebut. Dia pun kemudian menyebutkan Pac Kad Hong, sebuah desa yang kini ditinggalkan penduduknya sama sekali. Tidak banyak, cuma 400 orang yang kini diungsikan ke distrik Watana Nakhon. Dan Pac Kad Hong kini disebut "desa setan" oleh penduduk sekitarnya. "Di zarnan Sihanouk atau Lon Nol dulu, desa kami aman," kata Pud KamNil, 49 tahun, camat selama 16 tahun untuk Kecamatan Kao Noi Narmsup. Pac Kad Hong termasuk 8 desa yang dibawahinya. Kini, ada lagi sebuah desa di seberang Khlong Narm Sai yang juga banyak penduduknya mengungsi. Khlong (sungai) yang ada di perbatasan ini sebetulnya sungai bikinan untuk mencegah masuknya tank-tank dari arah Kampuchea. Dari khlong ini, kalau jalan kaki setengah jam saja, sampailah kita di perbatasan Kampuchea yang cuma ditandai pal-pal beton dalam jarak beberapa kilometer. Di seberang khlong ini kini dijadikan daerah bebas keluar masuknya orang Khmer Rouge (Khmer Merah). Konon di desa ini saja, Khmer Merah mempunyai kekuatan sekitar 4.000 orang, dan 3.000 di antaranya bersenjata. "Kami menyerbu ke arah Sisophon sekitar dua atau tiga kali seminggunya," kata Ruen, 20 tahun, yang baru 5 tahun bergabung dengan pasukan Khmer Rouge. Menurut pengakuannya, daerah Kampuchea yang kini dikuasai pasukannya sudah sejauh 7 atau 8 km. Dan di Sisophon ada markas Divisi 25 Vietnam. Suasana di Khlong Narm Sai sebetulnya tidak banyak beda dengan desa lainnya di kawasan perbatasan. Nama Narm Sai berarti "air yang jernih". Padi yang menguning disinari matahari penuh, dan angin sejuk musim dingin dari daratan dalam Asia berhembus kencang. Ada rumah rumbia dan berpanggung--banyak yang kosong. Satu, dua ekor anjing berkeliaran, mungkin mencari tuannya. Semakin senja hari, suasana semakin mencekam perasaan. Mungkin karena sepinya desa yang makmur itu. Atau serasa ada begitu banyak pasang mata yang mengawasi dari tempat-tempat yang tersembunyi. DALAM tempo 2 tahun, kami bisa merebut Kampuchea," kata Sereun, instruktur Ruen, 27 tahun, yang enggan dipotret. Meskipun dalam keadaan perang, menurut Sereun, sekolah khusus bagi yang muda-muda tetap berlangsung. Sekolah di hutan. Bahan makanan atau barang yang diperlukan lainnya biasanya mereka minta lewat radio khusus. Distribusi dilakukan secara berantai dan diatur dengan rapi dari pusat pimpinan. Kabarnya, orang-orang Khmer dari kawasan ini memiliki tiga buah pick-up Datsun yang sering berkeliaran di kota Aranyaprathet. Aranyaprathet, kota perbatasan ini, tidaklah luas. Pusat keramaian sampai jauh malam, berada di seputar pasar. Pusat kotanya sendiri penuh oleh toko-toko, sedang pemukiman penduduk sebagian besar tersebar di pinggirannya yang tidak berjalan aspal. Kota distrik ini berpenduduk sekitar 50.000. Sekitar 700 orang (asing dan pribumi) kini bekerja pada 20 organisasi internasional yang mengurus nasib pengungsi Kampuchea. "Sulit untuk mengetahui siapa-siapa yang berada di Aran," kata perwira Divisi IX tadi. Mungkin dia agen CIA, KGB atau agen Cina. Bisa juga seseorang, yang bekerja di proyek kemanusiaan, merangkap sebagai penyelundup. Pasar gelap di perbatasan memang semakin ramai. Mulai dari gula pasir sampai mobil dicoba diselundupkan ke kawasan Kampuchea. Tadinya, sudah ada dua peraturan yang melarang pasar gelap ini. Dari penguasa distrik Aran itu sendiri, dan dari pimpinan pemerintah komunis di Kampuchea, pekan lalu keluar lagi peraturan baru. Komandan Wilayah AD pertama, Jenderal Arthit, mengumumkan bahwa siapa yang mencoba menyelundupkan barang apa saja ke Kampuchea akan ditahan 3-6 bulan lamanya dan barang disita. Kabarnya, selama 6 bulan terakhir ini, ada 1.500 orang terbunuh. Tidak jelas siapa yang membunuh, tetapi korban terbanyak adalah pedagang kecil. Banyak orang bercerita bahwa para penyelundup itu sebetulnya petugas proyek kemanusiaan dan kaum sukarelawan yang diperbolehkan keluar masuk perbatasan dengan mobil khusus. Karena itu, kota Aran tetap sibuk dan meriah. Cafe Aran tetap ramai dikunjungi orang sebagai tempat berdansa. Ada lagi rumah hiburan yang bernama The Blows dan Valentme House yang baru dibuka. Di seputar pasar, banyak pria seragam militer berkeliaran. Mungkin tentara sungguhan, mungkin sukarelawan. Tapi kalau ada pria yang bersabuk tentara, berbaju loreng dan mengenakan topi vilt, mungkin dia penduduk sipil. Seragam tentara, jaket bekas Gl, banyak dijual di toko. Mungkin karena inilah, Jenderal Arthit mengusulkan untuk mengganti pakaian seragam pasukan Thailand. Di jalanan yang menuju ke ibukota Bangkok, banyak dipasang tanda a house to let, suatu bukti semakin banyak orang asing yang mencari rumah, sementara tak ada hotel yang layak bisa disajikan. "Dan harga-harga semakin mahal saja," kata Nyonya Saengrungrueng, "karena semakin banyak orang asing berdatangan." Di kota Aran ini, "jangan pergi ke sebelah timur, tapi tidak dilarang anda untuk melangkahkan kaki ke selatan, utara atau barat," kata seorang Amerika yang bekerja pada sebuah proyek kemanusiaan Katolik. Timur berarti ke arah Kampuchea. Dan di malam hari, di kota Aran belahan timur ini, sering terdengar "petasan" RPG 107, desingan AK-47 atau auman Howitser 155. Sementara itu, kehidupan pengungsi Kampuchea di kamp-kamp Sakaeo dan Khao I Dang semakin menetap. Tanaman sayur sudah panen beberapa kali bayi-bayi sudah berlahiran, dan tidak tampak lagi perut busung karena kurang makan. Sebagian besar pengungsi Kampuchea ini menyatakan mereka tidak senang pada rezim Pol Pot. "Kami waktu itu tidak bisa meninggalkan desa kami," kata Nyonya Kim, 32 tahun, yang berasal dari Battambang. Suaminya dibunuh Khmer Merah. Demikian pula ayahnya, karena dianggap "kapitalis" yaitu memiliki toko. Waktu Vietnam memasuki Kampuchea di tahun 1979, barulah Kim, abangnya dan anak tunggalnya berhasil melarikan diri. Mereka kini berada di kamp Khao I Dang. Sampai Oktober lalu, pengungsi Kampuchea di beberapa kamp di sepanjang perbatasan Thailand - Kampuchea berjumlah hampir 96.000 orang. Dari jumlah tersebut, 42. 300 orang berada di Khao I Dang. "Kami tidak tahu persis, siapa-siapa yang ada di kamp itu," kata seorang perwira Intel Divisi IX. Di sepanjang perbatasan yang dikuasai Divisi IX (sekitar 125 km) ada sekitar 100.000 pengikut Son Sann dan 84. 000 orang Khmer Merah. "Orang Khmer Merah militan sekali, tetapi kalau urusan politik, lebih pintar orang Son Sann," kata perwira intel tersebut. "Juga Khmer Merah lebih disiplin, sementara orang Son Sann lebih senang uang daripada perang." Menurut cerita Camat Kao Noi Narm Sup, bila berjalan 500 meter saja dari perbatasan, dulu seseorang sudah ketemu dengan tentara Vietnam. "Kini mereka jauh berada sekitar 10 km dari perbatasan," katanya Ceritanya pula, dulu tentara Thailand pernah membalas serangan Vietnam ini. "Tapi bom yang mereka jatuhkan merusak wat kuil kami," katanya. "rakyat jadi marah."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus