JATUHNYA pemimpin partai diKampuchea, Pen Sovan, merupakan acara
yang asyik diperdebatkan di luar sidang para Menlu ASEAN di
Pattaya, Thailand. Pernah hidup di Hanoi selama lebih 15 tahun
dan beristrikan wanita Vietnam, Sekjen Partai Revolusioner
Rakyat Kampuchea (PRRK) itu dipandang sebagai orang kuat di
negerinya sejak tersingkirnya rezim Pol Pot di akhir 1978.
Berbeda dengan Presiden Heng Samrin yang membelot dari Khmer
Rouge, Pen Sovan tak pernah punya urusan dengan Partai Komunis
yang miring ke Beijing itu.
Radio Phnom Penh yang mengumumkan berita penting itu (5
Desember) hanya menyebutkan Pen Sovan "perlu istirahat panjang
karena sakit-sakitan." Dia dikabarkan mendapat serangan jantung
yang kedua kalinya belum lama berselang. Suatu alasan yang amat
diragukan para pengamat. Sovan, 46 tahun, suka main tenis, belum
pernah terdengar menderita sakit jantung.
Alasan pemberhentian karena sakit itu bukan hal baru di
Kampuchea. Awal Oktober lalu, Menteri Pertanian Keo Chanda juga
diberhentikan dengan alasan serupa. Chanda, yang sebelumnya
menjabat Menteri Penerangan, dan fasih berbahasa Inggris,
dikenal sebagai orang pandai di kalangan pengamat Kampuchea.
Berbeda dengan Keo Chanda yang tak banyak diberitakan, eksitnya
Pen Sovan menimbulkan berbagai spekulasi. Nayan Chanda, pengamat
tekun Indochina yang menulis di Far Eastern Economic Review
menilai ulah Pen Sovan yang belakangan ini suka main mata dengan
Moskow membuat ia terjungkal dari kursinya. Salah satu petunjuk,
pihak Kremlin bungkam, dan Pravda, harian partai Soviet
memberitakan peristiwa itu tanpa komentar.
Lima hari setelah itu, ketika Radio Phnom Penh mengumumkan
Presiden Heng Samrin merangkap jabatan Sekjen, Kremlin tak
memberikan ucapan selamat. Ini berbeda dengan Hanoi: Sekjen
Partai Le Duan sendiri mengirim kawat ucapan selamat kepada
Samrin, dan mengharapkan agar "kerjasama yang militan" antara
kedua negara dipertahankan.
Orang No. 2 di Kampuchea itu memang sering berkunjung ke Moskow.
Tanggal 26 Oktober ia baru kembali dari Uni Soviet dan disambut
dengan kebesaran militer penuh di pelabuhan udara Pochentong,
Phnom Penh. Dua bulan sebelum itu, dia diundang berlibur di Laut
Hitam, suatu keistimewaan yang hanyabisa dinikmati Gleh mereka
yang dianggap dekat dengan Kremlin. Dan akhir November lalu,
sebelum berkunjung ke perbatasan Thailand-Kampuchea, yang
dikenal sarang Khmel Rouge, Pen Sovan menerima Oleg Bostorin,
Dubes Soviet untuk Kampuchea. Diduga kedua orang itu membahas
usa ha "memperkuat kerjasama Soviet dan Kampuchea."
Suka memuji-muji Soviet, anak didik Hanoi ini sudah lama juga
ingin melepaskan diri dari dominasi tetangganya itu. Kehadiran
150.000- 200. 000 tentara Vietnam, dan ribuan penasihat Vietnam
yang tersebar di berbagai kantor pemerintah di Kampuchea, dengan
sendirinya membuat banyak putra Kampuchea menjadi risi juga.
Keamanan ibukota Phnom Penh, terutama di malam hari, praktis di
tangan tentara Vietnam.
Setiap orang di Phnom Penh bila ditanya akan menjawab Kampuchea
masih membutuhkan kehadiran tentara Vietnam. Mereka masih ngeri
kalau pasukan Pol Pot kembali mengamuk membunuhi penduduk dan
menghancurkan apa saja yang mereka anggap modern: pagoda, bank,
semua kendaraan bermotor, mesin ketik sampai kacamata. Tapi,
seperti kata seorang di sana, "baik juga kalau pelan-pelan
tentara Vietnam itu muliai ditarik mundur."
Pen Sovan, menurut beberapa pengamat Indochina, rupanya ingin
memperjuangkan agar kedudukan Kampuchea setaraf dengan Vietnam
di mata Soviet. Dia tidak suka kalau harus konsultasi dulu
dengan Hanoi bila mau berhubungan dengan Moskow. Melihat gelagat
yang kurang baik itu, maka Hanoi yang sama-sama berkiblat ke
Moskow, rupanya merasa sudah waktunya untuk memasang wajah baru
yang lebih penurut. Bagi Hanoi, masalah Kampuchea dan Laos
merupakan masalah dalam negeri Indochina. Mereka agak sensitif
bila ada "orang luar" mencampuri, meskipun itu Uni Soviet.
Tapi ada yang berpendapat bahwa kasus mundurnya Pen Sovan dari
pentas politik Kampuchea suatu siasat saja. "Pergeseran di
Kampuchea itu hanya siasat untuk mengelabui dunia seakan-akan
ada perpecahan di dalam," kata Sekjen Dewan Keamanan Nasional
Thailand, Komandan Skwadron Prasong. Selama tentara Vietnam
masih bercokol di sana, katanya lagi, "perubahan figur tak
berarti akan ada perubahan dalam pemerintahan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini