Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=arial size=1 color=brown><B>Irak</B></font><BR />Berpaling ke Seteru Lama

Pemilihan umum parlemen Irak tak menghasilkan pemenang mayoritas. Kelompok Al-Sadr menjadi kingmaker.

5 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lebih dari tiga puluh ribu tentara Irak berderap menuju Basrah, 545 kilometer arah tenggara Ibu Kota Bagdad. Puluhan helikopter tempur Mi-17 serta pesawat pengangkut C-130 dan pengintai menderu-deru di langit mengawali penyerbuan ke kota terbesar ketiga di Irak itu, 24 Maret, dua tahun lalu.

Perdana Menteri Nouri Kamil Mohammed Hasan al-Maliki dan Komandan Pasukan Angkatan Darat Irak Letnan Jenderal Ali Ghaidan Majid turun langsung memimpin operasi Saulat al-Fursan. Inilah operasi militer pertama setelah rezim Saddam Hussein tumbang, yang sepenuhnya dikendalikan pemerintah Irak, tanpa melibatkan pasukan koalisi yang dipimpin Amerika Serikat. Targetnya, kata Nouri al-Maliki kala itu, ”Menangkap geng kriminal dan para pemimpinnya.” Yang dia maksud geng kriminal ini adalah milisi Tentara Mahdi.

Serbuan tentara Irak ini disambut perlawanan sengit Tentara Mahdi. Baku tembak pecah di seluruh bagian kota pelabuhan di selatan Irak itu. Setelah bertempur selama enam hari, pemimpin spiritual Tentara Mahdi, Moktada al-Sadr, meminta pasukannya menghentikan tembakan. ”Agar pertumpahan darah di antara sesama warga Irak berakhir,” kata Moktada, yang tinggal di Kota Qom, Iran.

Dalam pertempuran singkat itu diperkirakan 400 milisi Mahdi tewas, sedangkan di pihak pasukan pemerintah Irak, 30 orang meninggal. Penyerbuan ke Basrah itu membuat hubungan Al-Maliki dengan Moktada memburuk.

Namun, dalam politik tak ada musuh yang benar-benar abadi. Hasil pemilihan anggota parlemen pada awal Maret lalu menjungkirkan optimisme koalisi Negara Hukum yang dipimpin Nouri al-Maliki. Alih-alih merebut posisi mayoritas di parlemen, Negara Hukum hanya menduduki posisi kedua dengan 89 kursi dari 325 kursi parlemen yang diperebutkan. Mereka kalah tipis oleh koalisi Iraqiyya atau Gerakan Nasional Irak yang mendapat 91 kursi. Hasil mengecewakan itu membuat Al-Maliki terpaksa kembali berpaling ke musuh lamanya, Moktada al-Sadr.

Aliansi Nasional Irak, yang merupakan koalisi beberapa partai Islam Syiah, meraup 70 kursi parlemen. Posisi ini membuat Aliansi Nasional menempati posisi sangat menentukan dalam pembentukan pemerintahan baru Irak. Pekan lalu Mahkamah Konstitusi Irak sudah menegaskan bahwa kelompok yang berhak membentuk kabinet bukan mereka yang merebut suara terbesar dalam pemilihan umum, melainkan mereka yang mampu mengumpulkan suara mayoritas di parlemen. Untuk mendapatkan posisi mayoritas, yakni minimum 163 kursi, koalisi Negara Hukum ataupun Gerakan Nasional yang dipimpin Iyad Allawi harus melibatkan Aliansi.

Dalam Aliansi Nasional ini, kelompok Al-Sadr menyumbang lebih dari separuh kursi. Partai Al-Sadr didukung massa Islam Syiah miskin yang solid dan sangat taat kepada Moktada al-Sadr. Kendati baru berusia 36 tahun, Moktada punya pengaruh besar di antara warga muslim Syiah Irak yang merupakan mayoritas penduduk Negeri Seribu Satu Malam itu. Pengaruh itu ”diwarisinya” dari ayahnya, ulama Syiah berpengaruh, Ayatollah Mohammad Sadeq al-Sadr.

Akhir bulan lalu, utusan Al-Maliki menemui Moktada, yang sejak 2007 tinggal di Kota Qom, Iran. Mereka merayu Al-Sadr agar bergabung dengan Al-Maliki membentuk pemerintahan baru. Delegasi koalisi Negara Hukum diwakili oleh dua orang dekat Al-Maliki, yakni Ali al-Adeeb dan Khalid al-Attiya. Dari pihak Moktada, yang memimpin perundingan adalah Qusay al-Suhail.

Pihak Al-Maliki mengklaim perundingan itu menunjukkan sinyal sangat positif. Moktada tak lagi melarang pendukungnya memilih Al-Maliki. ”Dia tak lagi memberikan ’garis merah’ kepada Al-Maliki,” kata Sami al-Askari, tokoh kunci koalisi Negara Hukum. Namun juru bicara kelompok Al-Sadr, Salman al-Franjie, menampik klaim Askari. ”Dia bohong. Jika Moktada al-Sadr setuju bergabung dengan Al-Maliki, itu sama saja dia setuju pendudukan (Amerika dan sekutunya),” kata Salman.

Salah satu sumber di kelompok Sadr mengatakan, yang mengganjal mereka berkoalisi dengan Negara Hukum semata Al-Maliki. ”Kami khawatir mereka terus ngotot mengajukan Al-Maliki sebagai perdana menteri,” katanya. Ali al-Alaq, pemimpin Negara Hukum, mengatakan mereka sebenarnya fleksibel soal siapa yang nanti akan menduduki kursi perdana menteri. ”Tapi calon kami sampai sekarang memang hanya ada satu, yakni Nouri al-Maliki.”

Walaupun menolak Al-Maliki, kubu Sadr mesti berhitung cermat. Sebab, jika dia menolak bergabung dengan koalisi Negara Hukum, aliansi Iraqiyya yang dipimpin Iyad Allawi bisa menyalip di tikungan. Bagi kelompok Sadr, Iraqiyya yang didukung massa muslim Sunni dan sebagian Syiah sekuler terang pilihan yang lebih buruk. Secara ideologi, Al-Maliki yang ditopang massa muslim Syiah lebih dekat ketimbang Allawi yang juga dianggap kelewat karib dengan Amerika.

Moktada rupanya paham benar bagaimana mesti memainkan posisi strategisnya di antara dua kekuatan besar itu. Pekan lalu kelompok Sadr mengumumkan akan menggelar jajak pendapat untuk menentukan siapa calon perdana menteri yang paling banyak meraih simpati rakyat Irak. Ada lima calon yang dijajaki kubu Sadr, yakni Al-Maliki; Allawi; mantan perdana menteri Ibrahim al-Jafaari; Wakil Presiden Irak Adel Abdel Mahdi; dan Jafaar al-Sadr, sepupu Moktada. ”Kami belum menjatuhkan pilihan,” ujar Mohamed al-Bahadli, tokoh kelompok Sadr di Basrah.

l l l

Kendati menjadi pemenang pemilu, jalan Iyad Allawi menuju kursi Perdana Menteri Irak masih sangat jauh dan bukan tak mungkin akan berakhir dengan kegagalan. Minggu lalu, misalnya, Komisi Keadilan dan Keterbukaan mengumumkan 52 kandidat anggota parlemen yang mesti didiskualifikasi karena terkait dengan Partai Baath, partai politik pendukung bekas presiden Saddam Hussein. Ada kemungkinan 52 kandidat itu sebagian besar merupakan anggota Iraqiyya.

Tiga bulan lalu, Komisi Keadilan yang dipimpin Ali Faisal al-Lami juga mengusulkan pembatalan 511 calon anggota parlemen dengan alasan serupa. Sebagian besar dari mereka merupakan kandidat dari Iraqiyya. Sekarang, bila Komisi Pemilihan Umum Irak meloloskan usul Komisi Keadilan, kemenangan tipis Allawi bisa-bisa menguap.

Negara tetangga, Iran, kelihatannya juga kurang senang dengan kemenangan Allawi. Dua pekan lalu Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad dan pemimpin spiritual Iran, Ayatollah Ali Khamenei, mengundang pemimpin Kurdi, Jalal Talabani, dan Adel Abdel Mahdi, tokoh Aliansi Nasional. Pada saat bersamaan, beberapa petinggi koalisi Negara Hukum berada di Iran. ”Iran mengundang semua pihak, kecuali kami,” kata Allawi. Dia menduga koalisi tiga kaki, yakni antara kubu Al-Maliki, Sadr, dan sebagian Kurdistan, sudah diputuskan di Teheran, Iran.

Kalaupun Allawi lolos dari ”hadangan” Komisi Keadilan dan Iran, peluang dia membangun koalisi untuk mendapatkan suara mayoritas di parlemen juga relatif kecil. Koalisi Gerakan Nasional yang berbasis massa muslim Sunni dikepung partai-partai Syiah. Peluang paling besar bagi Allawi barangkali berkoalisi dengan Koalisi Kurdistan yang punya dukungan kuat di wilayah utara Irak. Tiga pekan terakhir, Allawi intensif bertemu dengan dua pemimpin suku Kurdi, yakni Massoud Barzani dan Jalal Talabani. ”Kami sangat serius menjalin koalisi dengan saudara kami di Kurdistan,” kata Allawi. Dia juga siap mendukung Jalal Talabani kembali menjabat Presiden Irak untuk kedua kalinya.

Namun Koalisi Kurdistan mengajukan syarat yang sangat berat kepada Allawi, yakni persetujuan perluasan wilayah Kurdistan yang mencakup Provinsi Kirkuk, Ninawa, dan Diyala. ”Kami juga harus menjadi mitra utama pemerintah,” kata pentolan Koalisi Kurdistan. Dia meragukan aliansi Iraqiyya akan mengabulkan syarat pertama. ”Tapi kami tetap harus memilih di antara yang buruk. Maliki pilihan yang buruk, tapi Allawi lebih buruk lagi.”

Sapto Pradityo (New York Times, Guardian, Kurdish Globe, Asharq al-Awsat)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus