Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajah dua perempuan yang telah menjadi jenazah itu berlumuran darah. Kepolisian Rusia merilis foto mereka, Selasa pekan lalu. Keduanya tersangka pelaku peledakan bom bunuh diri di jantung Kota Moskow, Rusia. Laporan yang masuk menyebutkan keduanya berambut hitam dan mengenakan pakaian serba hitam. ”Pasukan khusus memburu tiga tersangka lain,” kata juru bicara kepolisian, Viktor Biryukov.
Pelaku pengeboman di kereta bawah tanah itu mengingatkan publik Rusia pada aksi-aksi nekat ”Janda-janda Hitam”—kelompok perempuan pelaku peledakan bom bunuh diri rekrutan milisi pemberontak Chechnya di Kaukasus Utara. Harian Kommersant mengaitkan aksi itu dengan tewasnya Alexander Tikhomirov alias Said Buryatsky yang dijuluki Usamah bin Ladinnya Rusia. Pentolan kelompok militan Islam di Kaukasus Utara itu tewas dalam serangan militer Rusia di Desa Ekazhevo, Republik Ingushetia, awal Maret lalu.
Ledakan pertama terjadi di gerbong kedua sebuah kereta api yang berhenti di Stasiun Lubyanka, tidak jauh dari Lapangan Merah, dekat markas badan keamanan domestik Rusia. Ledakan kedua terjadi 45 menit kemudian, juga di gerbong kedua kereta di Stasiun Park Kultury, dekat gedung kantor berita pemerintah, RIA-Novosti. Serangan terburuk ke ibu kota Rusia dalam enam tahun terakhir ini menewaskan 39 orang dan sedikitnya 63 orang terluka. Rusia pun berkabung dan meradang. ”Akan kita hancurkan para teroris,” kata Presiden Dmitry Medvedev.
Pemerintah Rusia menuding kelompok separatis Chechnya berada di balik serangan teror itu. Chechnya terletak di wilayah Kaukasus Utara di Rusia, antara Laut Hitam dan Laut Kaspia. Konflik Rusia-Chechnya kembali merebak sejak 1991, saat Chechnya menginginkan terlepas dari Rusia pascaruntuhnya Uni Soviet. Ini sambungan dari cerita lama konflik itu, yang berawal dari penaklukan Kerajaan Rusia atas Chechnya pada 1858, sampai pemberangusan pemimpin Chechnya, Imam Shamil, yang ingin mendirikan negara Islam.
Melalui pesan video, kelompok militan Chechnya memang mengklaim bertanggung jawab atas aksi berdarah itu, sebagai balas dendam serangan aparat keamanan Rusia pada Februari lalu. ”Perang akan mendatangi jalanan tempat Anda,” kata orang dalam video yang mengaku sebagai pemimpin pemberontak, Doku Umarov, mengancam.
Pihak berwenang Rusia menyambut ancaman itu dengan memburu teroris penebar bom. Para penyelidik mendalami keterlibatan dua perempuan pelaku pengeboman dengan kelompok ”Janda-janda Hitam”. Jika pelaku adalah bagian dari kelompok itu, aksi teror ini dinilai hanya serangan awal.
Badan Keamanan Federal Rusia kini memburu sedikitnya 21 perempuan yang diperkirakan siap beroperasi sebagai ujung tombak teror. Sembilan anggota, termasuk dua pelaku itu, tercatat telah melakukan aksi teror sebelumnya. Mereka bagian dari diduga 30 anggota ”Janda-janda Hitam” yang tersisa. Nama kelompok ini mengacu pada pakaian yang biasa dikenakan saat mereka beraksi—gaun hitam panjang yang menutupi seluruh tubuh mereka. Di dalamnya terikat bom siap meledak.
Istilah ”janda” digunakan karena anggotanya adalah perempuan yang ditinggal mati suaminya akibat pertempuran melawan tentara Rusia di Chechnya. Sebagian dari mereka tidak kehilangan suami, tapi saudara lelaki atau keluarga dekat. Kelompok pemberontak memanfaatkan rasa duka dan kesumat para janda itu dalam proses perekrutan anggota. ”Dengan ajakan menghindari kesendirian,” kata Mia Bloom, pakar terorisme dari Penn State University.
Nama ”Janda-janda Hitam” juga mengacu pada spesies laba-laba betina hitam beracun yang selalu membunuh pasangannya setelah berhubungan kelamin. Memang, anggota ”Janda-janda Hitam” ini tak kalah ”dingin” dibanding laki-laki pelaku peledakan bom bunuh diri. Pada Juni 2000—awal keterlibatan perempuan dalam serangan teror di Rusia—dua perempuan ”Janda-janda Hitam” mengendarai truk bermuatan bahan peledak menerjang kantor polisi.
Sejak itu, berderet catatan aksi teror para ”laba-laba betina” itu. Seorang perempuan yang diidentifikasi bernama Shakhida Baimuratova melakukan peledakan bom bunuh diri mengincar Presiden Chechnya pro-Moskow, Akhmad Kadyrov. Serangan pada Mei 2003 itu menewaskan 14 orang. Sebulan kemudian, seorang perempuan meledakkan diri dalam bus, 17 tentara Rusia pun tewas.
Menutup 2003, seorang perempuan bersama pria pasangannya meledakkan diri di kereta api di Yessentuki, menelan korban tewas 46 orang. Di bulan yang sama, Khadishat Mangeriyeva nyaris mengguncang Istana Kremlin, dengan meledakkan diri dalam radius beberapa ratus meter saja. Gedung parlemen bergeming, tapi enam orang jadi korbannya.
Serangan oleh para perempuan itu lebih efektif dibanding pelaku laki-laki. Catatan The Chicago Project on Security and Terrorism menunjukkan bahwa pelaku peledakan bom bunuh diri perempuan Chechnya rata-rata menewaskan 21 orang dalam tiap serangan, lebih tinggi dibanding pelaku laki-laki yang korbannya 13 orang tiap serangan. ”Jangkauan perempuan lebih jauh. Mereka bisa masuk ke restoran atau diskotek, jadi tingkat keberhasilannya lebih tinggi,” ujar Bloom.
Umarov pernah mengakui bahwa pengebom perempuan punya keuntungan lepas dari incaran polisi. Pendahulu Umarov, Shamil Basayev, yang tewas dalam pertempuran di Ingushetia pada 2006, pernah mengumumkan adanya satu batalion martir pasukan berani mati perempuan yang siap bergerak kapan saja.
Batalion ini adalah ”Janda-janda Hitam” yang kadang disebut Syahidka, dari kata ”syahid” ditambah kata ”ka” yang berarti perempuan. Kelompok ini sempat digambarkan sangat religius. Rusia juga sengaja menjaga citra itu, untuk meraih dukungan Barat terkait dengan perang melawan terorisme.
Shamil Basayev pula yang sejak 1994 merekrut kaum perempuan untuk bergabung dalam perlawanan menghadapi tentara Rusia. Mereka dilatih menjadi pembunuh dengan mengorbankan nyawa sendiri. Langkah itu mendobrak tradisi sebelumnya bahwa kaum perempuan tidak dilibatkan dalam pertempuran Rusia-Chechnya.
Berbagai kelompok pembela hak asasi manusia menuding bahwa fenomena ”Janda-janda Hitam” itu buah dari kebijakan Kremlin. Pasukan Rusia dituduh kerap bertindak brutal terhadap kalangan sipil, termasuk kaum perempuan. Tindakan keras itu diyakini akan menciptakan martir-martir baru. Sayangnya, kritik keras negara-negara Eropa dan Amerika Serikat terhadap pendekatan militer dalam konflik Chechnya melunak setelah peristiwa serangan atas World Trade Center, 11 September 2001.
Harun Mahbub (AP, BBC, Telegraph, USA Today)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo