Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laki-laki itu berwajah kaku dengan penampilan kuno: rambut klimis, kacamata gagang tebal, dan dasi model 1960-an. Dia Thomas Richter, 34 tahun, pengelola sekaligus juru bicara sebuah restoran yang baru dibuka di Berlin, Jerman, awal September lalu.
Resto itu bernama Flime, kependekan dari Fleisch isst Mensch alias ”Daging untuk Manusia”. Menu yang disajikan resto ini bisa membuat perut mual: daging yang berasal dari potongan tubuh manusia. ”Daging manusia enak rasanya,” kata Richter dengan mimik aneh. Di mana tepatnya lokasi resto ini?
”Masih rahasia,” ujar Richter kepada Tempo. Ide restoran milik warga Brasil bernama Eduardo Amando itu meniru pengalaman suku Amazon yang dengan tradisi Wari suka melahap daging anggota keluarga dan musuhnya untuk mendapatkan kekuatan dan jiwa baru.
Seluruh peralatan dapur diimpor dari Rusia dan Polandia. Untuk menyantap menu, seperti ”Feijoada”, yaitu aneka potongan tubuh yang dimakan dengan nasi dan kacang polong, dan ”Gebraten Tartarbaelchen” alias buah zakar goreng yang disantap dengan sup, tamu resto hanya perlu membayar tempat duduk seharga 199 euro.
Untuk memperoleh bahan baku, sejak akhir Agustus lalu Flime gencar memasang iklan di Internet. Isinya menerima siapa saja yang mau menyumbangkan potongan tubuhnya. Termasuk penggalan bekas operasi dari rumah sakit. Ongkos operasi akan diambil alih Flime, sedikitnya senilai 1.000 euro, asalkan hasil cek kesehatan dinyatakan beres.
”Banyak orang merasa tidak mengenal anggota tubuhnya sendiri. Orang merasa tangan dan kakinya bukan bagian dari tubuhnya. Jika ini yang dirasakan, kami bisa menolongnya. Tulislah permintaan Anda lewat [email protected],” Richter menambahkan dengan nada serius.
Iklan itu dengan cepat merebak. Media prestisius Jerman, Spiegel Online, dan koran bergengsi Inggris, Daily Telegraph, memuat berita tentang resto itu. ”Kelak di Jerman orang bisa menyantap breasticles, headcaroni, atau fingertenders,” tulis Daily Telegraph dengan gaya bahasa satire.
Richter mengaku sudah beroleh izin usaha dari pemerintah. Cuma, keterangan ini dibantah. ”Tidak pernah ada permohonan izin usaha itu,” kata juru bicara Pemerintah Kota Berlin. Richter juga mengundang wartawan menghadiri jumpa pers di Hotel Holiday Inn pada 2 September 2010 pukul 10.00. Tapi undangan yang disebar via Internet itu dibantah Holiday Inn. Toh, dengan kalem, Richter menjawab, ”Oh, Holiday Inn membatalkan acara tersebut. Kami sedang mencari tempat lain.”
Tak pelak, warga ibu kota Jerman pun dibikin geger oleh berita itu. ”Cuma orang dengan kelainan jiwa yang punya ide seperti itu,” kata Alessandro, warga Berlin, bergidik ngeri. ”Jika pemerintah mengizinkan restoran seperti ini beroperasi, saya akan minggat dari Jerman. Kami bukan orang rimba,” kata Martina mencak-mencak.
Sedangkan Hans mengaku mual berat setelah membaca iklan itu di Internet. ”Di mana gerangan kepalanya? Sudah jadi alas kaki?” ujarnya dengan berang. Papan demo bertulisan ”Cegah Flime” dan ”Dagingku Milikku” pun bermunculan di sana-sini.
Senator bidang kesehatan, Marie-Luise Dittmar, mengatakan pada prinsipnya Jerman tidak melarang konsumsi segala jenis daging, asalkan bebas dari penyakit. Namun memotong bagian tubuh sendiri untuk dikonsumsi atau dengan alasan adat dilarang di Jerman.
Ketegangan dan kegelisahan warga baru redup setelah muncul keterangan dari Persatuan Vegetarian Jerman bahwa iklan itu fiktif. Iklan itu cuma akal-akalan untuk menarik perhatian orang. ”Problem global seperti kelaparan, kebakaran hutan, dan penyakit hewan terjadi karena rusaknya sumber daya alam,” kata Sebastian Zoesch, juru bicara organisasi vegetarian itu.
Konsumsi daging merangsang berkembangnya perusahaan ternak, yang pada gilirannya membuat sumber daya alam semakin menciut. ”Tahukah Anda setiap 3,6 detik satu orang meninggal karena kekurangan gizi?” ujar Zoesch. Iklan fiktif itu dimaksudkan agar orang berhenti mengkonsumsi daging. ”Organisasi kami sudah berdiri sejak 1892, tapi orang tidak peduli pada kegiatan kami,” Zoesch menambahkan.
Kendati berdalih mengajak orang hidup sehat, tindakan memasang iklan fiktif itu tetap memicu kegusaran. ”Jika mereka menganggap itu cuma guyonan, lelucon itu sama sekali tidak lucu,” kata Volker Nickel, juru bicara penasihat periklanan Jerman, berang bukan main.
Sri Pudyastuti Baumeister (Berlin, Jerman)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo