Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di lantai bawah tanah sebuah gedung tua di pusat kota Manhattan, New York, mereka—500-an orang—mengambil wudu, kemudian menunaikan salat berjemaah. Profesi mereka beragam: dari bankir hingga pemain valas, kebanyakan pegawai negeri Amerika Serikat.
Bertahun-tahun, mengenakan kopiah dan jubah putih, setiap masuk waktu zuhur, asar, dan magrib, mereka bergegas ke titik itu. Ini berlangsung hingga kini. Namanya Masjid Manhattan—ya, nama masjid di Amerika umumnya tak menggunakan bahasa Arab—tersembunyi di basement, tentu saja tanpa tanda bintang-bulan di atasnya.
Aryo Danusiri, mahasiswa doktoral di Universitas Harvard asal Indonesia yang kebetulan sedang melakukan penelitian untuk kuliahnya tentang tata ruang di New York, berada di sana. Ia menyaksikan kontras: jemaah membungkus tubuh mereka di antara para lelaki bule berkaus singlet bercelana jins dan perempuan-perempuan berpakaian separuh terbuka dengan make-up wajah cukup mencorong.
Ya, tepat di atas lantai bawah tanah itu terdapat sebuah klub. Manakala hari mulai gelap, musik disko terdengar dari basement. ”Kadang langit-langitnya juga bergetar,” kata Aryo.
Saat Ramadan, masjid yang luasnya tak sampai 30 meter persegi itu padat dengan manusia—jumlahnya seribuan orang—yang ingin beribadah sebelum berbuka. Di saat musim panas, ini tak menimbulkan masalah. Anggota jemaah yang tak kebagian tempat beribadah di luar gedung, meminjam trotoar sekitar 15 menit untuk salat. ”Walaupun orang bersungut-sungut, ya, karena ruang jalannya terhambat.” Kesulitan mulai muncul ketika musim panas usai dan udara dingin mulai menusuk.
Setiap tahun lantai bawah tanah itu dibanderol sang pemilik gedung US$ 100 ribu. Maklum, New York salah satu kota mahal dunia—bersama Paris, Tokyo, dan Jenewa. Sebelumnya, Masjid Manhattan terletak di lantai satu, dua gedung sebelahnya. Selama 28 tahun gedung itu masih boleh disewa oleh umat Islam New York. Pada 11 September 2001, lokasi menara kembar menjadi titik nol. Serangan Al-Qaidah yang mengatasnamakan Islam membuat warga New York menyimpan trauma terhadap Islam.
Pada Juli 2008, sewa gedung itu tak boleh lagi diperpanjang. Pemiliknya menunggu sampai sewa habis, dan umat Islam yang umumnya generasi kedua yang lahir di Amerika—kebanyakan New York dan New Jersey—tak lagi bisa beribadah di tempat itu. ”Mereka sempat kebingungan cari tempat,” kata pembuat film dokumenter itu. Maka, dalam situsnya, Masjid Manhattan sekarang menggalang dana untuk membeli tanah atau gedung yang bisa dijadikan masjid.
Namun jemaah itu, para imigran muslim generasi kedua yang sudah cukup mapan dengan gaji dan hidup teratur, menarik jarak dari politik praktis. Mereka tak ikut dukung-mendukung pembangunan Park51.
”Mereka lebih suka main cantik, tak frontal menghadapi warga New York,” tutur Aryo. Mereka sadar, kopiah dan jubah sudah cukup sebagai pusat perhatian setiap manusia yang lewat di trotoar Wall Street—tempat yang dilalui saat bekerja. Aryo sendiri memakai kopiah putih. Dan atribut ini memancing perhatian para pejalan kaki. ”Tak seperti Boston, yang malah cenderung cuek kalau ada orang berkopiah,” katanya.
MASJID Manhattan cuma dua blok dari barat laut ground zero atau titik nol. Di sinilah tempat menara kembar World Trade Center luluh-lantak dihantam pesawat American Airlines penerbangan 11 dan pesawat United Airlines penerbangan 175. Sederetan di Jalan Warren itu, di satu dari dua gedung di tempat itu, rencananya akan dibangun Park51. Ini adalah Pusat Kebudayaan Islam yang digagas Cordoba Initiative pimpinan Imam Feisal Abdul Rauf.
Dalam tiga bulan terakhir, rencana merombak sebagian gedung berarsitektur Cordoba, Italia, itu menjadi santapan politikus yang ingin mencari kesempatan menang dalam pemilu sela November nanti. Termasuk politikus Demokrat, yang tak mau tersalip lawannya dari Partai Republik, apalagi kaum Republik yang konservatif—Tea Party atau kelompok kanan lain. Sampai-sampai Ketua Senat Harry Reid masih meminta pusat kebudayaan itu dibangun di tempat lain—meski dia mengatakan, ”Secara konstitusional, semua pemeluk agama punya hak yang sama untuk beribadah.”
Hingga pekan lalu, Feisal tak banyak bicara soal pembangunan Park51. Dia cuma menyatakan satu hal: titik nol bukanlah sebuah tempat suci. ”Di lingkungan itu juga ada klub striptease dan rumah judi,” ujarnya. Sebagian keluarga korban 11 September memang menjadikan tempat ini ”kuil” peringatan bagi peristiwa sembilan tahun lalu itu. Karangan bunga dan nama-nama korban, yang mencapai 2.600 lebih, selalu mengingatkan tanah itu sebagai tragedi.
Saat ini sebetulnya ada keengganan pemilik modal yang akan membangun Park51 menggunakan uangnya untuk itu. Hisham Elzanaty, pebisnis Amerika kelahiran Mesir yang menjadi bohir sebagian besar pembangunan masjid itu, kini hendak mundur. ”Saya mau menjual lagi tanah ini kalau ada yang berminat.”
Dia menilai, satu dari dua gedung berlantai 13 itu bisa dibanderol jutaan dolar bila diperbaiki. Nah, ketimbang memicu kontroversi, lebih baik dua gedung itu dijual. ”Kalau warga di sini tak mengizinkan, akan saya jual, paling tidak saya balik modal.”
”Murni bisnis,” ujarnya. Elzanaty, yang sudah puluhan tahun tinggal di Long Island, adalah pemilik sebuah klinik pengobatan di New York sekaligus pebisnis real estate. ”Kalau ada yang berani US$ 18-20 juta, saya lepas dua-duanya.”
Kala Feisal bimbang karena ada pernyataan Elzanaty, di Florida sebuah antiklimaks terjadi. Pendeta Terry Jones dari Gereja Dove World Outreach Center akhirnya mengurungkan niat membakar Al-Quran, niat yang menjadi program gerejanya pada 11 September sejak pukul enam sampai sembilan pagi.
Tiba-tiba, pada 11 September, tak ada aksi bakar apa pun di halaman gereja Pantekosta yang sudah disiapkannya. Dia sempat mengkritik Aliansi Evangelis Dunia. ”Saya tak menyesal untuk apa yang hendak saya lakukan, dan yang akhirnya tak saya lakukan.” Meski begitu, dia masih mengecam gereja yang selama ini diam kala ancaman terhadap gereja mulai nyata. ”Gereja selama ini pengecut, dan egoistis.”
Sebetulnya, dalam rangkaian menuju 11 September, Jones sudah menunjukkan tanda-tanda akan melakukan barter: ”menukar” niatnya itu dengan pembatalan rencana membangun Park51. Berbulan-bulan Jones telah jadi tujuan kecaman. Komandan Lapangan Afganistan, Jenderal David Petraeus, membujuknya agar mengurungkan rencana itu. ”Pembakaran cuma akan memperbesar api kebencian dan meningkatkan kekerasan,” ujarnya di Afganistan.
Komandan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) itu menilai implikasi ini akan sangat dirasakan tentara Amerika dan NATO di Afganistan. ”Mereka bisa menjadi sasaran kebencian dan kekerasan.” Karena itulah dia membujuk Jones selama tiga hari berturut-turut melalui media massa.
Hingga empat hari menjelang rencana pembakaran, Jones masih meneguhkan sikap: akan membakar Al-Quran, yang dianggapnya sesat. Tapi, pada hari-H, tak ada yang terjadi. Pendeta Jones menghilang. Dia pergi ke New York untuk menemui Feisal—meski Feisal mengaku tak bertemu dengannya.
Sembilan tahun setelah kejadian 9/11, trauma terhadap Islam masih belum pupus. Berbeda dengan di New York, di Pentagon gedung runtuhnya dijadikan ruang serbaguna untuk beribadah bagi orang Islam, Kristen, dan Yahudi dalam kesempatan berbeda.
Di New York, umat Islam yang ingin berdoa, bahkan hanya di lantai bawah tanah, belum bisa menenteramkan hati warga kota pusat bisnis Amerika itu. Sebab, warga New York masih diselimuti kecurigaan. Bahkan untuk sebuah kopiah.Yophiandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo