Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=arial size=1 color=brown><B>Jerman</B></font><BR />Tembok Berlin, Dua Puluh Tahun Kemudian

Tembok Berlin runtuh pada 9 November 1989. Trauma masa lalu warga Jerman Timur tetap membekas. Tempo menemui orang-orang yang mengalami saat bersejarah itu.

16 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hujan tak menghalangi ribuan orang memadati kawasan Brandenburger Tor hingga Postdamerplatz di Berlin, Senin malam pekan lalu. Mereka berduyun-duyun datang memperingati 20 tahun runtuhnya tembok simbol kekuasaan tirani yang membelah Kota Berlin menjadi dua: Barat dan Timur. ”Runtuhnya Tembok Berlin adalah momen paling membahagiakan bagi rakyat Jerman,” kata Kanselir Angela Merkel dalam pidato sambutannya sambil berpayung.

Di tempat yang sama, 20 tahun lalu, Doro Herbst ingat betul bagaimana ribuan orang juga menyemut. ”Saya masih ingat ketika itu orang-orang membawa lilin menuju Tembok Berlin. Sangat mengharukan,” kata Herbst, wanita yang kini berusia 28 tahun dan bekerja di sebuah kafe di Bonn. Kala itu warga Berlin Timur seolah mendapat hadiah istimewa. Semua pintu perbatasan dibuka. Mereka bebas menyeberang ke Berlin Barat tanpa khawatir ditangkap.

Keangkeran tembok sepanjang 165 kilometer dan dibangun pada 13 Agustus 1961, yang memisahkan warga Berlin, itu pun akhirnya runtuh pada 9 November 1989 malam. ”Walaupun pintu perbatasan telah dibuka, ayah saya mengatakan, ’Ayo, tembok ini harus dinaiki. Ini merupakan saat bersejarah,’” ucap Herbst mengenang. Di Bronholmer Strasse, puluhan ribu warga Berlin Timur menaiki tembok itu untuk sampai ke Berlin Barat.

Tembok Berlin kini tinggal kenangan. ”Orang tua saya hingga kini masih menyimpan pecahan Tembok Berlin. Sampai sekarang mereka menyebutnya sebagai ’sepotong sejarah’.” Keluarga Herbst kemudian pindah ke Bonn karena ibunya, Doro, asli Bonn.

Semua berawal ketika setengah juta warga Jerman Timur menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran pada awal November 1989. Mereka berkumpul di Lapangan Alexander, Berlin Timur, menuntut reformasi, pemilihan umum yang adil, pembubaran monopoli politik Partai Sosialis Kesatuan Jerman, kebebasan pers, dan dibukanya perbatasan untuk melakukan perjalanan ke luar Jerman Timur. Para penulis Jerman Timur yang terkenal, seperti Christa Wolf, Stefan Heym, Heine Muller, dan Christoph Hein, hadir dalam demonstrasi itu.

Tekanan hebat membuat pemerintah Jerman Timur akhirnya menyetujui perubahan terhadap Rancangan Undang-Undang Perjalanan. Pada 9 November 1989 pagi, Kolonel Gerhard Lauter, Kepala Bagian Urusan Paspor dan Lapor Diri Warga di Kementerian Dalam Negeri Jerman Timur, menerima revisi Rancangan Undang-Undang Perjalanan bagi warga.

Bersamaan dengan revisi Rancangan Undang-Undang Perjalanan, rancangan dewan menteri juga dibahas di Komisi Pusat Partai Sosialis Kesatuan Jerman (SED). Egon Krenz, Sekretaris Jenderal Partai Sosialis Kesatuan Jerman, memberikan rancangan dewan menteri tersebut kepada anggota politbiro partai itu, Gunter Schabowski, untuk diumumkan dalam jumpa pers sore harinya. Acara jumpa pers yang disiarkan langsung oleh stasiun televisi dan radio itulah yang menjadi pemicu runtuhnya Tembok Berlin. ”Setiap warga dapat keluar dari Jerman Timur lewat pintu-pintu perbatasan,” ucap Schabowski membacakan salah satu butir rancangan dewan menteri tersebut.

Di Berlin Barat, pernyataan Schabowski itu langsung diartikan sebagai ”tembok telah dibuka”. ”Ibu saya menelepon, tembok telah dibuka. Saya tidak percaya, tidak mungkin,” kata Steffi Ringel mengingat kembali kejadian itu. Ketika itu Ringel berusia 19 tahun dan menjadi mahasiswi Universitas Dresden.

Seperti halnya keluarga Herbst, Steffi Ringel memutuskan pindah ke Bonn tak lama setelah peristiwa 9 November. ”Setelah kejadian itu, saya dan pacar saya langsung mengajukan izin pindah. Tak lama kami menunggu, izin itu keluar dan kami langsung pindah ke Bonn,” kata Ringel. ”Jika saya mengingat bahwa peristiwa itu sudah terjadi 20 tahun lalu, bulu kuduk saya berdiri. Dulu saya tak menyangka bahwa tembok itu akhirnya runtuh.”

Tak ada warga Jerman Timur yang mengira suatu saat tembok akan runtuh. Doktrin yang pernah diucapkan Walter Ulbricht, Ketua Dewan Negara Republik Demokratik Jerman, pada 20 Oktober 1957, sangat melekat. ”Melarikan diri dari Republik Demokratik Jerman merupakan pengkhianatan terhadap kepentingan rakyat,” begitu pernyataan Ulbricht.

Meninggalkan kawasan Jerman Timur tanpa izin merupakan kejahatan politis. Siapa pun yang melanggar akan mengalami perlakuan sadis. Itulah yang dialami Jutta Sorge, satu dari ribuan warga Jerman Timur yang gagal menyeberang ke Jerman Barat. Bahkan, untuk melupakan masa lalu yang kelam, Sorge sengaja mengubah namanya menjadi Amanda Bohlken.

Ketika ditemui Tempo, ia bercerita panjang-lebar tentang masa kecilnya sebagai ”anak sosialis”. Ayahnya seorang polisi dan ibunya seorang ibu rumah tangga. ”Ketika sekolah saya ikut organisasi remaja sosialis Jerman Timur,” ucap perempuan yang kini berusia 64 tahun ini. Pemikirannya berubah menjadi sedikit kritis ketika mengetahui bahwa ruang geraknya terbatas. ”Kami tidak bisa bepergian ke luar wilayah Jerman Timur. Itulah yang pertama kali membuat saya sadar ada sesuatu yang tak beres dengan negeri saya,” ujarnya.

Bohlken bercerita, suatu hari kelasnya mengadakan wisata belajar ke Berlin Timur. Gurunya berkata, ”Di sebelah sana itu Berlin Barat. Kalian boleh melihat-lihat sebentar, tapi harus kembali lagi ke sini.” Semuanya menuruti perkataan sang guru. Waktu itu belum ada tembok pemisah antara Berlin Barat dan Berlin Timur. ”Semua terlihat sangat berbeda. Di sebelah barat kelihatan mewah dan gemerlapan. Di sisi kami tampak abu-abu dan kelam,” ungkap Bohlken.

Magnet kehidupan mewah di barat itulah yang membuat Bohlken berencana menyeberang ke Jerman Barat. Namun nasib berkata lain. Saat akan menyeberang, ia tertangkap dan dibawa ke rumah tahanan pemeriksaan Moritzplatz di Magdeburg. ”Saya pikir pasti ini berkaitan dengan polisi. Tapi kemudian saya tahu, saya berada di penjara intelijen Stasi,” ucap Bohlken.

Dalam tahanan, Bohlken diinterogasi berjam-jam tanpa jeda, tanpa makanan ataupun air. ”Yang ada di kepala saya hanya kekacauan. Saya kehilangan kata-kata. Jadi, dalam keputusasaan saya berteriak, ’Ya, ya, saya mau kabur!’” Akhirnya ia divonis penjara tiga tahun.

Selama 26 bulan di penjara, Bohlken mengalami penyiksaan fisik dan batin. Pada 7 November 1972, ia akhirnya mendapat amnesti. ”Pengalaman buruk itu selalu kembali pada saya kapan saja,” kata Bohlken. Setelah Tembok Berlin runtuh, ia memutuskan tinggal di pinggiran Kota Bruhl, antara kota Bonn dan Koln, Jerman Barat, dan berprofesi sebagai terapis psikologi alternatif Prana.

Luky Setyarini (Jerman)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus