Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=arial size=1 color=brown><B>Malaysia</B></font><BR />Bertukar Manusia Perahu

Australia dan Malaysia sepakat bertukar pengungsi pencari suaka. Organisasi pengungsi dan aktivis hak asasi manusia menentang.

1 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA puluh aktivis hak asasi manusia bergerombol di depan Hotel Mandarin Oriental, Kuala Lumpur. Senin pekan lalu, setelah perjanjian penanganan pencari suaka bilateral Malaysia-Australia ditandatangani, sebuah demo digelar. Mereka mengangkat poster bertulisan ”Tak tahu malu, Gillard dan Bowen” dan ”Selamat datang di Malaysia: Salah satu tempat terburuk untuk para pengungsi”.

Para aktivis itu memprotes kesepakatan kedua negara yang akan bertukar pengungsi. Perdana Menteri Australia Julia Gillard menyatakan perjanjian ini dirancang untuk menghentikan perdagangan manusia. Tapi perjanjian yang ditandatangani Menteri Imigrasi Australia Chris Bowen dan Menteri Dalam Negeri Malaysia Hishamuddin Hussein itu ternyata membuat gerah organisasi hak asasi manusia dan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi pengungsi, UNHCR. Soalnya, Malaysia adalah negara yang tidak menandatangani konvensi penanganan pengungsi PBB dan dianggap punya reputasi buruk dalam menangani pengungsi.

”Harapan bahwa perjanjian itu bakal menghentikan perdagangan manusia adalah sampah,” kata Direktur Eksekutif Kelompok Hak Asasi Perempuan Tenaganita, Irene Fernandez.

Protes tak hanya dari Malaysia. UNHCR khawatir terhadap penanganan pengungsi karena Malaysia tidak menandatangani konvensi pengungsi PBB. Banyak catatan mengenai buruknya perlakuan pemerintah Malaysia terhadap ribuan pengungsi: kekerasan, hukuman cambuk, dan diskriminasi.

Jajak pendapat Galaxy yang dilakukan Daily Telegraph pada Juni lalu menunjukkan 66 persen responden menentang pengiriman pencari suaka ke Malaysia. Kebijakan Bowen dinilai tidak populer karena tidak mempertimbangkan pengungsi anak-anak, terutama yang tidak didampingi orang dewasa.

"Ini kebijakan politis instan untuk menghentikan perahu-perahu pencari suaka Australia," ujar David Manne, Direktur Eksekutif Melbourne's Refugee and Immigration Legal Centre.

Pencari suaka yang terus berdatangan membuat Australia kewalahan. Mereka datang dari negara miskin atau sedang berperang, seperti Afganistan, Sri Lanka, Iran, dan Irak, dan menggunakan Malaysia serta Indonesia sebagai tempat transit menuju Australia untuk mencari kehidupan baru.

Para pencari suaka itu ditampung di Pulau Christmas, yang jaraknya 220 mil ke arah selatan dari Jakarta. Kini jumlahnya sudah melebihi kapasitas. Tahun lalu saja, lebih dari 6.200 pencari suaka datang dengan perahu.

Proposal Gillard mengamanatkan pencari suaka yang tiba di Australia dengan perahu tidak akan lagi dibawa ke Pulau Christmas, tempat mereka memiliki akses untuk mendapatkan visa Australia. Sebanyak 800 pencari suaka yang datang mulai pekan lalu akan dikirim ke Malaysia. Sebaliknya, Australia mengambil sekitar 4.000 pengungsi yang mayoritas asal Burma di Malaysia, selama periode empat tahun.

"Kami memastikan dalam perjanjian itu Malaysia akan memperlakukan mereka dengan layak dan tidak mengirim ke tempat penganiayaan," kata Gillard. Lagi pula, Malaysia disuntik dana sedikitnya Aus$ 300 juta selama empat tahun untuk transportasi, kesehatan, perumahan, pendidikan, dan kesejahteraan pengungsi.

Menurut seorang pejabat pemerintah yang menolak disebut namanya, kesepakatan ini menguntungkan Malaysia karena membantu negara itu mengatasi masalah klasik pengungsi, yang terus datang mencari suaka, sementara kemampuan pemerintah membantu terbatas.

Kebanyakan pengungsi di Malaysia adalah orang Burma yang mengalami penganiayaan di negaranya. Mereka bertahan hidup dengan pekerjaan tak tetap karena tidak mendapat izin bekerja resmi dan tak memperoleh akses pendidikan.

Menteri untuk Industri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Bernard Dompok dalam wawancara dengan ABC Australia mengatakan, dari kesepakatan bilateral mengenai pengungsi tersebut, Malaysia berharap Australia akan memberikan bantuan bentuk lain di bidang ekonomi, misalnya pembebasan tarif bea masuk dan industri sawit.

Nieke Indrietta (AP, AFP, ABC Australia, Xinhua, Bernama)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus