Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=arial size=1 color=brown><B>Singapura</B></font><BR />Jurnalis Sang Terdakwa

Dua jurnalis terancam hukuman penjara di Singapura dan Burma. Mereka dijerat dengan pasal pencemaran nama baik dan kejahatan terhadap negara.

1 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alan Shadrake, 75 tahun, tidak menduga undangan peliputan dari Departemen Pariwisata Singapura pada 2002 bakal mengantarnya ke balik tembok penjara. Dia menerima undangan itu dan akan menulis hasilnya berupa artikel perjalanan yang bakal diterbitkan di California, Amerika Serikat.

Siapa sangka di tengah peliputan, editor asal Inggris itu bertemu dengan Darshan Singh, seorang eksekutor hukuman mati yang sedang berwisata keliling dunia. Saat itu, Singh menceritakan soal hukuman mati yang harus dijalani warga negara Australia, Nguyen Van Tuong, atas tuduhan mengedarkan obat terlarang.

”Wawancara tiba-tiba itu mengubah minat saya sehingga ingin melihat lebih lanjut mekanisme penjatuhan hukuman di Singapura,” ujar Shadrake kepada Temasek Review. Ketika itu, di Negeri Singa sedang hangat pula kasus vonis hukuman mati terhadap miliarder Inggris, Mike McCrea, yang dituduh terlibat dalam dua kasus pembunuhan.

Akhirnya, pada Juli 2010, semua hasil penyelidikannya dibukukan dengan judul Once Jolly Hangman: Singapore Justice in the Dock. Buku itu dianggap mencemarkan nama baik sistem peradilan Singapura. Akibatnya, sehari setelah peluncuran buku, Shadrake ditahan di kamar hotelnya. Tapi dia bebas dua hari kemudian, setelah ada desakan dari para Facebooker dan Lembaga Amnesti Internasional kepada pemerintah Singapura.

Aktivis lokal Singapura juga membantu menyumbang uang jaminan bagi pembebasan Shadrake US$ 7.240. Meski dibantu sana-sini, dia tetap tidak diperbolehkan kembali ke negaranya, sebelum proses peradilan berlangsung pada 18-20 Oktober lalu. ”Sangat jelas dia mengabaikan sistem peradilan Singapura dan memaksa pembaca mempercayai apa yang dia tulis,” ujar Deputi Senior Konsulat Negara Hema Subramaniam.

Pengacara Shadrake, M. Ravi, berkilah bahwa seharusnya pengadilan Singapura melihat apa yang dilakukan kliennya sebagai kritik demi kepentingan umum. ”Ini akan membantu memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan,” ujar Ravi.

Dalam persidangan yang digelar Senin dua pekan lalu, Shadrake, yang saat ini tinggal di Malaysia, diancam hukuman penjara minimal dua tahun. Hukuman ini tak ayal menuai kecaman keras dari organisasi pers internasional. Salah satunya Reporters Without Borders, yang mengajukan petisi kepada pemerintah Singapura agar membebaskan Shadrake, mengingat umur dan kesehatannya yang rapuh.

Nasib lebih mengenaskan menimpa Nyi Nyi Tun, editor di harian Kandarawaddy, Burma, yang berasosiasi dengan grup berita Mizzima di New Delhi, India. Dia dihukum 13 tahun 8 bulan dengan tuduhan melanggar empat undang-undang sekaligus. Nyi Nyi Tun ditahan sejak tahun lalu dan rezim junta militer Burma juga menutup Kandarawaddy.

Nyi Tun dituduh melakukan kejahatan terhadap negara karena menyiarkan berita yang berasosiasi dengan grup berita Mizzima yang dikelola para aktivis Burma di pengasingan. Kepada keluarganya, Nyi Nyi Tun bercerita bahwa dia mengalami penyiksaan selama pemeriksaan.

Sebelumnya, Nyi Tun dituduh terlibat dalam serangkaian ledakan bom di Yangoon, tapi akhirnya tuduhan itu diganti. Tuduhan melakukan kejahatan terhadap negara sebelumnya digunakan pula oleh junta militer untuk menjerat jurnalis lain.

Penahanan itu menuai protes keras dari berbagai organisasi pers. Burma Media Association (BMA) menyebut penahanan terhadap Nyi Tun sebagai pembekapan media oleh junta. ”Bukannya mendorong pengembangan media, junta malah menghalangi media yang merupakan mata dan telinga negara,” ujar Wakil Ketua BMA dalam pengasingan, Zin Lin.

Tuduhan terhadap Nyi Tun dinilai oleh pengurus Komite Perlindungan Jurnalis Asia Tenggara, Shawn Crispin, sebagai akal-akalan junta untuk memenjarakan jurnalis yang independen. ”Pengubahan tuduhan terhadap Nyi Tun itu menjadi ejekan bagi junta yang menyatakan bertransisi ke demokrasi,” ujar Crispin.

Cheta Nilawaty (The Temasek Review, The Straits Times, Mizzima News, www.cpj.org)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus