Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ribuan orang itu tampak seperti tengah menghadiri pesta makan malam di halaman Gedung Pemerintah, yang merupakan kantor resmi Perdana Menteri Thailand di Bangkok, Selasa pekan lalu. Mereka berkumpul bersama keluarga, berfoto, menyantap makanan, dan bernyanyi. Padahal tak ada undangan hajatan apa pun di sana.
Mereka yang tampak bersenang-senang itu sebenarnya massa pendukung Aliansi Rakyat untuk Demokrasi. Aliansi ini tengah menduduki kantor Perdana Menteri Samak Sundaravej dengan tujuan memaksanya mundur.
Rumor beredar di sepanjang malam bahwa ribuan polisi di luar kompleks kantor Perdana Menteri sedang disiapkan menyerbu dan memaksa demonstran bubar. Toh ”pesta” tetap berlangsung. Hingga fajar menyingsing, tidak terjadi apa-apa. ”Ini kemenangan kita, polisi tak menyerbu dan menangkap kita tadi malam,” ujar Chamlong Srimuang. Chamlong, 73 tahun, telah dua hari dua malam berada di tenda, berlindung dari hujan yang mengguyur Bangkok. Pensiunan mayor jenderal ini pemimpin puncak Aliansi Rakyat.
Inilah gerakan massa terbesar setelah berhasil mendorong militer mengkudeta Perdana Menteri Thaksin Sinawatra melalui aksi demonstrasi sekitar 100 ribu orang selama berbulan-bulan. Kini Aliansi Rakyat berniat mengulangi sukses itu untuk menyingkirkan Samak, yang mereka tuduh sebagai kaki-tangan Thaksin. Mereka menganggap ini pukulan terakhir untuk mendepak Samak.
Krisis dimulai pada Selasa pagi ketika sekitar 35 ribu demonstran bergerak ke sasaran kantor pemerintah. Sebanyak 82 orang mendobrak pintu belakang stasiun televisi pemerintah National Broadcasting Services of Thailand dan berhasil menghentikan siaran selama satu jam. Rombongan lain menduduki tiga kementerian.
Di kantor perdana menteri jumlah demonstran menyemut. Polisi hanya mengerahkan 2.000 personel. Demonstran membawa poster bertulisan ”Pemerintah Iblis, Keluar Sekarang”. Ada juga foto Samak dengan tanda silang merah. ”Kita sekarang dalam kantor Perdana Menteri, dan kita tak akan beringsut hingga pemerintah mundur,” ujar Sondhi Limthongkul, pemimpin Aliansi yang lain.
Hari itu Samak gagal memimpin rapat kabinet mingguan di kantornya, sehingga terpaksa dipindahkan ke markas tentara di Bangkok. ”Kami akan melakukan apa pun untuk membuat lumpuh lembaga pemerintah,” ujar Sondhi.
Sebagaimana biasa, Samak meradang. Ia menuduh demonstran menginginkan pertumpahan darah. ”Mereka ingin militer beraksi dan melakukan kudeta lagi,” kata Samak. ”Saya tak akan mundur.”
Pada Rabu pagi ia mengirim pengacara pemerintah, Methee Jaisamut, untuk mengajukan petisi ke pengadilan agar memerintahkan demonstran keluar dari halaman dan Gedung Pemerintah. Hakim segera meneken surat perintah pembubaran massa. Pengadilan kriminal pun mengeluarkan perintah penangkapan terhadap sembilan pemimpin Aliansi Rakyat, termasuk Chamlong Srimuang dan Sondhi Limthongkul.
Tuduhannya seabrek: memberontak, melakukan konspirasi, menggelar pertemuan ilegal, dan menolak perintah membubarkan diri. Ancamannya hukuman mati atau penjara seumur hidup, meski belum seorang pun selama 30 tahun terakhir dieksekusi dengan tuduhan itu.
Toh Chamlong tak beranjak. ”Jika kita pergi sebelum pemerintah ini mundur, artinya kita kalah,” katanya. Bekas mentor politik Thaksin ini yakin, akan lebih banyak massa yang berkumpul. ”Jika kita bertahan, kita akan menang dalam tiga atau empat hari lagi,” katanya di depan massa.
Di tengah ketegangan di kubu Samak dan Aliansi, Komandan Angkatan Darat Jenderal Anupong Paojinda menempatkan 1.000 anggota pasukan yang terlatih mengatasi kerusuhan. Pasukan itu adalah Divisi Pertama Pengawal Raja di Bangkok. Tapi kecil kemungkinan tentara melibas Aliansi Rakyat, karena aliansi ini dikenal dekat dengan militer dan Raja Bhumibol Adulyadej.
Yang lebih mungkin, pasukan siap beraksi jika Samak menyatakan negara dalam keadaan darurat. Sebab, kata seorang sumber, terbuka kemungkinan Samak menyatakan keadaan darurat ketika polisi gagal melaksanakan tugasnya membubarkan massa.
Masalahnya akan lebih rumit bagi Samak jika ia menyatakan keadaan darurat, karena tentara akan dikerahkan di jalanan, dan ketakutan akan terjadi kudeta militer lagi makin beralasan. ”Keadaan darurat akan menempatkannya pada risiko ketidakpastian bahwa dia dapat mengontrol militer,” ujar sumber itu. Pilihan Samak tak banyak: mundur atau kudeta militer.
Raihul Fadjri (Bangkok Post, The Nation, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo