Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malam Natal, 2006. Di kediaman pribadinya di Kota New York, Caroline Kennedy, sang nyonya rumah, mulai menyuguhkan pastel tutup dengan topping keju mozzarella, hidangan pencuci mulut dalam acara santap malam Natal itu. Tiba-tiba, salah seorang tamu—teman sekelas putrinya, Rose, di Universitas Harvard—memuji senator Demokrat dari Illinois, Barack Obama.
Menurut teman Rose, para mahasiswa Ivy League—perkumpulan mahasiswa delapan kampus Amerika paling top—sudah memutuskan mendukung Obama. Padahal saat itu belum ada pengumuman resmi tentang pencalonan dia ke kursi presiden. ”Anda mau ikut menggalang dana?” ujar teman putrinya itu.
Terpesona pada pidato Obama di Konvensi Demokrat dua tahun sebelumnya, Caroline tidak serta-merta terbujuk. Sejak sahabat dekatnya, Bill dan Hillary Clinton, tidak lagi mendiami Gedung Putih, Caroline praktis menjauh dari hiruk-pikuk kampanye. Apalagi saat itu Hillary Clinton juga maju ke konvensi.
Setahun kemudian, Caroline memutuskan hadir diam-diam saat Obama berpidato di hadapan ribuan warga Afro-Amerika di New York. Obama, yang tidak melihat kehadiran Caroline, belakangan langsung menelepon dan meminta maaf. Itulah untuk pertama kalinya mereka bercakap-cakap.
Percakapan di telepon itu mengubah hidup Caroline. Putri mendiang John F. Kennedy itu memutuskan mendukung Obama. Dari sekadar sukarelawan kampanye, perempuan 50 tahun itu terlibat lebih jauh sebagai penasihat, termasuk mengusulkan pendamping Obama yang pas untuk memenangi duel melawan John McCain, calon presiden Partai Republik.
Caroline memimpin tim seleksi pemilihan wakil presiden bagi Obama. Awalnya ia bergabung di tim pencari dana, tapi ditarik untuk memperkuat tim seleksi. Jabatan ketua tim seleksi disandangnya sejak Juni 2008, setelah ketua sebelumnya mengundurkan diri. Sebelum masuk tim sukses Obama, Caroline mengajar di Harvard’s John F. Kennedy School of Government dan mengurus perpustakaan ayahnya, John F. Kennedy Presidential Library.
Berkat campur tangan dia, Joseph R. Biden Jr., senator dari Delaware yang sarat pengalaman di bidang politik luar negeri, naik ke kursi calon wakil presiden dua pekan lalu. Caroline dan timnya berharap Biden, yang telah berdinas di Senat selama 30 tahun, dapat menutupi kelemahan Obama di bidang politik luar negeri. Berkat Caroline pula seorang politikus Katolik bisa mengantongi tiket menuju Gedung Putih. Kita tahu, puak Kennedy adalah pemeluk Katolik secara turun-temurun.
Pertalian Caroline-Obama kian erat setelah putri John Kennedy ini menyaksikan orasi-orasi senator kulit hitam itu. Dia membakar semangat Amerika melalui pandangan tentang kehidupan baru berdasarkan multiras dan budaya. Caroline melihatnya sebagai refleksi pemikiran ayahnya. ”Aku melihat Ayah dalam diri Obama, semua mimpi yang ia bangun untuk Amerika, keluar dari belenggu yang mengungkung Amerika selama bertahun-tahun,” tulisnya dalam kolom yang dimuat harian The New York Times pada Januari lalu. ”Separuh hidupku kuhabiskan menunggu orang yang sama seperti Ayah, kini aku sudah menemukannya.”
Sebelum menjatuhkan pilihannya, Caroline telah meluangkan waktu membaca riwayat hidup sang kandidat berjudul Dreams from My Father. Hatinya kian terpikat karena menemukan ”keterkaitan” keluarga Obama dengan klan Kennedy.
Salah satu sejarah yang tidak banyak diketahui adalah John Kennedy berjasa membawa sejumlah mahasiswa Kenya bersekolah di Amerika. Ini terjadi setelah dia menelikung pemerintah Nixon yang tak kunjung mengucurkan ongkos pesawat bagi para calon mahasiswa Afrika itu. Lewat dana pribadi dari kantong Yayasan Kennedy, mereka mendarat di Amerika. Seorang di antaranya Barack Obama Senior, yang kemudian menikahi perempuan kulit putih dari Kansas, ibu Obama.
Setelah intrik ongkos pesawat itu, Kennedy harus menghadapi kecaman ”pasukan pendukung” Nixon. Di antaranya Senator Hugh Scott, yang menyebutnya ”menyalahgunakan kemudahan pajak yayasan untuk melakukan tindakan politik bodoh.” Belakangan, Scott mengaku ia ”salah persepsi”.
JFK—sebutan akrab Presiden John F. Kennedy—kemudian mendepak Nixon dari kursi kepresidenannya. Dan dia memikat hati pemilih Afro-Amerika. Uniknya, puluhan tahun kemudian, putra Barack Obama Senior duduk di Senat Amerika dan menemukan bahwa meja antik tempat ia bekerja dulunya milik JFK. Inisialnya masih terukir jelas.
Sejak saat itu, pandangan John Kennedy yang mengusung pembaruan dan nilai-nilai keluarga serta melawan ketidakadilan segera melekat dalam diri Obama. Dalam satu pidatonya, Obama terang-terangan menyebut jasa keluarga Kennedy yang membuat ayahnya bisa menyentuh Benua Amerika serta ”mengantarku sampai ke posisi ini.”
Sebagaimana JFK, Obama mengagumi Martin Luther King, tokoh pejuang hak-hak sipil Amerika yang masyhur. Dalam satu bagian pidato resminya di Konvensi Denver akhir pekan lalu, Obama menyitir ujaran Martin Luther bagi Amerika: ”Kita tidak bisa lagi menoleh ke belakang, tidak bisa lagi berjalan sendirian,” katanya, disambut aplaus membahana dari 84 ribu lebih hadirin.
Paman Caroline, Senator Edward ”Ted” Kennedy, juga memberikan dukungan penuh bagi Obama. Dalam penampilan dramatiknya setelah menjalani operasi otak Juni lalu, saudara kandung JFK yang kini berusia 76 tahun itu bersumpah akan melihat Obama melangkah menuju Gedung Putih. Ia juga membandingkan Obama dengan saudara laki-lakinya, almarhum JFK.
”Anda bilang Obama terlalu banyak bermimpi,” katanya dengan menggebu-gebu dalam pidato dukungan tersebut. ”Tapi (dengan) mimpi itulah John F. Kennedy membuat Amerika menjejakkan kaki di bulan, mimpi yang terus hidup.”
Keponakan Ted, Anthony Kennedy Shriver, juga menyokong Obama dengan tindakan nyata. Lewat badan amal Best Buddies, yang menghimpun donatur kelas satu dari kalangan aktor Hollywood, Anthony berhasil menggalang kekuatan. Sebuah pesta mewah penggalangan dana yang berlangsung di JFK Presidential Library, Boston, menunjukkan betapa pengaruh puak Kennedy masih layak diperhitungkan. Sekitar 1.200 orang hadir memberikan dukungan bagi Obama dalam acara makan malam itu.
Dukungan keluarga Kennedy terhadap Obama dipandang banyak pengamat sebagai pertanda kembalinya klan kelas satu Amerika ini ke tengah kancah politik. Walaupun, sejak terjun ke dunia politik, kisah hidup keluarga ini diwarnai kematian demi kematian yang tragis. Pada 1944, Joseph Kennedy, kakak sulung Ted, tewas dalam sebuah ledakan bom. JFK dibunuh di Dallas pada 1963. Lima tahun kemudian, Robert ”Bobby” Kennedy terbunuh sesudah putaran pertama pemilihan di California.
Ada pula yang memandang munculnya keluarga Kennedy sebagai pemuas nostalgia warga Amerika terhadap gemerlap politik masa lalu. ”Orang sudah bosan dengan konflik, perang, dan sikap pemerintah Bush yang cuek dan bermuka badak,” begitu bunyi opini di beberapa media cetak Amerika. Dan Obama, yang belajar dari Kennedy, dipandang telah membangkitkan harapan baru.
Angela Dewi (AP, BBC, CNN, Der Spiegel, NYTimes)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo