Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengenakan helm, Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva duduk di atas sepeda motor sespan tua. Tangannya melambai kepada para juru foto yang mengabadikan konvoi ke pusat Kota Bangkok dua pekan lalu. Tapi nahas, di ujung sebuah gang, mesin motornya ngadat dan mati. Abhisit berusaha menstarter. Gagal, dia menggelengkan kepala, meletakkan helm, lalu memilih berjalan kaki.
Sepeda motor yang mogok itu seakan menggambarkan sulitnya perjuangan Partai Demokrat mempertahankan kekuasaan. Pheu Thai, partai oposisi yang dikendalikan mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra, bangkit kembali. Adik perempuannya, Yingluck Shinawatra, tampil sebagai kuda hitam.
Yingluck terjun berkampanye pada detik-detik terakhir dan memperdaya kubu Abhisit. Munculnya Yingluck membuat gaya kampanye Abhisit tampak usang. ”Kampanye mereka (Partai Demokrat) selalu tenang. Tidak seperti Pheu Thai, yang selalu besar-besaran,” kata Chris Baker, pengamat yang menulis buku Thaksin: Bisnis Politik di Thailand.
Setidaknya enam jajak pendapat yang digelar selama masa kampanye menunjukkan popularitas Partai Demokrat dibayangi-bayangi popularitas Pheu Thai. Menurut Abac Poll, Abhisit kehilangan banyak dukungan dalam jajak pendapat dengan 2.332 responden dari 17 provinsi. Padahal, dalam jajak pendapat pertama, indeks kepemimpinan Yingluck dari Partai Pheu Thai masih jauh di belakang Abhisit.
Namun Ketua Umum Partai Demokrat Abhisit Vejjajiva membantah hasil itu. ”Enam jajak pendapat menyebutkan tak satu pun partai yang mayoritas,” ujar Perdana Menteri Thailand itu di Bangkok pertengahan Juni lalu. ”Tapi (Pheu Thai) tetap mengklaim meraih suara mayoritas di atas 60 persen.”
Saat menduduki kursi perdana menteri, Abhisit mendapat dukungan penuh dari elite kerajaan dan militer. Dia tetap bertahan meski diguncang demonstrasi antipemerintah tahun lalu. Tapi sekarang timbul pertanyaan apakah dia bisa terus memimpin Thailand, bahkan jika Partai Demokrat berhasil membentuk koalisi.
Pemilihan umum kali ini memperebutkan 500 kursi di parlemen, bertambah 20 kursi dari pemilu 2007. Akan ada 375 kursi yang tersedia dari 76 provinsi. Ibu Kota Bangkok memiliki kuota 33 kursi. Sebanyak 125 kursi yang tersisa akan diputuskan berdasarkan perolehan suara partai.
Demokrat masih bisa memimpin di tempat kedua. Bila Pheu Thai mengumpulkan kurang dari 220 kursi, sementara Partai Demokrat memenangi 180 kursi, keberuntungan ada di pihak Abhisit. Dia masih bisa mengorek dukungan dari salah satu partai tengah, mungkin Partai Bhumjai Thai, partner koalisi terbesar pemerintah dan pesaing Pheu Thai.
”Partai Demokrat pasti akan memenangi pemilu dan memiliki legitimasi untuk membentuk pemerintah berikutnya,” kata Abhisit pekan lalu. Dia mengklaim, selama dua minggu terakhir kampanye, Partai Demokrat meraih lebih banyak dukungan.
Para perempuan itu menari di depan poster Thaksin di Kuil Suan Mon, Sabtu dua pekan lalu. Seorang biksu mengangkat poster merah dengan gambar wajah taipan itu. Sukaria memenuhi ruangan ketika panitia mengumumkan ada ”orang penting” yang akan menelepon.
”Bersiaplah. Hal baik akan datang,” kata Thaksin lewat sambungan telepon internasional. Telepon itu dia tujukan bagi 38 kelompok komunitas yang menyatakan setia kepada Thaksin. Komunitas ini secara resmi menyatakan diri sebagai ”Desa Kaus Merah”.
Thaksin saat ini menjadi buron politik dan dijatuhi hukuman penjara dua tahun. Dia dilarang memberikan kontribusi pendanaan ataupun politik bagi kampanye calon perdana menteri.
Setidaknya 320 desa di Provinsi Udon Thani dan Khon Kaen sudah resmi menyandang nama desa Kaus Merah. Jumlah itu bisa melonjak dua kali lipat menjadi sekitar 710 desa. Papan reklame besar dipasang di pintu masuk desa dengan gambar Thaksin tersenyum. Don Chainapun, pemimpin Kaus Merah di Kota Udon Thani, menargetkan setidaknya seribu desa menjelang pemilu. Inilah kantong suara Yingluck.
Abhisit menyebut desa itu separatis dan menjadi ancaman bagi rekonsiliasi nasional. ”Mereka kami awasi,” kata Kepala Staf Angkatan Darat Chan-ocha Prayuth. Sebaliknya, para kepala desa mengatakan mereka menghadapi intimidasi dari tentara dan polisi. Bendera dan spanduk merah disita.
Thaksin membantah tuduhan pemerintah. Dia menegaskan kepada pendukungnya, ”Kita bukan separatis.” Thaksin meyakinkan pendukungnya agar tidak menjual suara mereka ke kubu Kaus Kuning. ”Mereka tidak bisa membeli suara dari kita.”
Para pemimpin Kaus Merah membawa daftar panjang pemilih di setiap desa. Mereka tahu persis berapa banyak orang yang akan mendukung Yingluck. ”Kami memiliki 90-95 persen pendukung Kaus Merah di setiap desa,” kata Don.
Meski divonis korup, Thaksin masih dipuja sebagai pemimpin Thailand yang memperhatikan kebutuhan rakyat. Kredit murah dan program jaminan kesehatan sangat populer. ”Bagi banyak orang, Thaksin adalah simbol orang yang digulingkan,” kata Peerapol Pattanapeeradej, wali kota ibu kota Provinsi Khon Kaen.
Yingluck berjanji melanjutkan program ekonomi kerakyatan saudaranya, dari mengadakan satu juta tablet PC gratis untuk anak sekolah sampai menaikkan upah minimum. Kebijakan Abhisit secara umum mirip. Tapi, melihat dukungan massa kepada Yingluck dan Thaksin, tampaknya langkah Abhisit bakal terganjal.
Banyak yang menganggap Yingluck hanya boneka saudaranya yang kini tinggal di Dubai itu. Para elite di Bangkok, sejumlah jenderal, penasihat, dan anggota keluarga kerajaan yang membekingi Partai Demokrat kini waswas. Bila Yingluck berkuasa, mereka khawatir Thaksin akan membalas dendam kepada orang-orang yang dulu menggulingkannya.
Jajak pendapat memang berpihak pada Yingluck, pengusaha muda berusia 44 tahun. Kendati pemula dalam kancah politik, ia berhasil menjalankan kampanye media dengan cerdas. Dengan wajahnya yang menawan, dia bisa menjadi pemimpin perempuan pertama di Thailand—jika diizinkan memerintah.
Sejumlah pengamat memprediksi Pheu Thai dapat meraih kemenangan mutlak. Tapi kuncinya ada di parlemen. Partai-partai kecil akan sangat berpengaruh dan membuka jalan politik dagang sapi. Jika Yingluck memenangi suara terbanyak tapi akhirnya gagal memerintah, toh Kaus Merah dapat memobilisasi demonstrasi lagi.
Namun ketakutan akan terjadi kerusuhan mungkin kurang beralasan. Asia Times Online melaporkan bahwa Wattana Muangsuk, kandidat Partai Pheu Thai dan menteri perdagangan era pemerintahan Thai Rak Thai, bersama Menteri Pertahanan Prawit Wongsuwon membuat kesepakatan rahasia di Brunei Darussalam.
Berdasarkan kesepakatan, tentara akan membiarkan Pheu Thai membentuk pemerintahan. Imbalannya, pemerintah baru tidak boleh mengambil tindakan hukum terhadap militer yang terlibat pembantaian demonstran Kaus Merah pada April tahun lalu.
Pheu Thai juga sepakat tidak akan mengganggu perombakan di tubuh militer September mendatang. Kesepakatan lain, Thaksin harus mengarahkan pendukungnya untuk berhenti menyerang lembaga tinggi. Pertemuan rahasia ini juga melibatkan Thaksin. Namun Yingluck membantah ada kesepakatan rahasia di Brunei.
Wattana pun menampik laporan Asia Times Online. Ia berkeras tidak pergi ke Brunei bersama Prawit seperti yang dilaporkan. Dia mengaku telah melakukan perjalanan ke Brunei untuk mengunjungi Thaksin karena ia adalah anggota kabinet dalam pemerintahan terdahulu.
Demi merebut hati pendukung dan memperoleh kepercayaan dari militer, Yingluck memang berusaha netral. Dia pernah berjanji tidak akan terburu-buru memberikan amnesti bagi Thaksin. Dia bahkan menjamin tidak ada balas dendam atas kudeta berdarah tahun lalu.
Pada Sabtu dua pekan lalu, pihaknya mengeluarkan pernyataan, ”Amnesti bagi Thaksin bukan kebijakan formal.” Tidak banyak yang percaya, termasuk Thaksin sendiri. Bulan lalu, taipan ini mengatakan kepada Reuters akan pulang pada Desember. Semua kemungkinan itu masih terbuka sambil menunggu hasil pemilu 3 Juli diumumkan.
Ninin Damayanti (Reuters, BBC, Bangkok Post, Asia Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo