Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Layar televisi di Hotel Semiramis di tengah Kota Damaskus menampilkan adegan tak biasa Senin pekan lalu. Ratusan orang terlihat berbicara bebas mengkritik pemerintah. Mereka adalah tokoh penentang rezim Bashar al-Assad. Di masa lalu, pemandangan seperti ini secara hukum jelas terlarang.
”Pertemuan ini menyerukan koordinasi oposisi dengan gerakan jalanan demi perubahan nasional yang demokratis dan damai,” demikian pernyataan akhir pertemuan yang dihadiri sekitar 160 tokoh oposisi ini. Dalam dokumen yang diberi tajuk ”Ikrar” tersebut, para tokoh oposisi menegaskan janji mendukung tuntutan reformasi demi tegaknya negara yang demokratis, tapi tetap dengan cara damai.
Para oposan rezim Damaskus ini juga menuntut hak berdemonstrasi dengan damai, pembebasan tahanan politik, kebebasan pers, dan jaminan keselamatan bagi pengungsi untuk pulang. Mereka juga menolak campur tangan pihak asing dalam kekisruhan yang terjadi di negeri yang selama ini dikenal berani melawan Israel dan Amerika itu.
Sejak Maret lalu, Suriah dilanda gelombang reformasi, mengikuti aksi serupa yang menyapu sebagian besar kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Kekerasan selama unjuk rasa tak pelak mewarnai negeri. Menurut catatan Syrian Observatory for Human Rights, yang bermarkas di London, Inggris, 1.342 warga sipil tewas. Begitu pula 243 aparat keamanan. Angka itu mungkin masih bertambah karena tindak kekerasan terhadap demonstran masih terus terjadi.
Pertemuan di Damaskus tersebut dihadiri sejumlah tokoh oposisi yang pernah mengalami pahitnya perlakuan rezim Bashar al-Assad. Sebut saja Fateh Jamous, yang telah menghabiskan 19 tahun hidupnya di penjara, atau Louay Hussein, yang belum lama ini ditahan. Tapi tak semua penentang rezim Bashar al-Assad berdiri di belakang mereka.
”Komite Koordinasi Revolusi Suriah mengecam pertemuan atau kongres yang diselenggarakan di bawah spanduk rezim,” tulis Komite Koordinasi Revolusi Suriah di laman Facebooknya. ”Tak seorang pun seharusnya memberikan legitimasi kepada rezim atas darah yang telah tumpah dari para martir dan penderitaan para tahanan.”
Pertemuan tersebut merupakan pertemuan oposisi pertama di dalam negeri Suriah yang dibiarkan penguasa.
Aktivis penentang pertemuan, Rami Abdel Rahman, mengatakan para penentang menggelar aksi tandingan di beberapa kota, seperti Homs, Hama, Deir Ezzor, dan Latakia, pada malam harinya. Mereka menegaskan sikap tetap menuntut mundurnya Bashar al-Assad. Kelompok oposisi di negeri berpenduduk 22 juta jiwa ini memang terpecah dalam memilih jalan untuk mencapai tujuan reformasi.
Ada pertentangan keras antara kelompok oposisi di dalam negeri dan kelompok oposisi yang selama ini hidup di luar negeri. Kelompok oposisi lama yang tetap tinggal di dalam negeri mengkritik oposisi di luar negeri yang mengupayakan tekanan internasional untuk membantu menyelesaikan masalah Suriah.
”Oposisi di luar negeri tidak mewakili kami sama sekali,” kata Fateh Jamous. ”Kami menentang apa pun bentuk intervensi asing karena kami yakin itu hanya akan didasari kepentingan dan kekuatan politik yang berbeda dengan mereka yang ada di dalam negeri.”
Namun kelompok oposisi di dalam negeri juga mengalami perpecahan. Ada pengelompokan meski tak begitu tegas antara kelompok liberal, nasionalis, Kurdi, Ikhwanul Muslimin, dan kelompok lain.
Di masa lalu, agen-agen intelijen Suriah memang bekerja mati-matian untuk memecah belah berbagai kelompok oposisi. Mereka menciptakan persaingan sehingga tumbuh kecurigaan di antara kelompok oposisi.
Sesungguhnya kelompok oposisi lama itu tak begitu berperan dalam demonstrasi jalanan belakangan ini. Bahkan Deklarasi Damaskus, aliansi yang terbentuk enam tahun silam, yang menyerukan reformasi damai, tak banyak berbuat dalam gerakan tuntutan reformasi saat ini.
Kelompok oposisi baru berisi anak-anak muda yang terinspirasi oleh revolusi Tunisia dan Mesir. Mereka bergerak cepat dengan membentuk Komite Koordinasi yang aktif mengorganisasi aksi di jalanan dan melakukan kontak dengan media yang dilarang masuk ke Suriah. Komite ini kemudian dibentuk di berbagai provinsi untuk memudahkan koordinasi aksi.
Beberapa pekan lalu, payung gerakan ini telah dibentuk dan diberi nama Dewan Nasional. ”Untuk membuat rencana aktivitas serta menetapkan waktu kegiatan-kegiatan revolusi di dalam negeri dan di arena internasional,” ujar Sahar Sami, aktivis oposisi Suriah yang tinggal di Inggris.
Aref Dalila, aktivis dan ekonom yang pernah merasakan dinginnya penjara rezim Bashar al-Assad, menegaskan bahwa mereka itulah oposisi jalanan yang baru lahir. ”Dan sekarang memainkan peran utama menyerukan perubahan,” katanya.
Perpecahan di kalangan oposisi ini bertambah buruk lantaran adanya tindak intimidasi di antara sesama aktivis. Seorang aktivis yang mendukung dialog dengan penguasa mengaku diteror oleh penentang dialog.
”Sebagian orang mengatakan ’kamu membantu penguasa’ dan ’ini adalah pengkhianatan terhadap darah rakyat yang telah tumpah di jalanan’,” kata seorang aktivis di Damaskus yang mendapati pesan di Facebooknya menyebut dirinya pengkhianat. ”Ini tak masuk akal. Demi menyelamatkan darah rakyat, kita harus berbicara,” dia menambahkan.
Meski terpecah, seluruh kelompok oposisi tetap melakukan upaya mendesakkan reformasi walau dengan jalan berbeda. Ada kelompok yang melanjutkan aksi jalanan, ada pula yang bergerilya untuk mendapat dukungan masyarakat internasional.
Beberapa waktu lalu, ada kelompok oposisi yang bertemu di Istanbul, Turki, untuk membicarakan dukungan bagi pengunjuk rasa di jalanan. Ada pula delegasi oposisi yang datang ke Moskow, Rusia, pada Senin pekan lalu. ”Kami berharap Rusia bisa menekan rezim bahwa tindakan semacam itu (kekerasan terhadap demonstran) tidak bisa diterima,” kata pemimpin delegasi, Radwan Ziadeh, yang kini tinggal di Washington, Amerika.
Beberapa kelompok oposisi yang lain mengadakan pertemuan di Doha, Qatar, pada Ahad pekan lalu. Ada pula rencana pengiriman delegasi ke Afrika Selatan dan Brasil untuk mencari dukungan.
Selama ini, tak seperti respons ke Libya—ketika masyarakat internasional cepat bertindak saat korban sipil berjatuhan—bantuan ke Suriah tidak begitu gencar. Di Rusia, delegasi kelompok oposisi bahkan tak diterima oleh pejabat negara formal, tapi oleh utusan khusus Kremlin untuk Timur Tengah, Mikhail Margelov.
Sebagian pendukung pertemuan Damaskus kini berencana menggelar pertemuan di tingkat provinsi. Sebagian lagi bersiap bergabung dalam dialog yang akan dilakukan penguasa. Ahad mendatang, pemerintah memang berencana mengundang tokoh oposisi menghadiri pertemuan konsultatif untuk mempersiapkan dialog nasional, yang belum ditentukan waktunya.
Merujuk pernyataan resmi pemerintah, intelektual dan tokoh politik akan diundang untuk mendiskusikan draf undang-undang pemilu dan media, termasuk membahas amendemen konstitusi. Salah satu pasal yang akan dibahas adalah pemberian monopoli politik kepada Partai Baath di Suriah—sebuah pasal yang terus membuahkan kritik tanpa henti dari pihak oposisi.
Sebagian oposisi menerima ajakan dialog tersebut. Tapi tak sedikit yang menentang dan tetap menginginkan Bashar al-Assad lengser. Ada pula kelompok oposisi yang menerima dialog tapi dengan catatan. ”Sebelum dialog, semua tahanan politik harus dibebaskan, tindak kekerasan harus dihentikan, dan oposisi mesti diizinkan bersuara di media milik negara,” kata Louay Hussein.
Purwani Diyah Prabandari (The Wall Street Journal, AFP, Reuters, Huriyet Daily News, Gulfnews)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo