Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah pesawat tak berawak milik Amerika Serikat menyerang wilayah gurun di antara provinsi timur laut Al-Jouf dan Marib, Yaman, Senin pekan lalu. Empat orang yang menjadi target, yakni Anwar al-Awlaki, Abu Muhsin al-Maribi, Salem al-Marwani, dan Samir Khan, tewas di tempat. Mereka dituduh Amerika sebagai gembong Al-Qaidah di Yaman, terutama Anwar bin Nasser bin Abdullah al-Awlaki.
Awlaki adalah insinyur informatika peraih gelar doktor dari George Washington University. Dia warga negara Amerika keturunan Yaman yang menjadi target utama pemerintah Amerika dalam pemberantasan terorisme. Awlaki dicap sebagai perekrut utama bagi Al-Qaidah. Dia diyakini memberikan bimbingan spiritual kepada pelaku penembakan di Fort Hood pada 2009. Awlaki juga dituduh terlibat dalam upaya pengeboman pada Natal 2009 dan serangan terhadap sebuah pesawat Amerika bulan berikutnya.
Serangan di Yaman itu menuai pertanyaan besar. Tidak hanya di benak keluarga empat orang yang tewas, tapi juga para aktivis hak asasi manusia sekaligus cendekiawan di Amerika. Serangan itu dianggap sebagai operasi rahasia Amerika menumpas terorisme tanpa proses pembuktian di pengadilan lebih dulu. Apalagi, dari empat orang yang mati itu, ada seorang warga sipil Amerika keturunan Yaman.
"Apakah gaya eksekusi seperti ini menjadi satu-satunya solusi?" tanya keluarga Samir Khan dalam pernyataan pers. "Mengapa tidak ada yang menangkap lebih dulu dan tidak melalui persidangan?" mereka menambahkan.
Di balik serangan itu, ternyata ada memorandum rahasia pemerintah Obama setebal 50 halaman yang dibuat pada Juni 2010. Dokumen itu menjelaskan paparan teknis operasional yang dapat menyeret seseorang menjadi target "penghilangan" tanpa melalui pembuktian di pengadilan. Dokumen itu khusus ditujukan untuk Awlaki, yang dianggap pemerintah Amerika memiliki peranan penting di jajaran Al-Qaidah.
Dokumen itu kemudian didiskusikan sejumlah orang yang tergabung dalam panel rahasia di Dewan Keamanan Nasional (NSC), yang bermarkas di Gedung Putih. Selain beranggota dinas rahasia Amerika, panel itu beranggota ahli hukum, yang bertugas memberikan pertimbangan.
Dua pengacara Departemen Kehakiman, David Barron dan Martin Lederman, memberikan pertimbangan bagi dokumen rahasia itu. Keduanya berpendapat pemerintah Amerika bisa mengeksekusi Awlaki bila keberadaannya mengancam keamanan nasional. Mereka juga mempertimbangkan informasi yang dihimpun badan intelijen (CIA) serta pernyataan pemerintah Yaman yang tidak bisa menangkap dan mengeksekusi Awlaki.
Barron dan Lederman menggunakan izin Kongres untuk menggunakan kekuatan militer terhadap kelompok militan yang berada di belakang serangan 11 September 2001. Mereka berpendapat eksekusi tanpa pengadilan diizinkan hukum internasional jika suatu negara membela dirinya sendiri, dan tidak dapat dianggap sebagai kejahatan perang.
Dua pekan lalu dokumen ini bocor ke media. Menurut situs larouchepub.com, reporter veteran Reuters, Mark Hosenball, adalah orang yang mempublikasikannya. Hosenball mempertanyakan legalisasi operasi rahasia itu, tapi tidak bisa menunjukkan rekaman publik siapa saja pejabat Dewan Keamanan Nasional di Gedung Putih yang terlibat dalam komite rahasia itu. Hosenball hanya menyebutkan pemerintah Amerika sudah memegang daftar nama warga yang dibidik untuk dieksekusi.
Munculnya dokumen itu menuai kecaman oposisi. Dokumen itu dianggap memberikan pembenaran bagi Presiden untuk bertindak. Hukum federal, piagam hak asasi manusia, dan hukum perang internasional melarang pembunuhan. Memorandum itu dikhawatirkan menjadi preseden untuk melegalkan pembunuhan terhadap warga negara Amerika yang ditargetkan sebelumnya.
Pemerintah Obama menolak mengakui atau mendiskusikan perannya dalam serangan pesawat tak berawak yang membunuh Awlaki itu. Pemerintah juga menolak menjelaskan secara terperinci permintaan para cendekiawan serta aktivis hak-hak asasi yang mempertanyakan kebebasan sipil.
"Sepenuhnya halal bagi Amerika Serikat mengambil tindakan terhadap target tingkat tinggi, pemimpin pasukan musuh, terlepas dari kebangsaan mereka," ujar seorang pejabat Gedung Putih yang tak mau diungkap identitasnya kepada Washington Post.
Cheta Nilawaty (AFP, The New York Times, www.larouchepub.com)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo