Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=arial size=1 color=#ff9900>Nobel Perdamaian</font><br />Ratu yang Tak Akan Dilupakan

Tawakul Karman adalah perempuan Arab pertama dan termuda yang menerima Hadiah Nobel Perdamaian. Dia melepas cadar, yang dianggap hanya tradisi, bukan ajaran agama.

17 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Matahari baru saja kembali ke peraduannya ketika ribuan warga Yaman prodemokrasi berkumpul di Change Square, seberang Universitas Sanaa, Ahad dua pekan lalu. Mereka menyampaikan selamat kepada Tawakul Karman, salah satu dari tiga perempuan yang menerima Hadiah Nobel Perdamaian. Karman adalah perempuan Arab pertama sekaligus termuda yang menerima penghargaan kelas dunia ini.

"Saya bahagia bukan karena penghargaan ini, melainkan lantaran mimpi tentang kebebasan dan martabat," kata jurnalis perempuan sekaligus politikus dan aktivis hak asasi manusia ini. "Saya mempersembahkan penghargaan ini kepada revolusi Yaman dan seluruh revolusi Arab," dia melanjutkan.

Sepanjang aksi protes rakyat Yaman tahun ini, ibu tiga anak itu mengorganisasi demonstrasi mahasiswa di Sanaa menentang pemerintah Presiden Ali Abdullah Saleh. Sejak Februari lalu, ia mendirikan kemah di Change Square. Beberapa kali pula Karman mendekam di balik jeruji besi akibat sikap kritisnya.

Pada 22 Januari lalu, Karman ditangkap saat mengendarai mobil dan ditahan 36 jam. Pengalaman dipenjara tak membuatnya kapok. Bersama suaminya, perempuan kelahiran Taiz, 7 Februari 1979, ini kembali mengadakan aksi protes pada akhir Januari dan awal Februari meniru revolusi Mesir dan Tunisia. Pada 17 Maret, Karman kembali dipenjara.

Pada 18 Juni, istri Mohammed al-Nahmi ini menulis artikel berjudul "Yemen’s Unfinished Revolution" di The New York Times, yang menyerang Amerika Serikat dan Arab Saudi karena mendukung rezim Saleh yang korup. Menurut Karman, intervensi Amerika Serikat di Yaman dimotivasi oleh perang melawan terorisme, tapi tidak peka atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dan gerakan demokrasi di negara jazirah Arab itu.

Perjuangan perempuan berhati baja ini sebenarnya dimulai sejak ia berusia 26 tahun, dengan mendirikan Women Journalists Without Chains. Organisasi nonpemerintah yang ditujukan untuk kebebasan jurnalistik ini berkali-kali dibredel rezim Saleh. Pada 2007, pengagum Mahatma Gandhi dan Martin Luther King ini memimpin aksi protes damai melawan Presiden Saleh yang diktator. Pada tahun yang sama, Karman bersama organisasi jurnalis perempuan pernah menerbitkan dokumen mengenai kekerasan pemerintah terhadap pers sejak 2005.

Keanggotaannya di Partai Islah yang konservatif menjadi kontroversi. Partai itu memiliki tiga sayap: konfederasi suku yang dipimpin kepala suku Al-Ahmar; gerakan politik yang beroperasi di bawah pimpinan Ikhwanul Muslimin; dan religi yang berkaitan dengan Salafi. Yang terakhir ini dipimpin oleh Abdul Majeed al-Zindani dari aliran Sunni, yang juga mantan penasihat Usamah bin Ladin.

Pada Oktober lalu, Karman menerbitkan artikel yang menyerang anggota Partai Islah yang sangat konservatif mengenai perkawinan perempuan di bawah umur 17 tahun. "Orang-orang ekstrem itu membenci saya, membicarakan saya di masjid, dan menuduh saya tidak islami," tuturnya. Di tengah tantangan itu, Mohammed, suaminya, selalu berada di sisinya.

Komite Nobel Norwegia mencatat Karman sebagai orang yang berjuang tanpa kekerasan, peduli terhadap keamanan perempuan, serta memperhatikan hak perempuan. Ia mampu menggerakkan perempuan yang biasanya dikurung di rumah setelah pukul 7 malam untuk terlibat dalam aksi reformasi politik di Yaman.

Jika bertemu dengan Karman, jangan terkejut bila melihatnya tampil tanpa cadar muka seperti kebanyakan perempuan Yaman. Sehari-harinya, Karman mengenakan kerudung berbagai macam warna, dari motif bunga sampai warna merah muda.

Sejak 2004, Karman melepas cadarnya. Dia ingat pertama kali tampil tanpa cadar, yakni sewaktu menyampaikan pidato dalam Konferensi Hak Asasi Manusia di Washington, Amerika Serikat. Menurut dia, mengenakan cadar tidak memungkinkan gerak-gerik perempuan yang bekerja sebagai aktivis. "Niqab itu tradisi, bukan aturan agama. Karena itu saya melepasnya," ujarnya.

Karman tak ubahnya pemimpin perempuan Islam yang gemilang pada masa lalu seperti ditulis Fatima Mernissi dalam buku The Forgotten Queens of Islam. Kini dia sendiri menjadi ratu yang tak akan dilupakan.

Nieke Indrietta (Al-Jazeera, Al-Arabiya, Jerusalem Post, Globe and Mail)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus