Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GURUN di perbatasan Sheba, 150 kilometer ke arah barat daya dari Tripoli. Pria berkacamata, berjenggot, dan mengenakan jubah cokelat serta kerudung Tuareg itu tak banyak melawan ketika pasukan Zintan mengepung mobil SUV yang akan membawanya keluar dari Libya, Sabtu dinihari dua pekan lalu.
"Tembak kepala saya dan bawa mayat saya ke Zintan," kata Saif al-Islam, putra mendiang Muammar Qadhafi, kepada tentara yang mengepungnya. Pria 39 tahun ini tertangkap ketika hendak lari ke Nigeria, tempat ibu dan saudaranya menetap.
"Kami berjanji tidak akan menyakiti Anda," kata Ahmed Ammar, salah satu tentara. Lalu ia memperkenalkan diri sebagai anggota pasukan militer Zintan.
Menurut Al-Ajmi al-Attiri, pemimpin pasukan yang menangkap Saif, keberadaan calon penerus Qadhafi ini terungkap gara-gara seorang pengawal Saif membocorkan informasi kepada kelompok militer Zintan. Kemudian mereka menyiapkan jebakan dan menanti konvoi yang baru melewati 64 kilometer di padang pasir, dekat perbatasan Sheba. "Kami berbicara ramah serta mencoba membuatnya santai dan nyaman," kata Al-Attiri.
Lantas Saif al-Islam diterbangkan ke Zintan, di barat laut Libya, 136 kilometer ke arah barat daya dari Tripoli. Kota kecil dan miskin yang jumlah penduduknya sekitar 50 ribu orang ini terletak di wilayah Pegunungan Nafusa. Meski begitu, Zintan termasuk suku yang dikenal sebagai pejuang yang ganas karena berani melawan pendudukan Italia di Libya pada awal abad ke-20 dan menjadi ujung tombak revolusi Libya tahun ini.
Sebetulnya kelompok Zintan membenci keluarga Qadhafi. Selama perang, pasukan Qadhafi memang tak berhasil menaklukkan kota kecil ini. Tapi mereka menembakkan roket Grad dari jarak lima kilometer hingga menghancurkan rumah penduduk yang terbuat dari batu dan beton.
Saif beruntung. Kelompok pejuang Zintan punya perjanjian dengan suku Gaddafa, nenek moyang keluarga Qadhafi, untuk melindungi dan memperlakukan tawanan perang dengan baik. "Usia perjanjian itu sudah 200 tahun. Kami masih menjalankannya," kata Farid Abu Ali, pejuang Zintan.
Penangkapan putra mahkota Qadhafi sebulan setelah kematian ayahnya menjadi perhatian dunia. Mahkamah Internasional (ICC) minta Libya segera menyerahkan Saif untuk menjalani proses pengadilan. Dewan Transisi Nasional Libya (NTC) menolak dan minta keturunan Qadhafi diadili di negaranya sendiri. Bagi Dewan Transisi, peradilan anak Qadhafi merupakan kesempatan memperbaiki citra.
Namun kelompok Zintan menolak menyerahkan Saif kepada Dewan Transisi. Pemimpinnya, Omran Eturki, ngotot menggelar pengadilan di Zintan. "Kami tidak akan menyerahkan tahanan sebelum NTC membentuk kabinet serta membuat mekanisme pengadilan yang jelas dan menjamin nyawa Saif al-Islam," katanya. Zintan mencurigai kelompok milisi lain di Libya dan tidak ingin melakukan kesalahan yang sama seperti yang terjadi pada Qadhafi.
Tertangkapnya Saif hampir berbarengan dengan penyusunan kabinet baru NTC. Pemimpin Dewan Transisi kelimpungan menghadapi tekanan dari para pemimpin suku dan kelompok pemberontak yang menginginkan jatah "kue politik" mereka. Tentu saja kelompok Zintan memanfaatkan penangkapan Saif sebagai alat tukar politik. Keinginan ini secara implisit tampak dari pernyataan pemimpin Zintan bahwa mereka akan menyerahkan Saif jika kabinet baru telah terbentuk.
Benar saja, ketika Libya mengumumkan kabinet barunya pada Rabu pekan lalu, "para pemburu Qadhafi" mendapatkan posisi-posisi kunci di pemerintahan baru. Misalnya saja, Osama Juwali, komandan pasukan militer Zintan, menjadi menteri pertahanan. Juga Fawzi Abdelali, pemimpin militer dari kota pemberontak Misrata, yang menangkap Muammar Qadhafi pada Oktober lalu, menjadi menteri dalam negeri.
Mahkamah Internasional menyetujui permintaan NTC untuk mengadili Saif di Libya, Rabu pekan lalu. Luis Moreno-Ocampo, jaksa Mahkamah Internasional, paham hal ini menyangkut "sesuatu yang menjadi kebanggaan nasional" bagi para pemimpin Libya—sekaligus membuktikan kepada dunia bahwa mereka sanggup melaksanakan pengadilan yang adil atas kasus kejahatan perang dan kemanusiaan. Dalam kunjungannya ke Libya, Senin pekan lalu, Moreno-Ocampo juga mengunjungi Saif Qadhafi di Zintan. "Dia sehat," ujarnya.
Restu dari Mahkamah Internasional ini tentu saja membuat pemerintah baru Libya girang. Pasalnya, Libya khawatir, jika diadili di Mahkamah Internasional—melalui berbagai relasi pentingnya di dunia—Saif malah bisa melenggang bebas. Saif memegang kartu truf sejumlah figur penting yang mempunyai hubungan khusus dengan keluarga Qadhafi di masa lalu.
Jika Saif al-Islam tidak diadili di Libya, rahasia macam apa yang bisa dibocorkannya?
Menurut sejumlah analis di Inggris, Saif bisa membongkar "main mata" Tony Blair, Pangeran Andrew, Peter Mandelson, dan bankir Nat Rothschild dengan rezim Qadhafi. Pasalnya, Saif menjadi penyambung lidah sang ayah dengan negara-negara Barat. Ia memainkan peran penting dalam politik internasional sejak terjun ke dunia politik pada 1990-an, dengan menjadi Presiden Direktur International Foundation for Charity Associations.
Banyak kalangan bisa lebih mudah menerima pria lulusan The London School of Economics ini karena dia tampak lebih liberal—dengan jas dan dasi—dan berwajah tampan, ketimbang ayahnya yang terkesan kolot karena kebanyakan mengenakan baju tradisional atau malah seragam militer. Saif, yang fasih berbahasa Inggris, Jerman, dan Prancis, dipercaya sebagai calon penerus Qadhafi yang bersikap reformis. Sehari sebelum revolusi terjadi, sejumlah tokoh dari kelompok oposisi menemuinya dan mengajaknya bergabung melawan ayahnya. Tapi Saif tak sanggup mengkhianati ayahnya.
Menurut Peter McKay, kolumnis di Inggris, Saif bisa membongkar "perjanjian politik" antara mendiang ayahnya dan para tokoh penting dunia. Peristiwa Lockerbie pada 1998, misalnya. Qadhafi berhasil melunakkan para musuhnya di negara Barat ketika dituding terlibat dalam peristiwa pengeboman pesawat di Lockerbie, Skotlandia, yang menewaskan 270 orang.
Pada 2004, Qadhafi dan Blair menandatangani "kesepakatan padang pasir" setelah pertemuan di Tripoli. Bekas perdana menteri itu mencabut sanksi atas Libya setelah Qadhafi bersedia memberikan kompensasi kepada keluarga korban Lockerbie. Rupanya, kesepakatan itu tak hanya menyangkut soal kompensasi. Kepada negara-negara Barat dan sekutunya, Qadhafi memberikan akses untuk mengeksploitasi minyak di negaranya. Nah, kompromi-kompromi yang tercantum dalam "kesepakatan padang pasir" itulah yang mungkin bakal dinyanyikan Saif jika ia muncul di pengadilan internasional.
"Persekongkolan" dengan Lord Mandelson, mantan Menteri Perdagangan Inggris, juga terancam terbongkar. Mandelson, politikus dari Partai Buruh, terlibat dalam pembahasan nasib pelaku pengeboman Lockerbie, Abdelbaset al-Megrahi, yang dibebaskan dari penjara Skotlandia pada Agustus 2009 dengan alasan kemanusiaan—Al-Megrahi menderita kanker dan diprediksi hidup tinggal beberapa bulan.
Pangeran Andrew juga memiliki hubungan dekat dengan Saif Qadhafi. Anggota keluarga Kerajaan Inggris ini sering mengunjungi keluarga Qadhafi di Tripoli. Beberapa kali pangeran dengan gelar Duke of York ini mengundang Saif dan menjamunya di Istana Buckingham dan Windsor. Saif bahkan kerap makan siang dengan Pangeran Andrew, yang memegang peran dalam perdagangan dan investasi di Inggris.
Tokoh penting lain yang punya hubungan dekat dengan keluarga Qadhafi adalah Nat Rothschild, bankir terkenal. Rothschild pernah menjamu Saif dalam beberapa pesta yang diadakan di New York, Inggris, dan vila pribadinya di Corfu.
Kini Saif memang belum membuka kartu-kartunya. Bisa jadi, dia mampu menawar hukuman dengan informasi "mematikan".
Nieke Indrietta (Guardian, Daily Mail, Time)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo