Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

'Penyeimbang' di Laut Cina Selatan

Amerika Serikat akan menempatkan 2.500 personel marinir secara bertahap di Australia. Penambahan pasukan ini mengubah keseimbangan kekuatan militer di sekitar Laut Cina Selatan. Para sekutunya menyambut, Cina menentangnya.

28 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ratusan tentara berebut menyalami Barack Obama, yang baru tiba di Pangkalan Angkatan Udara Australia di Darwin, Kamis dua pekan lalu. Hadir bersama Perdana Menteri Australia Julia Gillard, Presiden Amerika Serikat itu mendapat sambutan meriah bak seorang bintang rock. Tak kurang dari 2.000 tentara Australia meneriakkan yel-yel "Aussie, Aussie, Aussie" ketika Obama memasuki hangar raksasa tempat acara itu. "Anda adalah tulang punggung negara kita, orang-orang paling tangguh di dunia," kata Obama membalas sambutan tentara itu.

Bagi Obama, muhibah ke Negeri Kanguru bukan kunjungan biasa. Hari itu, ia hadir merayakan 60 tahun aliansi Perjanjian Keamanan Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat (ANZUS). Beberapa jam sebelumnya, di hadapan anggota parlemen Australia di Canberra, Obama mengungkapkan rencananya menambah personel Marinir Amerika di wilayah Australia Utara secara bertahap hingga 2.500 orang dari jumlah semula yang hanya 250 personel. "Kawasan ini memiliki jalur laut tersibuk di dunia, yang genting buat negara kita," tuturnya.

Obama mengatakan pasukan Marinir hadir untuk melindungi kepentingan Amerika di Asia-Pasifik sekaligus membantu negara-negara sekutunya. "Pendapat yang menyatakan kami khawatir terhadap Cina adalah keliru. Amerika Serikat adalah kekuatan di Pasifik, dan kami akan selalu hadir mendukung wilayah Asia-Pasifik," dia berkilah.

Kehadiran militer Amerika di kawasan Asia-Pasifik merupakan salah satu prioritas pemerintah Obama. Ia menjamin pengurangan anggaran militernya tidak akan mengganggu tujuan itu. Sebab, Amerika memang telah menancapkan pengaruhnya selama beberapa dekade di wilayah ini. Puluhan ribu tentara mereka tersebar di sejumlah pangkalan militer di negara-negara sekutunya, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura.

Penempatan personel di pangkalan militer milik Australia di Darwin, yang berjarak 8.850 kilometer dari bagian paling selatan Cina, akan memudahkan Amerika mengakses Laut Cina Selatan, jalur perdagangan paling penting di kawasan ini. Selain itu, Amerika dapat merespons dengan cepat krisis yang terjadi di wilayah ini.

"Kami adalah kawasan yang sedang tumbuh ekonominya. Aliansi ini menjadi dasar stabilitas di kawasan, yang kami butuhkan," Julia Gillard menanggapi rencana Amerika itu.

Dua pertiga anggota Marinir Amerika berada di kawasan Pasifik dengan konsentrasi besar di Okinawa, Jepang, dan Guam—teritori Amerika yang berjarak 2.000 kilometer arah utara dari Papua Nugini. Sejak berakhirnya Perang Dunia II, Amerika membangun pangkalan militer di Jepang dan Korea Selatan. Namun kekuatan negara tersebut berkurang setelah dua pangkalan­nya di Clark Field dan Subic Bay, Filipina, ditutup pada 1991. Kerja sama baru dengan Australia akan mengembalikan keperkasaan Amerika di Pasifik.

Selain buat kepentingan pertahanan, kehadiran pasukan Amerika itu untuk melindungi kepentingan dagangnya. Obama harus mencari wilayah lain untuk mengantisipasi dampak berkelanjutan krisis ekonomi di Eropa. "Asia sedang tumbuh pesat," kata Ernest ­Bower, direktur program Asia Tenggara di Center for Strategic and International Studies, Washington, DC.

Rencana Obama ini tentu saja ditentang keras Cina. Mereka menyatakan penempatan tentara Amerika di Australia akan meningkatkan ketegangan di kawasan ini. "Ketika mengembangkan kerja sama, negara itu harus memperhatikan kepentingan negara lain, perdamaian, dan stabilitas di kawasan ini," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Liu Weimin. Cina membalas strategi Amerika dengan rencana latihan rutin angkatan laut di Laut Pasifik. "Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat akan menggelar latihan-latihan di Laut Pasifik Selatan akhir November ini," demikian pernyataan singkat dari Kementerian Pertahanan Cina.

Agresivitas Cina selaras dengan anggaran militernya yang terus meningkat hingga tiga kali lipat sejak 1990-an. Kini besarannya US$ 91,5 miliar atau sekitar Rp 831,55 triliun, naik dari US$ 77,95 miliar atau sekitar Rp 708,4 triliun pada 2010. Negeri itu kini menjadi negara dengan anggaran militer terbesar kedua di dunia, setelah Amerika Serikat.

Guru besar keamanan internasional di Universitas Sydney, Alan Dupont, menyatakan penempatan pasukan Amerika itu untuk mengantisipasi kebangkitan militer Cina. "Kami harus membentengi diri dari meningkatnya kekuatan militer Cina, yang bisa mengganggu jalur perdagangan laut. Kami juga ingin lebih dekat dengan Amerika," kata bekas pejabat Departemen Pertahanan Australia ini.

Bekas penasihat George W. Bush untuk urusan Asia, Mike Green, menyatakan Marinir Amerika membutuhkan pangkalan Australia untuk berlatih karena Okinawa sudah sesak. "Tak ada tempat yang cukup untuk menerbangkan helikopter dan menembak." Namun tidak semua bergembira atas "bantuan" Amerika. Hugh White, guru besar studi strategis di Universitas Nasional Australia, berpendapat penambahan pasukan memiliki konsekuensi serius bagi hubungan Australia-Cina. "Dalam pandangan Beijing, semua tindakan Amerika di Pasifik dirancang menyokong perlawanan terhadap Cina," ujarnya.

Salah satu negara di Asia Tenggara yang mendukung rencana Amerika itu adalah Filipina. Sudah lama Filipina mendukung kehadiran pasukan Amerika di kawasan ini untuk mengimbangi kekuatan militer Cina di Laut Cina Selatan. Kehadiran militer Amerika juga menjadi penyeimbang bila terjadi peningkatan konfrontasi di kawasan kaya minyak dan gas yang disengketakan enam negara ini.

Cina, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam masing-masing memiliki bukti kedaulatan atas wilayah-wilayah di Laut Cina Selatan. Filipina merasa berhak menguasai sejumlah pulau di Kepulauan Spratly berdasarkan zona ekonomi eksklusif. Vietnam mengklaim Kepulauan Paracel. Vietnam, Malaysia, dan Brunei juga merasa berhak atas sebagian wilayah di sisi selatan Kepulauan Spratly. Setiap negara di kawasan Asia Tenggara menganggapLaut Cina Selatan sebagai jalur strategis pelayaran. "Kehadiran Amerika di wilayah ini menstabilkan kekuatan," kata Menteri Komunikasi Filipina Ricky Carandang.

Sedangkan Cina menganggap memiliki otoritas seluruh wilayah Laut Cina Selatan seluas 1,7 juta kilometer persegi—demikian pula Taiwan. Cina mendasarkan klaimnya pada sejarah negeri itu, yang diawali dengan perjalanan angkatan laut Dinasti Han pada 110 dan Dinasti Ming pada 1403-1433 ke Kepulauan Spratly. Pedagang dan nelayan dari Cina Daratan ikut serta dengan misi kerajaan, tapi kemudian tinggal serta beranak-pinak di pulau-pulau yang disinggahi. Cina menggunakan bukti arkeologis untuk mendukung klaimnya.

Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, Cina menegaskan klaim atas Kepulauan Paracel. Selama Perang Dunia II, Jepanglah yang menguasai kepulauan itu. Pada 1947, Cina mengeluarkan peta dengan sembilan garis bertitik dan mengklaim seluruh kepulauan itu berada di garis tersebut. Undang-undang Cina pada 1992 pun menegaskan kembali klaimnya atas wilayah itu.

Sapto Yunus (AP, VOA, The Australian, Sydney Morning Herald)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus