Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=arial size=1 color=#ff9900>Mesir</font><br />Petaka di Lapangan Bola

Kerusuhan antarsuporter sepak bola menewaskan puluhan orang di Mesir. Menyulut sentimen politik.

6 Februari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Malam kian larut, tapi ribuan orang berkumpul di stasiun kereta api utama di Kairo, Mesir. Rabu malam pekan lalu, mereka tak juga beringsut dari kedudukannya. Datang dari segala penjuru kota, mereka menunggu para suporter klub sepak bola kesayangannya, Al-Ahly, yang bakal kembali dari Port Said, sekitar 220 kilometer timur laut Kairo.

Ratusan orang yang marah naik ke atap gerbong yang sedang berhenti. Di tengah suasana hiruk-pikuk itu, terdengar yel-yel, "Jatuhlah pemerintahan militer!"

Mereka menumpahkan kemarahan kepada pemimpin dewan militer, Jenderal Mohamed Hussein Tantawi, setelah pecah kerusuhan di Stadion Port Said beberapa jam sebelumnya. Kerusuhan itu menewaskan tak kurang dari 74 orang dan melukai seribuan orang lainnya. Dalam pertandingan itu, tim favorit mereka, Al-Ahly, digasak tim tuan rumah, Al-Masry, 1-3.

Inilah kerusuhan sepak bola terburuk di dunia dalam 11 tahun terakhir. Pada Mei 2001, sebanyak 126 orang tewas dalam kerusuhan di stadion utama Akra, Ghana. "Ini bukan sepak bola, ini perang. Orang sekarat di depan kami, tidak ada pertolongan dan tidak ada ambulans," kata pemain Al-Ahly, Mohamed Abo Treika.

Anggota parlemen dari Port Said, Albadry Farghali, menuduh para pejabat dan petugas keamanan membiarkan malapetaka itu terjadi. "Di mana petugas keamanan? Di mana pemerintah?" ujarnya melalui telepon dalam siaran langsung televisi.

Ratusan polisi yang mengenakan helm dan tameng tampak diam, sementara ratusan orang saling kejar. Beberapa orang menggenggam benda tajam, sedangkan lainnya melemparkan tongkat dan bebatuan. Aktivis Sohair Riad mengatakan polisi dan tentara tidak bergerak mencegah pertumpahan darah. "Ini pembantaian kolektif terhadap sebuah kelompok yang terus mendukung revolusi dan berjuang melawan pemerintahan militer," kata Riad di akun Facebook-nya.

Persaudaraan Muslim, kekuatan politik terbesar di negeri itu, menuding pendukung mantan presiden Husni Mubarak menyulut kerusuhan tersebut. "Kejadian di Port Said sudah direncanakan dan merupakan pesan dari sisa-sisa rezim sebelumnya," kata anggota parlemen, Essam al-Erian, dalam situs Partai Kebebasan dan Keadilan.

Jenderal Tantawi meminta kerusuhan ini diselidiki dan pelakunya ditangkap. "Kami akan melewati tahapan ini. Mesir akan stabil lagi."

Menurut saksi mata, kerusuhan pecah ketika pendukung Al-Ahly membentangkan spanduk yang isinya dianggap menghina suporter tuan rumah. Ketika suporter Al-Masry dikuasai emosi, tiba-tiba seorang pendukung Al-Ahly masuk ke lapangan membawa sebatang besi. Tindakan itu memicu kemarahan pendukung Al-Masry, yang menyerbu para pemain tim tamu. Mereka lalu menyerbu pendukung Al-Ahly di tribun. Kerusuhan pun tak tertahankan.

Suhu persaingan dalam sepak bola Mesir memang selalu tinggi. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, "perang saudara" di antara dua klub Kairo, Al-Ahly dan Zamalek, harus digelar di tempat netral dan dipimpin wasit asing. Namun keributan antarsuporter tak pernah separah ini. Musim lalu Asosiasi Sepak Bola Mesir mempertimbangkan untuk menghentikan kompetisi karena maraknya kerusuhan.

Menurut James Montague, penulis buku tentang sepak bola dan politik di Timur Tengah, When Friday Comes: Football in the War Zone, suporter sepak bola selalu berada di garis depan revolusi menggulingkan Mubarak. Dalam lima tahun terakhir, kelompok besar suporter yang terorganisasi dan antipemerintah—Ultras—telah terlibat konflik dengan polisi di stadion. Tindakan itu sebagai bentuk penolakan terhadap penindasan rezim Mubarak.

Montague mengatakan, di negara tempat ruang publik begitu sempit, hanya ada dua forum untuk menyelesaikan perbedaan pendapat: masjid dan stadion sepak bola.

Ultras beranggotakan anak-anak muda yang sanggup memobilisasi diri sendiri dengan cepat. Ketika revolusi bergulir, kelompok-kelompok suporter ini bersatu memimpin para pengunjuk rasa di Lapangan Tahrir.

Sapto Yunus (Reuters, AP, CNN)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus