Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan tua itu mengerahkan segenap tenaga untuk mendayung perahu menuju rumahnya di kawasan Ayutthaya, Thailand. Chaba, nama perempuan itu, harus menunduk saat perahu memasuki lantai dua rumahnya yang tergenang. Lantai satu rumah kayu itu ternyata tak tampak lagi. Air berwarna kecokelatan setinggi tiga meter telah menguburnya.
Chaba dan 20 anggota keluarganya harus tinggal berimpitan di lantai dua rumah itu. Untuk kebutuhan makan dan minum, perempuan 70 tahun ini harus mondar-mandir setiap hari ke tenda posko bantuan yang didirikan di luar kampungnya. Kadang ia harus berenang bila tak ada perahu tetangga yang bisa dipinjam. "Saat ini kehidupan kami sangat sulit," tutur Chaba, Rabu dua pekan lalu.
Chaba hanya satu dari ribuan warga Ayutthaya yang rumahnya terendam banjir yang melanda Negeri Gajah Putih. Banjir terburuk dalam 100 tahun terakhir ini disebabkan oleh badai tropis yang diikuti hujan terus-menerus sejak Agustus lalu. Akibatnya, air Sungai Chao Phraya dan Mekong meluap. Lebih dari 300 orang tewas dan jutaan lainnya mengungsi.
Direktur Jenderal Departemen Sumber Daya Air Thailand Siripong Hungspreuk mengatakan hujan lebat berkepanjangan yang terjadi di hulu Sungai Mekong di Cina, Laos, dan Thailand Utara membuat ketinggian air sungai meningkat. Luapan air itu menjebol tanggul-tanggul dan merendam desa-desa serta lahan pertanian, tak hanya di Thailand, tapi juga di wilayah tiga negara yang berada di lembah Sungai Mekong: Kamboja, Laos, dan Vietnam.
Di Thailand, hingga akhir pekan lalu, 27 dari 76 provinsi masih terendam. Kerusakan terbesar terjadi di tiga provinsi di utara Bangkok: Ayutthaya, Pathum Thani, dan Nakhon Sawan. Ratusan ribu hektare lahan pertanian di negara pengekspor beras terbesar di dunia itu terendam. "Ketinggian air sudah mencapai satu setengah meter," tutur Gubernur Provinsi Ayutthaya Wittaya Pewpong.
Banjir juga mengancam Kota Bangkok. Luapan air Sungai Chao Phraya sudah menggenangi sejumlah ruas jalan di pinggiran ibu kota Thailand itu. Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra mengatakan tak mungkin terus-terusan melindungi Bangkok dari banjir bandang.
"Semakin lama kami tahan, permukaan air akan semakin tinggi," kata Yingluck. "Air mengalir dari setiap arah dan kami tak dapat mengendalikannya." Ia mengatakan kanal-kanal sudah dikeruk untuk mengalirkan air ke laut.
Air bah membuat perekonomian Thailand oleng. Enam kawasan industri—sebagian besar berada di Ayutthaya—ditutup sementara karena tergenang. Para pekerja diliburkan dan mesin-mesin vital diungsikan ke tempat lebih tinggi.
Menteri Keuangan Thailand Thirachai Phuvanatnaranubala menyatakan terhentinya kegiatan industri membuat pertumbuhan produk domestik bruto bakal berada di bawah perkiraan bank sentral, yang berkisar Rp 17-25,5 triliun.
Dua produsen mobil asal Jepang, Toyota dan Honda, bahkan menutup sementara sejumlah pabriknya. Ketua Federasi Industri Thailand untuk Wilayah Tengah, Singh Tangcharoenchaichana, menyatakan kerugian akibat tertutupnya kawasan industri saja mencapai 190 miliar baht atau sekitar Rp 54 triliun.
Tak mengherankan bila Thirachai tak berani berharap banyak ekonomi negeri itu dapat tumbuh sesuai dengan target. Ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini cuma dua persen. Akhir September lalu, ia masih yakin perekonomian Thailand bakal tumbuh empat persen.
Banjir juga mengancam situs kuno yang tersebar di Ayutthaya. Lebih dari 200 candi di provinsi itu terendam karena lokasinya berada di dekat aliran Sungai Chao Phraya. Kompleks Candi Chai Wattanaram, misalnya, kini tampak seperti kolam renang kuno. Untuk memasuki kompleks candi berusia 400 tahun itu, orang harus menggunakan perahu atau berenang.
Somsuda Leeyawanich dari Departemen Seni Thailand mengatakan ini adalah banjir terburuk yang melanda situs bersejarah itu dalam 16 tahun terakhir. "Kalau terendam lebih dari 30 hari, situs ini akan mengalami kerusakan serius."
Menteri Kebudayaan Thailand Sukumol Kunplome mengatakan kerugian akibat rusaknya situs-situs yang dilindungi UNESCO itu mencapai US$ 3,2 juta atau sekitar Rp 28,3 miliar. Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu, dan Budaya ini menyatakan, bila banjir memburuk, situs-situs lain yang berada di seberang sungai juga terancam.
Para pegiat lingkungan di Thailand menuding bendungan yang dibangun di hulu Sungai Mekong di wilayah Cina dan Laos sebagai penyebab bencana itu. Mereka menyalahkan Mekong River Commission (MRC), yang dibentuk pada 1995 oleh pemerintah Kamboja, Laos, Thailand, dan Vietnam untuk mengelola Sungai Mekong. MRC dianggap gagal mengantisipasi datangnya air bah.
"Meski belum dapat dipastikan bendungan-bendungan Cina menjadi penyebab banjir, mereka punya andil terhadap perubahan ekologis dan hidrologis di sungai itu," ucap Montree Chantawong dari Aliansi Regional untuk Pemulihan Ekologis, yang berbasis di Bangkok.
Somkiat Khuaenchiangsa dari Chiang Khong Conservation Group mendesak anggota MRC mengevaluasi manfaat bendungan di kedua negara itu karena konstruksinya dapat mempengaruhi aliran air dan tata air di lembah Sungai Mekong.
"Kita tidak bisa meremehkan hebatnya hujan badai dan banjir, tapi kita bisa mencegah atau memperkecil kerusakan akibat bencana yang dibikin manusia," kata Somkiat.
MRC tak sepakat dengan pendapat para pegiat lingkungan itu. Kondisi yang terjadi saat ini, menurut MRC, disebabkan oleh tak normalnya aliran air dari bagian utara lembah Sungai Mekong ditambah hujan lebat akibat badai tropis Kammuri pada 9-11 Agustus lalu.
Kerusakan serius akibat bencana banjir juga dirasakan Kamboja, Laos, dan Vietnam. Hingga akhir pekan lalu, 164 orang dinyatakan tewas di Kamboja. Ratusan ribu lainnya mengungsi. Banyak tanggul, jalan, dan jembatan rusak. Ratusan ribu hektare sawah tergenang. "Banyak orang menghadapi ancaman kekurangan pangan," kata juru bicara Komite Manajemen Bencana Nasional Kamboja, Keo Vy.
Banjir membuat festival terbesar di negeri itu dibatalkan. Festival Air, yang sedianya digelar 9-11 November nanti, merupakan festival penting yang mampu menyedot sejuta orang ke Phnom Penh. Perdana Menteri Hun Sen menyatakan uang untuk penyelenggaraan acara itu akan dialihkan untuk penanggulangan banjir.
"Kami perlu mengambil tindakan untuk menyelamatkan nyawa ketimbang menghibur kota ini. Kami minta maaf kepada rakyat dan para biksu," kata Hun Sen.
Di Laos, 30 orang tewas dalam banjir bandang dan tanah longsor. Pekan lalu, polisi menutup jalan-jalan di kawasan tepi sungai di Vientiane agar truk-truk dapat dengan mudah mendistribusikan karung-karung pasir. Beruntung, banjir tak mengganggu candi-candi dan pagoda Buddha di Luang Prabang yang dilindungi.
Eri Kudo, perwakilan Program Pangan Dunia (WFP) di Laos, mengatakan banyak petani di Provinsi Khammuane mengalami gagal panen.
Korban jiwa juga berjatuhan di Vietnam. Setidaknya 14 orang tewas akibat bencana banjir awal Oktober lalu. Topan Nesat, yang melanda Cina dua pekan lalu, berlanjut menghantam wilayah utara Provinsi Quang Ninh pada Jumat pekan lalu.
Wakil Perdana Menteri Vietnam Hoang Trung Hai mengatakan pemerintah akan mengevakuasi penduduk dari wilayah berbahaya dan menutup lebih banyak sekolah untuk meminimalkan korban tewas.
Sapto Yunus (Reuters, VOANews.com, IRIN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo