Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pusat Kota Roma seperti dikepung asap Sabtu dua pekan lalu. Sejumlah pengunjuk rasa yang beringas memecahkan kaca bank, membobol anjungan tunai mandiri, merusak dan membakar mobil, serta melempar botol di sekitar Colosseum.
Demi mencegah rusuh semakin parah, polisi antihuru-hara menembakkan meriam air dan gas air mata ke arah massa. Tujuh puluh demonstran mengalami luka berat. Seorang demonstran perempuan harus dilarikan ke rumah sakit karena kepalanya bocor dan satu laki-laki kehilangan dua jarinya.
Dari berbagai aksi di sejumlah kota dunia dalam protes menentang kapitalisme, unjuk rasa di Roma merupakan yang terparah. Demonstrasi itu terilhami aksi pendudukan Wall Street di New York sebulan lalu. Mereka menentang raksasa bisnis yang dianggap serakah serta membawa malapetaka bagi keuangan negara, dan menyeret Italia menjadi salah satu negara yang terkena krisis ekonomi di Eropa.
Perdana Menteri Silvio Berlusconi dengan berang menuduh pelaku unjuk rasa adalah preman yang datang dari seantero Italia dan Eropa. Namun kejengkelan rakyat sesungguhnya hampir menyeret sang Perdana Menteri ke mosi tidak percaya. Rakyat menganggap Italia di bawah pimpinan Berlusconi menjadi negara Eropa dengan utang terbesar kedua, setelah Yunani.
Protes antikapitalis tak hanya menyebar di Eropa, tapi juga menjangkau Australia dan Asia-Pasifik. ”Apa yang orang bicarakan saat ini adalah mengenai kesempatan mengubah cara kerja sistem karena di mana-mana uang berkuasa, bahkan di bidang politik sekalipun,” kata Josh Lees, koordinator aksi di Sydney, yang bekerja pada Bank of Australia. ”Setidaknya janganlah selalu bergantung pada uang,” dia menambahkan.
Masalah di masing-masing negara memang berbeda. Kebanyakan berawal dari skandal yang dilakukan sebuah perusahaan besar di negara itu. Bahkan warga Kanada dan Amerika saat ini mulai mengaitkan krisis keuangan dengan kebijakan memberikan bantuan perang kepada negara-negara Arab yang sedang melakukan revolusi, seperti Libya. Pada akhirnya, tidak hanya isu keuangan yang mereka gugat, tapi juga isu hak asasi manusia, politik, lingkungan, dan hukum.
Demonstran di Tokyo, Jepang, menuduh krisis keuangan di Negeri Sakura diawali krisis nuklir Fukushima, yang tidak bisa ditangani dengan baik oleh perusahaan listrik sebesar Tepco. ”Kami menentang kesenjangan sosial dan kemiskinan, seperti yang terjadi pada aksi pendudukan Wall Street, tapi kami lebih menentang penggunaan tenaga nuklir dan kemitraan Trans-Pasifik,” ujar seorang guru sekolah bernama Yoshikazu Koga.
Sedangkan di India, ilham aksi pendudukan Wall Street tidak disia-siakan kelompok antikapitalis sebagai momen menggalang massa. Salah satunya Partai Komunis India-Marxis, yang dikenal dengan sebutan PBT.
Dengan gencar PBT melancarkan kampanye antikapitalis melalui surat kabar. Mereka kerap memaparkan dampak buruk globalisasi dan merumuskan kebijakan yang dapat menangkalnya. Satu-satunya jalan, menurut PBT, adalah membuat pusat resolusi ideologi, dengan sistem politbiro.
Harian India Express menulis PBT terus menuntut langkah-langkah pemerintah dalam menangkal kapitalisme. Mereka meminta pemerintah memeriksa setiap kenaikan harga, menjamin persamaan kualitas barang, menjamin harga pupuk bersubsidi, dan menolak penanaman modal asing langsung di sektor retail. Unjuk rasa semakin besar setelah Jumat dua pekan lalu bank sentral India menaikkan suku bunga 0,25 poin dari kenaikan terakhir Maret tahun lalu.
Cheta Nilawaty (AFP, Bloomberg, Telegraph.co.uk, Globalpost.com)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo