Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poltak Hotradero*
Langkah Fitch menaikkan peringkat utang Indonesia menjadi BBB alias layak investasi perlu disambut baik. Terakhir kali Indonesia berada pada posisi investment grade pada Desember 1997, saat Moody’s menjadi lembaga pemeringkat terakhir yang menurunkan rating Indonesia dua tingkat dari kriteria layak investasi.
Indonesia mungkin kini berada di awal rangkaian kenaikan peringkat utang. Pada April 2011, Standard & Poor’s telah memberikan peringkat BB+ dengan outlook positif atas utang Indonesia. Outlook positif biasanya indikasi kuat peringkat Indonesia akan dinaikkan pada periode review berikutnya. Sedangkan Moody’s, yang terkenal konservatif, masih menempatkan Indonesia pada satu tingkat di bawah investasi dengan outlook stabil.
Menarik mengkaji lebih dalam keputusan Fitch menaikkan peringkat utang Indonesia. Berdasarkan materi pembanding ”Global Data Comparator” yang diterbitkan Fitch pada September 2011, sepintas terlihat bagusnya berbagai besaran ekonomi makro Indonesia. Posisi Indonesia lebih baik ketimbang negara lain pada peringkat yang sama, bahkan melampaui ratarata negara dengan peringkat BBB.
Pada neraca anggaran ratarata lima tahun terakhir, pemerintah Indonesia mencatatkan realisasi defisit 0,8 persen atau lebih rendah daripada defisit ratarata negara dengan peringkat BB (defisit 1,3 persen) atau bahkan BBB (defisit 1,5 persen). Dibarengi ratarata pertumbuhan ekonomi lima tahunan sebesar 5,6 persen, posisi Indonesia jauh lebih baik daripada negara lain dengan peringkat BB (4,4 persen) atau BBB (3,7 persen). Hal serupa dapat ditemukan pada besaran neraca primer, rasio utang terhadap GDP, dan berbagai rasio beban utang. Dengan kata lain, bila semata memandang beban utang, posisi Indonesia melampaui banyak negara dengan peringkat utang lebih baik.
Lalu apa yang menghambat? Masalah pertama, besaran penerimaan pemerintah Indonesia terhadap utang ternyata masih setara dengan negara di peringkat BB. Hal serupa berlaku pada tingkat volatilitas penerimaan pemerintah sebagai indikator optimalisasi penerimaan pajak.
Titik lemah lain adalah besaran keterbukaan perdagangan serta ketergantungan terhadap komoditas. Hal ini menjadi indikasi penting rendahnya nilai tambah atas produk ekspor Indonesia serta perlunya peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi dari sisi perdagangan yang akan berkontribusi pada stabilitas neraca pembayaran eksternal.
Bagian terlemah pada penilaian atas peringkat Indonesia berada pada besaran indeks pengendalian terhadap korupsi, efektivitas kinerja pemerintahan, indeks penegakan hukum, serta kemudahan melakukan usaha. Pada bagian ini, posisi Indonesia bahkan lebih buruk daripada ratarata negara dengan peringkat utang BB.
Pada indeks pengendalian terhadap korupsi, misalnya, skor Indonesia hanya 28,1, sementara ratarata negara dengan peringkat BB memiliki skor 44,8 dan negara dengan peringkat BBB mencapai 56,2. Posisi Indonesia pada pengendalian korupsi hanya setara dengan negara berperingkat utang B, seperti Bolivia, Republik Dominika, dan Benin. Korupsi jelas sangat membebani penilaian peringkat Indonesia, yang telah sedemikian cemerlang dalam besaran ekonomi makro tapi masih kedodoran dalam manajemen pemerintahan.
Dengan mengidentifikasi bagianbagian terlemah itu, dapat diperoleh beberapa kesimpulan. Pertama, masih terdapat ruang lebih lanjut untuk perbaikan peringkat Indonesia di masa depan. Indonesia dapat mendekati atau bahkan melampaui negara pesaing di kawasan, seperti Malaysia, yang memiliki peringkat utang di sekitar A, atau Thailand, yang berada satu tingkat di atas Indonesia.
Kedua, masih panjang jalan reformasi birokrasi untuk meningkatkan kinerja pemerintahan. Menjadi ironi bila pemerintah mengklaim predikat layak investasi sebagai hasil kerjanya—sementara penilaian efektivitas kinerja pemerintahan dan penanganan korupsi justru buruk.
Status layak investasi seharusnya bukan menjadi tujuan, melainkan awal dari perbaikan menyeluruh atas faktorfaktor pencapaian optimalisasi pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat. Investasi global nyaris tidak mengenal kekurangan modal, tapi kepercayaan merupakan penentu. Dan rating yang disusun lembaga pemeringkat semata rambu kecil bagi perjalanan panjang memelihara kepercayaan.
*) Kepala Peneliti di Bursa Efek Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo