Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKARANG mereka berjalan dengan kepala tegak, bangga, tak menyembunyikan suatu apa. Selasa, 11 September, dari berbagai negara Eropa mereka membanjiri Brussels, pusat Uni Eropa itu. Masing-masing membawa bendera dari negaranya dengan satu kalimat bulat: Stop Islamisation of Europe!
Suara garang ini berasal Denmark dan Inggris. Rombongan dari Denmark dipimpin oleh Anders Gravers, yang menamakan diri SIAD (Stop Islamiseringen af Danmark), dan kelompok dari Inggris dikomandani seorang ahli biologi, Stephen Gash, yang menamakan diri SIOE (Stop Islamisation of Europe).
Mereka membagi-bagikan selebaran sejak Juli lalu. Isinya, imbauan bagi masyarakat Eropa agar mendukung demonstrasi di Brussels itu. Beberapa hari sebelum aksi, Stephen Gash kepada Tempo mengajukan angka 20 ribu orang akan bergabung dalam demonstrasi di Schuman, tempat kantor pusat Uni Eropa, Le Berlaymont, berdiri.
Dengan semangat menggebu, Gash yang menetap di Inggris itu bercerita tentang persiapan mereka yang matang. Rekannya, Gravers, juga bolak-balik Brussels-Kopenhagen untuk memastikan demonstrasi massal itu tetap berlangsung. Dan Gash juga mengklaim sudah bernegosiasi dengan aparat di Brussels agar aksi demo itu berjalan damai. ”Gerakan ini perlu dilakukan sebelum para Islamis itu merajalela,” kata Gash.
Selasa, 11 September. Pukul 12 siang ditetapkan sebagai saat demonstran beraksi. Pagi itu, Bart Debie, juru bicara Vlaams Belang, partai ekstrem kanan di Belgia, sibuk mengirimkan pesan pendek kepada sejumlah jurnalis: Demonstrasi tetap berjalan. Tapi polisi jauh lebih sigap. Helikopter polisi tak henti berputar di atas Brussels. Setiap pintu keluar stasiun kereta api bawah tanah yang menuju Schuman ditutup. Puluhan mobil polisi sudah memblokade daerah itu.
Sekitar 300 demonstran yang membandel langsung diciduk. Mereka membawa poster provokatif. Situasi makin panas tatkala beberapa demonstran mengamuk ketika ditangkap. Mereka tampak sengaja merangsek agar dikasari polisi. Mereka sadar, puluhan kamera TV berkumpul di tempat itu untuk mengabadikan momen tersebut.
Tapi di Brussels, keputusan Wali Kota Freddy Thielemans adalah sabda yang tak bisa digugat. Maka aksi demonstrasi itu pun dapat dibersihkan dalam jangka waktu kurang dari empat jam. Meski mendapat kecaman dari sejumlah politisi sayap kanan, keputusan Wali Kota Brussels ini mendapat simpati dari warga.
”Brussels adalah kota multietnis, multiagama, multiras. Saya tidak akan membiarkan orang-orang dari luar datang dan mengacaukan kedamaian di sini,” kata Thilemens, seperti dilansir sejumlah media lokal.
Aksi demo ini adalah puncak dari serangkaian peristiwa penolakan pembangunan masjid di Eropa. Demonstrasi besar berlangsung di Koln, Jerman, pada 19 Juni lalu. Mereka berteriak, ”Kami ingin katedral, bukan menara masjid.” Para demonstran di Koln berkumpul untuk menentang keputusan pemerintah Kota Koln yang sudah mengesahkan didirikannya masjid berskala besar di kota itu.
Jika berdiri, inilah masjid terbesar di Jerman. Populasi muslim di negara itu mencapai angka lebih dari 3 juta—120 ribu di antaranya menetap di Koln. Masjid yang didirikan atas sponsor DITIB (organisasi keagamaan Turki) ini bakal menyaingi keindahan Masjid Mevlana di Rotterdam, Belanda.
Hampir semua partai politik di Jerman setuju masjid ini didirikan. Hanya partai Pro Cologne dari ekstrem sayap kanan yang menentang. Suara penentangan yang sama terdengar nun di Spanyol sana. Komunitas Islam di Spanyol juga berencana membangun sebuah masjid seluas 6.000 meter persegi di kota kecil Seville, Andalusia, bagian selatan Spanyol.
Rencana tersebut langsung ditentang warga setempat. ”Kami tak menentang pembangunan masjid atau Islam secara umum, tapi mereka harus mengerti bahwa Spanyol bukanlah negeri muslim. Di sini tak perlu masjid besar, yang lebih dibutuhkan adalah pusat layanan kesehatan atau taman bermain anak-anak,” kata Conchita Rivas, kepala asosiasi kawasan Los Bermejales di Seville.
Menurut Rivas, ukuran masjid itu terlalu raksasa untuk kota sekecil Seville dengan penduduk muslim yang juga tak banyak. Selain itu, sejumlah politisi khawatir karena latar belakang dana untuk pembangunan masjid itu—dari Sultan Bin Mohamed al-Qasimi, anggota dewan tertinggi Uni Emirat Arab.
Seperti tak mau kalah, penentangan pembangunan masjid juga bergaung di Austria dan didengungkan oleh Joerg Haider dari partai sayap kanan, Partai Kebebasan Austria. Partai ini juga ikut ambil bagian dalam demonstrasi di Koln. Gagal mencapai target di Koln, kelompok yang sama akhirnya memutuskan untuk langsung menuju pusat Eropa di Brussels dengan tujuan yang lebih luas.
Untunglah, niat membara ini dapat diredam Wali Kota Brussels yang berasal dari Partai Sosialis. ”Kalau Wali Kota sudah bilang tidak, bisa dipastikan polisi, bahkan tentara, akan turun ke jalan untuk mengusir mereka seperti yang terjadi di Koln,” kata Stevan Marteens, warga Brussels.
Sami Zemni, Presiden Pusat Islam di Eropa, yang berbasis di Ghent, Belgia, mengatakan bahwa ketakutan masyarakat Barat terhadap Islam bukan masalah baru, apalagi sejak serangan 11 September. ”Karena itu, kita sebagai muslim harus menunjukkan tingkah laku sebagai muslim yang baik. Tak perlu panas dengan provokasi dari luar,” kata Zemni kepada Tempo.
Tak seperti negara Uni Eropa lain, khususnya Prancis dan Belanda yang selalu riuh dengan suara kebencian terhadap muslim, muslim di Belgia relatif hidup lebih tenang. Artinya, tak ada peristiwa yang bisa memicu bergolaknya kebencian terhadap muslim. Di Belgia terdapat 350-400 ribu muslim yang tersebar di seluruh negeri, 25 persen di antaranya menetap di ibu kota, Brussels.
Islam, bersama Katolik, Protestan, Anglikan, Yahudi, dan Ortodoks, adalah agama resmi yang diakui pemerintah. Dengan status resmi itu, segala kegiatan beragama mendapat subsidi dari pemerintah, mulai dari sisi pendidikan hingga perawatan tempat ibadah. Bantuan pemerintah antara lain ditandai dengan didirikannya Badan Eksekutif Muslim pada 1996. Badan resmi di bawah pemerintah federal Belgia.
Pendirian tempat ibadah pun diatur dalam peraturan tata kota. Hanya memang untuk membangun masjid baru butuh proses panjang dan mesti disesuaikan dengan kebutuhan kota. Ini karena pada umumnya tempat ibadah menggunakan bangunan-bangunan lama. Kota-kota di Eropa dikenal sangat menjaga keasrian bangunan lama. Kalaupun kota berkembang jadi modern, sebisa mungkin bangunan baru itu berdiri di luar kota tua. Maka, masjid baru di Belanda, Prancis, dan Spanyol pada umumnya berada di suburban. Kalaupun ada di lingkar dalam kota, itu pasti bangunan lama yang difungsikan, seperti masjid kecil di Leiden (Belanda) atau di Leuven (Belgia). Masjid ini menjadi satu dengan bangunan pusat kebudayaan.
Di Belgia, terdapat sekitar 250 masjid—umumnya berskala kecil, dan tak ada bedanya dengan gedung biasa. Hanya beberapa yang berdiri sendiri dan memiliki menara. Salah satunya Masjid Agung Brussels, masjid pertama yang dibangun di Belgia pada 1974 dan terletak di Parc Du Cinquantenaire. Kawasan masjid ini juga berfungsi sebagai sekolah dasar muslim.
Untuk mendirikan masjid, Zemni menjelaskan, sebagai minoritas, muslim Belgia maklum tak bisa sebebas di negara muslim. ”Selama ini masjid yang tersedia di Belgia mencukupi,” katanya. Selain itu, menurut Zemni, sebagai pribadi, dia tak perlu bermegah-megah. ”Saya bisa salat di mana saja dan kapan saja. Toh, Allah tak menilai ibadah kita dari tempatnya, tapi dari kesungguhan kita sendiri,” ucapnya.
Asmayani Kusrini (Brussels)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo