Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=verdana size=1><B>Pakistan</B></font><br />Akhirnya Memilih Pengasingan

Bekas perdana menteri Nawaz Sharif menolak masuk penjara. Peta politik Pakistan makin ruwet. Memasuki periode paling tak stabil.

17 September 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPULUH menit sebelum pesawat Pakistan International Airline itu mendarat di Bandara Islamabad, Senin pekan lalu, Nawaz Sha­rif bangun dari tidurnya. ”Saya bahagia kembali ke negeri saya,” kata bekas perdana menteri itu, kendati ia hanya duduk di kursi kelas ekonomi. Di dalam pesawat yang terbang dari London itu ada anggota parlemen Inggris keturunan Pakistan, Lord Nazir Ahmed, dan sejumlah wartawan yang menyertai kepulangan Sharif—setelah tujuh tahun di pengasingan.

Nawaz Sharif, 57 tahun, yang pernah terpilih dua kali sebagai perdana menteri, bertekad pulang untuk menumbangkan Presiden Pervez Musharraf, yang mendepaknya lewat kudeta tak berdarah pada 1999. Ia mengambil langkah itu setelah Mahkamah Agung Pakistan, 23 Agustus lalu, menganulir keputusan pemerintah yang melarangnya pulang ke tanah air. Sebelum meninggalkan Inggris, ia yakin jutaan peng­ikutnya dan aliansi partai oposisi menyambutnya meriah.

Apa boleh buat, kebahagiaan Nawaz hanya sekejap. Ketika pesawat Boeing 777 itu berhenti di apron, dari jendela ia melihat ribuan personel militer, pasukan komando, dan aparat intelijen mengepung pesawat. Di dekat pesawat menanti satu helikopter. Nawaz membayangkan, pasukan keamanan mene­robos ke dalam pesawat dan secepatnya menyeret dia sekali lagi ke penjara.

Jika ia dimasukkan bui, suhu politik akan meningkat lewat aksi jalanan pendukung partainya. ”Saya akan bahagia dengan harga murah—dijebloskan ke penjara—dan Pakistan akan bebas,” katanya. Ternyata ia keliru. Musharraf bertindak lain. Setelah semua penumpang keluar, Wakil Direktur Imigrasi, Kalim Imam, masuk ke pesawat.

Ia berbisik di dekat telinga Nawaz, menyampaikan salam seorang teman. Setelah berbasa-basi, Imam meminta Nawaz menyerahkan paspornya. ”Saya akan mengembalikannya setelah melengkapi proses imigrasi,” kata Imam. Semula Nawaz akan menyerahkan paspornya, tapi pengurus partai yang menyertainya mencegah. Mereka menduga Nawaz segera dideportasi setelah paspor distempel di dalam kabin pesawat.

”Saya ingin mengikuti proses imigrasi normal, sebagaimana warga negara biasa,” ujar Nawaz kepada Imam. Nawaz lalu mencoba menghubungi pemimpin partainya di Pakistan lewat telepon seluler. Tapi gagal, karena semua saluran telepon seluler di sekitar bandara sudah diblok sebelum pesawat PK-786 itu mendarat, hingga pukul 1.30 siang.

Toh Nawaz sempat menghubungi seorang pengurus partainya. ”Anda di mana?” Nawaz bertanya. Tak ada jawaban, karena sambungan ­telepon se­gera terputus. Nawaz juga masih berharap, Mahkamah Agung yang meng­izinkannya pulang melakukan intervensi. Tapi, dari jendela pesawat, ia melihat hanya kerumunan pasukan militer. ”Pemerintah menahan sejumlah pemimpin partai,” ujar Nawaz kepada wartawan di dalam pesawat.

Musharraf memang bertindak cepat. Enam pemimpin senior Partai Liga Muslim ditangkap, atau dalam tahanan rumah. Sekitar 2.000 aktivis partai diciduk dua hari sebelum kepulangan Nawaz. Selebihnya bersembunyi. Ratus­an demonstran yang bentrok dengan polisi karena dihalangi menyambut Nawaz digelandang ke penjara. Sejak itu Nawaz sadar, ia terasing dari pendukungnya.

Di luar bandara, polisi menutup jalan menghadang pendukung Nawaz. Para penembak jitu bertebaran di atas gedung, dan kawat berduri dipasang di atas tembok yang mengelilingi bandara. Akibatnya, ribuan orang terhambat perjalanannya ke bandara, yang hari itu memang dinyatakan ditutup.

Setelah Nawaz Sharif bertahan selama dua jam di dalam pesawat, usaha mengulur waktu untuk menyelamatkannya gagal total. Akhirnya, Lord Nazir Ahmed, yang bernegosiasi dengan pejabat, meminta pasukan komando keluar. Ia lalu membujuk Nawaz agar keluar dari pesawat. Nawaz setuju dengan jaminan tak disergap.

Di luar bandara, rakyat Pakistan terpesona menyaksikan drama ini. Di kedai, restoran, mata dan telinga sekelompok orang tak lepas dari layar televisi dan siaran radio yang tak putus meliput kepulangan Nawaz. Dia sendiri sudah memperkirakan kemungkinan ini. Itu sebabnya ia meminta adiknya, Shahbaz Sharif, yang juga diasingkan, tetap tinggal di London. Jika sesuatu terjadi pada Nawaz, Shahbaz akan mengendalikan partai dari London.

Nawaz keluar pesawat, ditemani anggota partai dan para wartawan, memasuki bus yang membawanya ke ruang tunggu bandara. Di sana ia di­minta datang ke meja imigrasi, atau menye­rahkan paspor. Kembali Nawaz menolak, mencoba mengulur waktu selama mungkin.

Ketika itulah seorang pejabat polisi Rawalpindi, Tahir Ayub, mendekati Nawaz. Ia ditemani seorang pensiunan letnan kolonel yang kini bekerja untuk Biro Akuntabilitas Nasional. Pejabat ini membacakan surat penangkapan Nawaz Sharif dengan tuduhan pencucian uang dan korupsi. ”Surat penangkapan ini telah ditolak oleh pengadilan,” ujar Javed Malik, pengacara yang menemani Nawaz.

Tiba-tiba pasukan komando datang mendorong dan memisahkan Nawaz da­ri rombongannya. Ia dibawa dengan cepat ke pesawat PIA yang sudah menanti, untuk diterbangkan ke Jeddah, Arab Saudi. Tapi, kata Wakil Menteri Penerangan Tariq Azim, Nawaz diminta memilih kembali ke pengasingan atau dijebloskan ke penjara Pakistan. ”Nawaz memilih ke luar negeri,” ujar Tariq.

Pemerintah Pakistan mengaku, Nawaz menandatangani kesepakatan pada Desember 2000 untuk menjalani pembuangan selama 10 tahun di Arab Saudi. Sebagai imbalannya, ia tak harus menjalani hukuman penjara seumur hidup atas korupsi yang dia lakukan selama menjabat perdana menteri. Maka deportasi Nawaz kali ini, bagi pemerintah Pakistan, bukan pembuangan, melainkan menghabiskan sisa tiga tahun masa pengasingannya.

Jaminan diberikan Kepala Intelijen Arab Saudi, Pangeran Muqrin bin Abdul Aziz, dan politisi Libanon, Saad al-Hariri, kepada Musharraf bahwa Nawaz tak akan terlibat kegiatan politik. Mereka bertemu selama tiga jam di Rawalpindi, dua hari sebelum kepulangan Nawaz. Hasilnya, Arab Saudi tak hanya menerima Nawaz kembali, tapi juga akan mengawasi ketat gerakan Nawaz.

Meski Amerika Serikat membantah berada di balik deportasi itu, menurut seorang sumber, keputusan memulangkan Nawaz ke ”penjara” di Arab Saudi direstui Gedung Putih. Itulah hasil pertemuan Asisten Menteri Luar Negeri Amerika, Richard Boucher, dengan Musharraf di Dubai, setelah Nawaz mengumumkan rencana kepulangannya. Deportasi itu bertujuan melempangkan jalan pembagian kekuasaan antara Musharraf dan Benazir Bhutto, yang akan kembali dari pengasingan di Inggris pada Oktober mendatang.

Masalahnya, ”drama” di Bandara Islamabad itu justru semakin menyulut kemarahan terhadap Musharraf. Pendukung Nawaz Sharif, yang didukung kelompok hak asasi dan pengacara yang menggerakkan pemogokan, memprotes deportasi Nawaz Sharif. Menurut aktivis hak asasi Pakistan, Ali Dayan Hasan, deportasi itu ilegal. ”Ini akan menggerakkan orang yang mencoba memperjuangkan hukum dan kemerdekaan lembaga pengadilan, dan menginginkan militer kembali ke barak,” ujar analis politik, Talat Masood.

Perlawanan Nawaz sendiri sebetulnya bukanlah perjuangan pahlawan demokrasi. Pemerintahannya selama dua periode pada 1990-an penuh aroma busuk korupsi dan kedodoran. Kelebihan Nawaz hanyalah bahwa ia mengobarkan kemarahan terhadap Musharraf ­lebih efektif ketimbang bekas perdana menteri Benazir Bhutto. ”Aksi Nawaz Sharif terhadap pemerintah telah mengembalikan kredibilitasnya,” ujar Robert M. Hathaway, direktur lembaga kajian internasional Woodrow Wilson di Wa­shington.

Deportasi Nawaz Sharif itu juga membuat peta politik Pakistan menjadi makin sulit-belit. Benazir, yang kini sibuk menuntaskan pembagian kekuasaan dengan Musharraf, semakin terlempar dari lingkaran oposisi. Ia bahkan sama sekali tak mengecam penghalauan Nawaz Sharif. ”Pakistan kini memasuki periode paling tidak stabil,” ujar Talat Masood.

Raihul Fadjri (The Nation, The Dawn, LA Times, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus