Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Nasionalisme yang Menenggelamkan Abe

Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe tiba-tiba mengundurkan diri. Beberapa nama muncul sebagai penggantinya meski ancaman deadlock selalu membayang.

17 September 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMERA televisi merekam kejadian itu baik-baik. Rabu malam pekan lalu, Shinzo Abe, 52 tahun, menatap lurus ke depan. Ada segaris air mata di wajahnya. ”Susah melaksanakan kebijakan berlandaskan dukungan dan kepercayaan masyarakat,” keluhnya.

Dalam konferensi pers yang disiarkan secara langsung itu, Perdana Menteri Shinzo Abe menyampaikan keputusannya yang mencengangkan. Ia mundur. Shinzo Abe bisa membayangkan antiklimaks pada ujung pertempuran antara dirinya dan pemimpin oposisi Partai Demokratik (DPJ) di Majelis Rendah. Dan Ichiro Ozawa, Ketua DPJ telah bersumpah tidak akan membiarkan Abe membuat militer Jepang lebih berwibawa, dan Ozawa memiliki segala­nya untuk membuyarkan segenap angan-angan Abe.

Hari itu, Shinzo Abe angkat tangan sebelum bertanding. Mungkin ia tak tahan lagi terjepit di antara dua kekuatan yang saling bertolak belakang: tekanan Amerika dan oposisi di Majelis Rendah. Mungkin, seperti yang diberitakan akhir pekan kemarin, kesehatannya memburuk—masuk rumah sakit, stres berat, lambungnya terganggu.

Sejak Juli, DPJ, lawan politiknya, menguasai Majelis Tinggi. Artinya, kesempatan Abe memperpanjang dukungan Jepang terhadap pasukan Amerika dan sekutunya di Afganistan pupus sudah. Jepang tak seperti negara-negara Kanada, Jerman, Prancis, dan Inggris yang menerjunkan pasukannya ke Afganistan. Tapi, jauh dari Afganistan, di Samudra Hindia, ia memainkan peran mahapenting: menyuplai bahan bakar buat kapal-kapal Amerika yang bertolak ke Afganistan. Jepang kunci ke­sinambungan operasi militer Amerika. Kesepakatan ini akan berakhir 1 November, kecuali Majelis Tinggi memberlakukannya kembali.

Jepang seperti apa yang dibayangkan Abe? Jepang yang kuat, dalam pikiran Abe, adalah Jepang yang dekat dengan Amerika, bekas seterunya dalam Perang Dunia II. Bahkan sebelum menjabat perdana menteri, Abe pernah meng­utarakan keinginannya menulis ulang konstitusi Jepang, konstitusi yang bertujuan mencegah Jepang mengobarkan militerisme dalam Perang Dunia II.

Ya, tampaknya Abe memang dilahirkan untuk menjadi politikus konservatif, ultranasionalis, juga (ironisnya) menjadi Perdana Menteri Jepang. Kakeknya, Nobusuke Kishi, adalah perdana menteri setelah Perang Dunia II. Kakek pamannya, Eisaku Sato juga perdana menteri pada 1960–1970-an. Kedua orang ini negarawan konservatif. ”Dia mewarisi DNA politik kakeknya,” kata Katsuei Hirasawa, anggota Partai Liberal Demokratik (LDP) senior.

Cara pandang konservatif dan gaya ultranasionalisme yang dimiliki Abe memang terbukti cepat memikat masyarakat. Masa-masa Perang Dunia II yang kelam bisa dilupakan sejenak. Abe meragukan keberadaan jugun ianfu, para perempuan lokal yang dijadikan penghibur tentara Jepang di masa perang. Abe pun menyingkirkan kandidat-kandidat lainnya begitu Yunichiro Koizumi yang telah lelah memangku jabatan itu selama lima tahun lebih mundur. September tahun lalu, ia menjadi Perdana Menteri Jepang termuda dengan dukungan masyarakat mencapai 60 persen, menurut sebuah jajak pendapat.

Ia populer dan percaya pada resep yang simplistis: patriotisme bisa menye­lesaikan banyak masalah. Dari Koizumi, Abe mewarisi Jepang yang lebih stabil, ekonomi yang membaik, juga koalisi partai yang siap mendukung kebijakan-kebijakannya dalam aneka pertempuran politik di Majelis Tinggi.

Waktu itu, cara pandang konservatif dan ultranasionalis tengah melambung di Jepang. PM Yunichiro Koizumi sendiri secara reguler mengunjungi kuil Yakusuni—tindakan yang selalu mengundang protes keras negara-negara yang pernah jadi sasaran koloni Jepang dalam Perang Dunia II. Yakusuni adalah kuil kontroversial yang menyimpan abu para pahlawan, juga para serdadu Jepang yang dianggap terlibat kejahatan dalam perang. Sedangkan Taro Aso—kini Sekretaris Jenderal LDP dan kandidat perdana menteri—berkeyakinan, kebrutalan tentara Jepang dalam Perang Dunia II terlampau dilebih-lebihkan oleh negara-negara Asia Tenggara.

Rupanya patriotisme cepat memukau, tapi cepat pula pudarnya. Masyarakat lekas berpaling ketika serangkaian skandal berturut-turut menghantam kabinetnya. Empat orang menteri kabinet mengundurkan diri gara-gara korupsi. Bahkan salah seorang bunuh diri sesaat sebelum memenuhi panggilan parlemen. Skandal terberat terjadi karena mismanajemen: pemerintah kehilangan jutaan data klaim pensiun. Masyarakat muak. Pada puncaknya, Juli lalu, dalam pemilihan Majelis Rendah, untuk pertama kali dalam sejarah, LDP kalah telak. Sejak itu, dari kalangan LDP sendiri tumbuh oposisi yang mengharapkan Abe mundur.

Namun, Abe tidak begitu peka menghadapi ini semua. Ia bertahan, melakukan serangkaian perombakan kabinet.

Kini segalanya tentang kabinet Abe jadi tampak suram. Padahal, pada bulan-bulan pertama Abe berhasil memperbaiki hubungan dengan Korea Selatan dan Cina yang sempat rusak karena kunjungan Koizumi ke kuil Yakusuni. Tapi keberhasilan itu tak ber­ulang, dan secara perlahan antiklimaks menghancurkan citranya. Orang menarik kesimpulan: seandainya ia memilih mundur setelah kekalahan LDP dalam pemilihan Majelis Rendah, mungkin ia bisa dimaafkan, meski ia akan dicatat sebagai perdana menteri dengan pemerintahan terpendek: 10 bulan.

Entah berapa lama perdana menteri mendatang akan berkuasa. Yang terang, ancaman deadlock lantaran majelis rendah dikuasai oposisi bisa muncul sewaktu-waktu.

Pada 19 September, para pemimpin LDP akan bertemu untuk memutuskan sesuatu yang penting: memilih pengganti Abe. Dua nama telah muncul dan akan bertanding di arena LDP pekan depan. Yasuo Fukuda, 71 tahun, bekas Menteri Keuangan, juga dikenal karena kegandrungannya pada komik manga. Cukup karismatik. Dibanding dengan pesaingnya, Taro Aso, 66 tahun, Fukuda tampak lebih kalem. Sedangkan Taro Aso yang juga neokonservatif adalah mantan Menteri Luar Negeri, baik di dalam kabinet Koizumi maupun Abe.

Bagaimanapun, yang terang, keduanya bisa menarik pelajaran bahwa menggunakan sentimen nasionalis demi keuntungan politik bukan langkah yang tepat.

Idrus F.S. (Washington Post, BBC, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus