Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada hari pertama masa persidangan parlemen hasil pemilihan umum, dua legislator saling memaki. Rabu pekan lalu, di gedung parlemen Malaysia, Jalan Parlimen 50680, Karpal Singh, anggota parlemen dari partai oposisi Democratic Action Party, menampik tata cara sidang. Tapi, belum lagi protesnya berakhir, anggota parlemen dari Barisan Nasional yang berbadan bongsor, Bung Moktar Radin, menyela. Dan Singh tidak bisa terima. Ia berteriak, ”Saya harap bigfoot tidak mengganggu.” Dan Bung membalas, ”(Jika) saya bigfoot, kamu monyet besar.”
Semua adegan itu ditayangkan di televisi. Pemirsa bisa melihat pemimpin parlemen, Pandikar Amin Mulia, berusaha mengendalikan situasi dengan susah payah. Gara-gara keributan itu, sidang ditunda sekitar 20 menit.
Kekacauan kembali terjadi ketika Perdana Menteri Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi menjawab pertanyaan tentang langkah-langkah pemerintah untuk mengatasi kenaikan harga bahan bakar minyak dan pangan. Ketika Pandikar yang mencoba memegang kendali itu melarang pertanyaan lanjutan kepada Badawi, reaksi yang lebih keras muncul. Mantan pemimpin oposisi, Lim Kit Siang, menyebut dewan sebagai ”parlemen dagelan”.
Ya, sejak negara itu merdeka pada 1957, baru kali ini suasana ”anarkistis” masuk ruang sidang. Tapi semua ini diperkirakan tidak berhenti di situ. ”Kekacauan” ini barulah awal perubahan politik besar di negeri jiran itu, setelah koalisi partai berkuasa Barisan Nasional dipermalukan partai-partai oposisi dalam pilihan raya 8 Maret lalu. Untuk pertama kalinya dalam 50 tahun, Barisan Nasional kehilangan mayoritas dua pertiga kursi parlemen. Oposisi berhasil menempatkan 82 anggota parlemen dari 222 kursi yang ada.
Sampai saat ini, satu-satunya yang dianggap bertanggung jawab atas merosotnya perolehan suara Organisasi Nasional Melayu Bersatu adalah Abdullah Badawi. Ketua Organisasi Nasional sekaligus perdana menteri itu dinilai gagal mempertahankan kinerja pemerintah—sejak masa jabatan pertamanya pada 2003. Pencapaian ekonomi dinilai menurun.
Tak lama setelah hasil pemilihan umum keluar, mantan perdana menteri Mahathir Mohamad langsung menyalahkan Badawi, sekaligus memintanya mundur. Teriakan itu lalu disambut Mukhriz Mahathir, anak Mahathir. Dialah pejabat Organisasi Nasional pertama yang secara resmi meminta Badawi mundur sebagai ketua.
Pernyataan itu bagaikan virus yang cepat menyebar. Politikus Organisasi Nasional dari berbagai daerah meminta Pak Lah—panggilan Badawi—mundur. Pengurus cabang Batu Pahat, Johor, misalnya, mengadakan rapat luar biasa dan mengeluarkan resolusi mendesak Badawi mundur sebelum Desember tahun ini. ”Inilah keinginan rakyat,” ujar Mohd. Puad Zarkashi, Ketua Organisasi Nasional Melayu Bersatu Cabang Batu Pahat, dalam pertemuan akhir April lalu. Desember adalah saat Organisasi Nasional mengadakan kongres nasional, yang salah satu acaranya pemilihan ketua organisasi suku Melayu tersebut.
Sebelumnya, pada awal April lalu, 26 ketua divisi Organisasi Nasional di Johor mendesak Badawi membuat rencana transisi kekuasaan kepada Wakil Perdana Menteri Datuk Seri Najib Tun Razak. Menurut Puad, dengan dibuatnya rencana transisi kekuasaan secara tertata, peralihan kekuasaan dari Badawi ke Najib tak akan menimbulkan keguncangan.
Organisasi Nasional memang telah melakukan transisi kekuasaan dari satu pemimpin ke pemimpin lain, seperti dari Tunku Abdul Rahman Putra Al-Haj (almarhum) kepada Tun Abdul Razak (almarhum), lalu dari Mahathir Mohamad ke Abdullah Badawi. Kini diharapkan Badawi memuluskan pemindahan kekuasaan kepada Najib. ”Ini sesuatu yang harus dilakukan,” ujar Puad.
Tak kurang dari anggota Dewan Tertinggi Organisasi Nasional, Mohammad Khir Toyo, mengeluarkan suara senada. Dia khawatir, bila nakhoda tak segera berpindah tangan, Najib akan menghadapi risiko tenggelam bersama Badawi. ”Jika Pak Lah melanjutkan diri menjadi orang nomor satu, moral anggota Barisan Nasional dan Organisasi Nasional akan anjlok pada tingkat terendah, akan menyulitkan Barisan menang di pemilihan mendatang,” kata Khir.
Badawi tampaknya mengindahkan tuntutan itu. Namun dia berjanji baru akan mundur pada 2010. Badawi juga berjanji akan mendiskusikan rencana pengalihan kekuasaan dengan Najib. Lalu Desember nanti? Tampaknya, Pak Lah masih ingin mengadu keberuntungan. Dia akan tetap ikut kontes untuk kursi Ketua Organisasi Nasional. ”Memangnya kenapa saya tidak ikut pemilihan?” ujarnya menantang.
Sebenarnya kericuhan pada hari pertama itu baru kulit ari dari persoalan antaretnis yang entah sedalam apa. ”Organisasi Nasional Melayu Bersatu tidak pernah menduga dan tidak mempersiapkan diri akan datangnya hari seperti ini,” kata Profesor Clive Kessler, ahli Malaysia dari University of New South Wales, Sydney. Artinya, persatuan kaum Melayu ini tidak tahu cara menghadapi dan menangani masalah mendasar mereka: hubungan rasial akibat kebijakan yang mengutamakan etnis Melayu lebih dari 30 tahun.
Badawi tahu itu. Dia segera melakukan langkah-langkah pembenahan untuk memperbaiki kesalahan masa lalu. Itu diawali dengan reformasi kabinet, dari 90 posisi menteri menjadi hanya 70. Dia memecat beberapa anggota kabinet, baik yang diduga terlibat korupsi maupun yang tersangkut skandal lain. Rafidah Azis, Menteri Keuangan yang sudah menjabat lebih dari 20 tahun, ditendang karena diduga terkait korupsi dalam kasus pemberian izin impor mobil.
Zaid Ibrahim, pengacara yang selama ini kritis terhadap pemerintah, diangkat sebagai Menteri Kehakiman. Dia diharapkan mampu memperbaiki citra pemerintah dengan memperbaiki sistem yudisial, terutama soal penyuapan hakim dan jaksa.
Badawi juga akan mewajibkan pejabat publik mendeklarasikan kekayaan. Ini diawali para menteri di kabinetnya. Selain itu, Badan Antikorupsi yang ada akan segera dirombak menjadi lembaga yang lebih independen. Maklum, citra badan pemberantas korupsi hancur karena ketuanya tersangkut kasus korupsi tahun lalu.
Yang menarik, Badawi berbicara tentang ”Ketuanan Melayu”, kebijakan yang selama ini menguntungkan etnis Melayu, 29 April lalu. Menurut Badawi, yang dimaksud dengan Melayu adalah kemampuan warga Malaysia secara keseluruhan agar kuat secara perekonomian sehingga dapat menentukan nasib sendiri. ”Kami bukan ingin menjadi ras yang mendominasi ras lain. Kami menjadi bagian dan siap bekerja sama dengan yang lain. Etnis Melayu juga sukses bila keseluruhan warga Malaysia maju,” katanya.
Agar hal itu tidak dianggap sebagai pemanis bibir, Badawi segera mewujudkannya dalam langkah nyata. Pemerintah segera mengkaji ulang proyek-proyek besar yang diberikan ke perusahaan sahabat para petinggi Organisasi Nasional. Yang pertama dikaji adalah proyek kereta supercepat Kuala Lumpur-Singapura senilai US$ 3,2 miliar atau sekitar Rp 29,56 triliun.
Untuk memberikan kesan demokratis, Badawi berusaha membuka pintu lebih lebar bagi kebebasan pers. Partai Keadilan Rakyat akhirnya diberi izin menerbitkan media setelah menunggu selama 10 tahun. Pemerintah juga mengembalikan izin terbit Makkal Osai, koran etnis India yang dibredel karena menulis kampanye Hindraf, yang kritis terhadap pemerintah.
Nah, cukup ampuhkah langkah-langkah Badawi untuk kembali meraih dukungan di Organisasi Nasional? Itu baru bisa dilihat Desember nanti. Tapi langkah memperbaiki keadaan ini juga bisa berbalik menghantam Badawi. Beberapa pengamat memperkirakan ”orang-orang yang disingkirkan” akan berbalik menjadi musuh baru. Dan keributan pun akan bertambah luas.
Raihul Fadjri, Bina Bektiati (The Star, AFP, CNN, New Sunday Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo