Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=verdana size=1>Irak</font><br />Memancing Musuh Keluar Sarang

Undang-undang baru dengan semangat rekonsiliasi membolehkan bekas anggota Partai Baath memperoleh kembali pekerjaannya.

21 Januari 2008 | 00.00 WIB

<font face=verdana size=1>Irak</font><br />Memancing Musuh Keluar Sarang
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Sepuluh Januari, pesawat-pesawat B-1 dan F-16 Amerika Serikat nyaris meratakan kawasan permukiman Sunni di Arab Jabour, selatan Bagdad. Dalam tempo 10 menit, 18 ton bom diguyur ke daerah itu.

”Suara pengeboman paling keras dibanding yang pernah kami dengar sebelumnya,” ujar Abdullah al-Jbouri, salah seorang pemimpin Sunni di sana. Militer Amerika menuduh Distrik Arab Jabour sebagai tempat perlindungan kelompok Al-Qaidah yang merecoki Amerika di Irak.

Presiden George W. Bush memang tengah mencoba menggunakan hukuman keras bagi siapa saja yang tak sejalan dengan kebijakan Amerika di Irak, sekaligus mengambil-melunakkan hati orang sipil yang ikut jadi korban karena serangan itu. Dua hari setelah operasi militer Phantom Phoenix yang menyebabkan 300 keluarga mengungsi itu, Amerika lewat parlemen Irak memberikan ”hadiah istimewa” kepada bekas anggota Partai Baath yang umumnya berasal dari kelompok Arab Sunni.

Ya, mereka dapat memperoleh kembali pekerjaan sebagai pegawai negeri dan anggota militer Irak. Presiden Bush pun mengirim Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice ke Irak, Selasa pekan lalu, untuk memberikan dukungan. ”Ini merupakan langkah penting menuju rekonsiliasi,” ujar Presiden Bush. Bagi Amerika, undang-undang ini mahapenting untuk meringankan pekerjaan rumahnya di Irak yang dikoyak konflik sektarian, khususnya antara kelompok minoritas Sunni dan mayoritas Syiah.

Undang-undang baru yang disebut Undang-Undang Akuntabilitas dan Keadilan disahkan pada Sabtu, 12 Januari lalu, oleh 143 orang yang hadir dari 275 anggota parlemen. Berdasarkan undang-undang ini, ribuan bekas anggota Partai Baath bisa kembali mengisi pos dalam pemerintahan dan militer yang didominasi kaum Syiah. Asal saja mereka anggota Partai Baath level bawah hingga menengah dan tak terlibat dalam kejahatan politik pada masa lalu.

”Undang-undang akan memastikan anggota Partai Baath yang melakukan tindak kriminal bakal membayar kelakuan mereka,” ujar Falah Hassan Shanshal, ketua komite de-Baathifikasi di parlemen. Maka sekitar 30 ribu bekas anggota Partai Baath akan memperoleh kembali pekerjaan mereka sebagai pegawai pemerintah.

Komite de-Baathifikasi sebenarnya menjalankan program tumpas kelor untuk menghalangi bangkitnya kekuatan politik Partai Baath. Komite ini diciptakan Paul Bremer, pemimpin Pemerintah Sementara Irak, pada Mei 2003, dua bulan setelah invasi Amerika menggulingkan Presiden Saddam Hussein. Bremer menyatakan Partai Baath sebagai partai terlarang, membubarkan militer, serta mendepak sebagian besar pegawai negeri dan militer anggota level bawah Partai Baath yang punya pengalaman menjalankan mesin birokrasi kementerian. Hal yang sama diberlakukan pada orang-orang Baath di universitas dan perusahaan negara. Mirip de-Nazifikasi Jerman setelah Perang Dunia II, yakni mendepak anggota level teratas partai dari jabatan pemerintahan.

Partai Baath berkuasa di Irak sejak 1968 hingga 2003. Partai yang merupakan gerakan nasionalis sekuler Arab ini merupakan mesin kekuasaan Presiden Saddam Hussein. Diperkirakan pada 1980-an sekitar 2,5 juta warga Irak menjadi anggotanya. Kebanyakan bergabung karena hanya itulah cara meningkatkan karier mereka. Contohnya Abu Saad. Ia bergabung dengan Partai Baath agar kariernya mulus dalam Kementerian Perdagangan. Tapi, meski ia penganut Syiah, Abu Saad dipecat justru ketika mayoritas kaum Syiah memperoleh kemerdekaan setelah invasi militer Amerika pada 2003. Kini ia tak berminat memperoleh kembali pekerjaannya: takut akan pembunuhan. ”Saya lebih suka berada di rumah menghabiskan sisa hidup dalam damai daripada terbunuh saat bekerja,” katanya.

Anggota senior Partai Baath, Abu Ali, 58 tahun, pesimistis bahwa undang-undang ini akan membawa rekonsiliasi. Ada ketakutan bahwa rezim Syiah yang menguasai pemerintahan tetap akan menjadikan mereka bulan-bulanan. Banyak anggota Partai Baath dan perwira militer Irak bersembunyi atau kabur ke luar negeri untuk menyelamatkan diri dari balas dendam yang dikobarkan milisi Syiah.

”Hidup saya lebih penting daripada pekerjaan apa pun.” ujar Shihab Hamad, 47 tahun, seorang Sunni bekas kepala sekolah menengah.

Raihul Fadjri (BBC, NY Times, AFP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus