Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Cukup Delapan Tahun Saja, Chen

Partai yang dipimpin Presiden Taiwan Chen Shui-bian kalah dalam pemilu parlemen. Lantaran terlalu menggebu mengusung ide Taiwan merdeka.

21 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ingar-bingar politik Taiwan yang ultranasionalistis, provokatif, suka menantang Cina Daratan itu berakhir pekan lalu. Dalam pemilu parlemen terakhir, Partai Progresif Demokratik (DPP) yang berkuasa kalah telak dengan Kuomintang (Partai Nasional, lebih populer disebut Kuomintang).

Dari 113 kursi parlemen, Kuomintang menyabet 81 kursi (72 persen), menyisakan 27 kursi untuk DPP dan 5 kursi untuk partai-partai lainnya. ”Dengan hasil yang memalukan ini, saya menyatakan mundur sebagai ketua partai,” ujar Presiden Chen Shui-bian, sesaat setelah hasil pemilu diumumkan. Sementara ia mengalami hari-hari terakhirnya sebagai presiden (pemilihan presiden pada 24 Maret nanti), Frank Hsieh, wakilnya, kini menggantikan Chen di pucuk pimpinan DPP.

Kandasnya DPP, yang muncul bagaikan ”Daud” menundukkan ”Jalut” Kuomintang delapan tahun silam, sebetulnya sebagian besar diakibatkan bukan oleh kekuatan internal Kuomintang. Orang terpukau pada agresivitas Chen mengobarkan semangat ultranasionalistis untuk menjadikan Taiwan sebagai negara yang diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Chen bahkan mencoba menggunakan referendum PBB yang akan dilaksanakan hampir berbarengan dengan masa pemilihan presiden nanti. ”Padahal, saat menjelang pemilihan, kedua partai utama ini hanya menyinggung isu-isu domestik, tak pernah menyangkut Cina,” ujar analis politik Shirong Chen.

Beijing sendiri sejauh ini belum memberikan komentar atas kemenangan Kuomintang. Beijing tetap konsisten menganggap Taiwan sebagai ”anak nakal” dalam keluarga, dan emosinya selalu terpancing setiap kali mendengar isu kemerdekaan Taiwan muncul. Selama ini Cina selalu mengancam akan mengerahkan kekuatan militer, baik lewat media massa maupun rangkaian uji nuklir di sekitar Formosa. Kini Beijing menggunakan tangan orang luar (baca: Amerika dan Prancis) menentang referendum Taiwan di PBB.

Chen sangat alergi terhadap Cina. Sebagai politikus muda yang lahir setahun setelah Taiwan berdiri pada 1949, ia praktis tak punya ikatan emosional dengan Cina Daratan. Pakar hukum dagang ini tumbuh dalam semangat ”anti-Cina” yang, uniknya, justru disemaikan Kuomintang pada era Chiang Kai-sek. Maklum, yang disebut Cina pada saat itu adalah supremasi Partai Komunis Cina pimpinan Mao Zedong, lawan yang menundukkan Kuomintang dalam perang saudara. Meski begitu, Chiang tetap mempertahankan nama Republik Cina sebagai identitas para eksil untuk membedakan dengan nama Republik Rakyat Cina yang digunakan Mao.

Identitas Republik Cina tersebut dilanjutkan Chiang Ching-kuo, putra Chiang Kai-sek yang juga menjadi Ketua Kuomintang (1975-1988) dan presiden (1978-1988) sampai saat meninggalnya pada 13 Januari 1988. Chen Shui-bian terpilih sebagai presiden juga lantaran munculnya dua calon kembar yang mengakibatkan pecahnya suara Kuomintang. Dengan hanya meraih 39 persen suara, Chen pun menjadi presiden pertama dari kubu oposisi.

Pada saat mengucapkan sumpah jabatan, Chen mengumumkan konsep ”Empat Tidak dan Satu Tanpa” (Four Noes and One Without). Inti konsep itu adalah sepanjang RRC tak menggunakan kekuatan militernya untuk mengancam Taiwan, ia tak akan mengumumkan kemerdekaan Taiwan dan tak akan juga mengganti simbol-simbol negara yang dipakai selama ini. Popularitasnya melonjak hingga 70 persen saat itu.

Namun, menjelang tahun kedua jabatannya, Chen tak lagi menunjukkan sikap kompromistis. Ia memelopori penggunaan kata ”Taiwan” pada paspor warga yang semula tertulis Republik Cina. Kendati sikap ini disokong sejumlah kecil generasi muda Taiwan, romantisme yang bercokol di hati generasi yang lebih tua tampaknya belum dapat sepenuhnya dimengerti Chen. Pelan-pelan popularitasnya menurun, terutama pada masa jabatan kedua sebagai presiden, ketika istrinya Wu Shu-chen dan tiga pejabat di kantor kepresidenan dituduh melakukan korupsi US$ 460 ribu (sekitar Rp 4,5 miliar) lewat pemalsuan dokumen. Apalagi inilah cacat kedua Chen setelah menantunya, Chao Chin-ming, diseret ke pengadilan dengan tuduhan melakukan insider trading.

Di antara aneka deraan itu, semangat Chen membentuk Taiwan yang mandiri tak juga surut. Yang paling kontroversial tatkala Chen meresmikan renovasi atas sebuah monumen raksasa yang sejak 1980 digunakan sebagai penghormatan untuk Chiang Kai-sek, pas tahun baru 2008. Caranya? Patung perunggu Chiang setinggi 10 meter dibiarkan tetap berdiri, tapi patung para pengawal kehormatan di sekeliling Chiang dirobohkan diganti dengan nama-nama rakyat sipil yang menjadi korban menuju Taiwan yang demokratis.

Itulah simbol Taiwan baru yang akan ”terbang tinggi”, terputus dari Cina dan nama besar Chiang Kai-sek. Chen menempatkan sekitar 300 layang-layang merah di sekitar patung itu. ”Kita baru saja mengubah sebuah tempat pemujaan terhadap seorang diktator otoriter menjadi tempat masyarakat Taiwan untuk merenung, mempelajari, dan mendalami apa yang disebut demokrasi dan hak asasi manusia,” ujarnya di depan sekelompok undangan.

Ironis, tak sampai dua pekan kemudian partainya sendiri yang ”terbang tinggi” di atas gedung parlemen itu. Partai Chen tak lagi menawan bagi para pemilih.

Akmal Nasery Basral (Guardian, BBC, New York Times)


TAIWAN (Republik Cina)

Jumlah penduduk: 22,8 juta (Juli 2007) GDP: US$ 681,8 miliar GDP (per kapita): US$ 29.600 Tingkat inflasi: 0,6 % Kelompok etnik:

  • Taiwan (termasuk Hakka) 84 %
  • Cina Daratan 14 %
  • Lainnya 2 % Jumlah tenaga kerja: 10,52 juta Sektor Pekerjaan:
  • Pertanian: 5,5 %
  • Industri: 36 %
  • Jasa: 58,5 % Pengangguran: 3,9% Warga miskin: 0,9%

    Sumber: CIA The World Factbook, Desember 2007

    METAMORFOSIS TAIWAN

    1544 Pelaut Portugis sampai di sebuah pulau yang mereka sebut ”Ilha Formosa” yang berarti ”pulau indah” namun tak menjadikan wilayah itu sebagai bagian koloni mereka. Sejak itu pulau tersebut dikenal sebagai Formosa.

    1624 Belanda membuat pusat perdagangan pertama di Tayoan (sekarang Anping), serta mendatangkan penduduk Fujian dan Penghu sebagai pekerja. Para serdadu Belanda ditempatkan di Kastil Zeelandia (sekarang Benteng Anping).

    1945 Beberapa saat sebelum kekalahan telak Jepang pada Perang Dunia II, negeri itu masih mencoba menjadikan Taiwan sebagai bagian dari Kekaisaran Jepang. Usaha itu pupus setelah Jepang mengaku kalah pada 15 Agustus.

    25 Oktober 1945 Pemerintah Republik Cina (ROC) mewakili tentara Sekutu menerima penyerahan diri tentara Jepang di Taihoku. Administrator ROC, Chiang Kai-sek, mengumumkan hari itu sebagai Hari Restorasi Taiwan.

    28 Februari 1947 Terjadi pemberontakan masyarakat Taiwan terhadap militer ROC yang dipimpin Chen Yi, jenderal yang dianggap korup oleh masyarakat. Banyak warga sipil yang tewas dan selama bertahun-tahun kemudian peristiwa itu tak dicatat dalam sejarah resmi Cina. Baru pada 1995 Presiden Lee Teng-hui mengumumkan secara terbuka tragedi yang disebut Insiden 228 itu—mengacu pada tanggal dan bulan kejadian.

    1949 Perang saudara berkobar di Cina Daratan. Chiang Kai-sek membawa anggota Kuomintang, partai yang berdiri pada 1912, sebagai pecundang ke Taiwan. Di Cina, partai komunis yang muncul sebagai pemenang mengumumkan berdirinya Republik Rakyat Cina. Sedikitnya 1,3 juta orang bermigrasi dari Cina ke Taiwan.

    1986 Partai Progresif Demokratik (DPP) berdiri pada 28 September sebagai partai oposisi pertama yang anti-Kuomintang. Selama lima tahun pertama DPP dianggap ilegal, dan tujuan partai pun belum secara transparan menyebutkan mereka ingin membentuk sebuah Taiwan Merdeka.

    2000 Setelah lebih dari setengah abad berkuasa, untuk pertama kalinya Kuomintang kalah dalam pemilihan presiden. Lee Teng-hui, Ketua Kuomintang yang menjadi presiden hasil pemilu pertama Taiwan (1988-2000), memberikan kursi kepresidenan kepada Ketua DPP Chen Shui-bian. Lee kemudian keluar dari Kuomintang dan mendirikan partai oposisi baru Persatuan Solidaritas Taiwan (TSU).

    2004 Chen Shui-bian kembali terpilih untuk masa jabatan kedua. Semangatnya untuk menjadikan Taiwan yang melepaskan diri dari Cina semakin kental. Ia mengumumkan, misalnya, perubahan nama BUMN seperti China Airlines, Chine Steel Corporation, atau China Petroleum dengan menggantikan kata ”China” dengan ”Taiwan”.

    2008 Kuomintang kembali menang pemilu parlemen. Pemilu presiden pada 22 Maret akan menunjukkan siapa yang paling berpengaruh di Taiwan saat ini: Kuomintang atau DPP. Bursa presiden terbuka antara Frank Hsieh (DPP) dan Ma Ying-jeou (Kuomintang).

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus