Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAJAH-wajah kaku berjejer di depan pintu kamar nomor 5, Paviliun Cenderawasih III, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Dua polisi mondar-mandir di lorong. Mereka bersiap menyambut Kanjeng Pangeran Haryo Rusdihardjo meninggalkan rumah sakit itu, Rabu pekan lalu.
Sekitar pukul 17.00, mantan Kepala Kepolisian RI itu keluar dari bilik rawat inap yang bertarif Rp 400 ribu per hari tersebut. Belasan orang, termasuk istri dan anak mantan Duta Besar RI untuk Malaysia itu, membuntuti. Mengenakan jaket biru gelap, Rusdihardjo terkulai di kursi roda.
Melihat bekas pemimpinnya muncul, dua polisi tadi segera mengangkat hormat. Keduanya bergegas menyibak lalu-lalang pembesuk. Lorong paviliun sepanjang seratus meter yang ramai orang itu menjadi leluasa dilalui Rusdihardjo.
Ami, anak sulung Rusdihardjo, sibuk bercakap di telepon selulernya. ”Mohon doanya, Bapak masih di rumah sakit,” kata Ami kepada penelepon di seberang.
Syal berwarna abu-abu melilit leher Rusdihardjo, hingga menutupi dagu. Rambut putihnya tak disisir, menambah kusut paras pensiunan jenderal polisi yang kini berusia 63 tahun itu. Padahal, ketika Tempo mewawancarainya dua bulan lalu, ia bilang tubuhnya masih kokoh. ”Saya rajin aerobik dan rutin naik gunung,” katanya ketika itu.
Hampir semua puncak gunung di Indonesia pernah dipanjatnya. Di akhir masa jabatannya sebagai duta besar, Rusdihardjo mendaki Kinabalu, gunung tertinggi di Malaysia, 4.905 meter. Tapi pekan lalu, ketika akan masuk mobil Innova hitam milik Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjemputnya, ia terpaksa digotong.
Kendaraan yang biasa dipakai mengangkut tahanan ini melesat menuju Markas Besar Kepolisian RI di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Tak sampai satu jam, Rusdihardjo tiba di tahanan Mabes Polri, yang dijaga bekas anak buahnya. Karena harus menunggu serah-terima dari KPK ke Kepolisian, ia tak langsung menempati selnya.
Pada saat penantian itulah datang laporan, ruang tahanan sudah penuh. Dengan kapasitas untuk 20 orang, malam itu seluruh sel telah dihuni 55 tahanan. Pilihannya, Rusdihardjo dibawa ke Markas Brimob di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Sel di Markas Brimob lebih longgar dan lebih nyaman ketimbang ruang tahanan di Jalan Trunojoyo. Menurut Kepala Bidang Penerangan Umum Markas Besar Kepolisian RI Komisaris Besar Bambang Kuncoko, pemindahan ini setahu KPK. ”Bukan karena Pak Rusdi bekas Kapolri,” katanya.
Penjemputan Rusdihardjo dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dipimpin dua jaksa dari KPK, Edy Hartoyo dan Suwardi. Tak ada sorotan kamera televisi atau kerumunan wartawan meliput. Suasananya berbeda dengan ketika Rusdihardjo datang memenuhi panggilan KPK pada Senin, 14 Januari lalu.
Ketika itu, rame kabar, Rusdihardjo akan langsung ditahan. Puluhan wartawan menongkrongi gedung KPK. Ternyata, setelah delapan jam diperiksa, Rusdihardjo tak langsung ditahan. Sudah di atas kursi roda, ia dikirim ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mengecek ulang kesehatan.
KPK membutuhkan pendapat pembanding (second opinion) hasil rekam medis tersangka yang diperoleh dari Rumah Sakit Medistra, Jakarta. Di Medistra, Rusdihardjo dirawat selama 10 hari.
Menurut salah seorang petugas medis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, selama dua hari Rusdihardjo tidak menjalani pengobatan apa-apa. ”Kami hanya diminta mengobservasi.”
Hasil observasinya, Rusdihardjo dinyatakan tidak memerlukan rawat inap yang mendesak dan tidak harus dioperasi. ”Atas dasar ini, KPK resmi menahan Rusdihardjo,” kata juru bicara KPK, Johan Budi S.P. ”Penahanan terhitung sejak 16 Januari, pukul 19.00.”
Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah menambahkan, penahanan Rusdihardjo diperlukan karena perkaranya sudah masuk tahap penuntutan. Selama menjadi duta besar di Malaysia, tersangka diduga menerima pungutan liar sekitar Rp 2 miliar. Kasusnya segera diserahkan ke pengadilan. ”Kami punya waktu 14 hari sejak tersangka ditahan,” katanya.
Elik Susanto, Widi Nugroho, Desy Pakpahan, Bagja Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo