Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satu ledakan tunggal menggelegar sekitar pukul 10 pagi di kawasan pedalaman, sekitar 80 kilometer di timur laut Kilju, kota di utara Korea Utara, Senin pekan lalu. Dunia segera tahu bahwa itu bukan ledakan biasa, tapi sebuah uji coba nuklir dari kedalaman 10 kilometer di bawah tanah.
Ribuan penduduk Pyongyang, termasuk pejabat senior militer dan partai, berkumpul di dalam stadion merayakan keberhasilan tes nuklir itu. ”Tes ini adalah tindakan agung untuk melindungi negeri kami dari serangan nuklir imperialis Amerika Serikat,” ujar Choe Thae Bok, pejabat Partai Pekerja Korea Utara.
Di seberang laut, lembaga survei geologis Amerika segera mencatat guncangan seismik yang dihasilkan ledakan itu setara dengan gempa bumi 4,6 skala Richter. Guncangan ini lebih besar tinimbang ledakan uji coba nuklir Korea Utara pada 2006, yakni 4,1 skala Richter.
Paranoia negara Barat terhadap Korea Utara pun kambuh. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa segera menggelar sidang darurat dan menyusun resolusi yang mengecam percobaan nuklir itu. Duta Besar Amerika untuk PBB, Susan Rice, menginginkan hukuman keras dalam resolusi baru untuk Korea Utara. Begitu pula Jepang. ”Ini pelanggaran berat hukum internasional dan satu ancaman terhadap perdamaian dan keamanan dunia,” ujar Rice.
Koran resmi Korea Utara Minju Joson menyatakan, adalah menggelikan jika Amerika dan Jepang berpikir dapat menekuk Pyongyang dengan sanksi. ”Kami hidup di bawah sanksi Amerika puluhan tahun,” tulis koran itu. ”Kebijakan bermusuhan terhadap kami seperti menggebuk batu karang dengan telur busuk.”
Tak mengherankan, pada saat resolusi itu mulai disusun sehari setelah ledakan itu, Korea Utara malah menembakkan dua rudal jarak pendek, rudal darat ke laut dan rudal darat ke udara, dari pangkalan militer di pantai timur. Rangkaian uji coba itu segera menimbulkan pertanyaan seberapa besar kekuatan nuklir Korea Utara saat ini.
Menurut Martin Kalinowski, dosen Universitas Hamburg, Jerman, ledakan nuklir itu setara dengan ledakan 3 hingga 8 kiloton bahan peledak TNT. Satu kiloton sama dengan ledakan 1.000 ton TNT. Sebagai pembanding, ledakan bom nuklir Amerika di Jepang pada Perang Dunia II adalah 15 hingga 21 kiloton.
Perkiraan paling besar justru datang dari Kementerian Pertahanan Rusia, yang menyatakan kekuatan ledakan itu 10 hingga 20 kiloton, yang setara dengan bom Amerika Serikat yang meratakan Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945. Tapi, menurut Jeffrey Lewis, direktur lembaga strategi nuklir New America Foundation di Washington, sulit mengetahui kekuatan ledakan itu. ”Mungkin sekitar 1,5 kiloton,” katanya.
Negara Barat menduga Korea Utara punya cukup plutonium untuk menghasilkan enam bom nuklir. Kemampuan ini sejatinya tak berarti dibandingkan senjata masif negara nuklir dunia macam Amerika, Rusia, Cina, dan bahkan pendatang baru kelompok nuklir seperti Pakistan. Toh, cap ”poros setan” yang dilekatkan bekas Presiden George Walker Bush pada Korea Utara menjadikan negara ini tampak menakutkan.
Ketakutan itu tampak dari pendapat sejumlah analis militer. Charles Vick, misalnya. Ahli rudal dari Global Security, Amerika, ini menilai uji coba itu membuktikan desain hulu ledak nuklir Korea Utara berjalan mulus. ”Tantangan berikutnya adalah mengurangi berat hulu ledak itu separuhnya, dan kemudian mengintegrasikan hulu ledak itu ke rudal,” ujarnya.
Dugaan Vick diamini Yoon Deok-min. Dosen di Institut Masalah Luar Negeri dan Keamanan Nasional Korea Selatan ini yakin, Korea Utara berada dalam proses membuat miniatur teknologi untuk menempatkan hulu ledak nuklir pada rudal. ”Keberhasilannya hanya soal waktu,” ujar Yoon. Du-hyeogn, peneliti pada Lembaga Analisis Pertahanan Korea Selatan, memperkirakan keberhasilan program Korea Utara meletakkan hulu ledak nuklir ke rudalnya hanya butuh waktu lima tahun.
Keberhasilan Korea Utara itu merupakan mimpi buruk bagi skenario keamanan regional. Sebab, Pyongyang telah menempatkan rudal balistik jarak menengah yang mampu menjelajah jarak 3.000 kilometer. Rudal ini dengan mudah melibas Korea Selatan, Jepang, dan bisa mencapai Kepulauan Guam di Pasifik milik Amerika Serikat.
Bagi Yoon, uji coba nuklir itu sangat kuat kaitannya dengan peluncuran roket Korea Utara dengan daya jelajah menengah melewati Jepang dan nyemplung di Pasifik dua bulan lalu. Meski Pyongyang mengaku peluncuran roket itu untuk kepentingan proyek satelit, Amerika, Korea Selatan, dan Jepang percaya bahwa peluncuran roket itu sebagai uji coba teknologi rudal balistik.
Korea Utara sebenarnya telah menghentikan pengayaan bahan bakar nuklir lewat kesepakatan internasional pada 2007, dengan membekukan aktivitas reaktor Yongbyon, yang ditandai dengan merobohkan menara pendingin di kompleks nuklir itu. Imbalannya, pasokan bahan bakar minyak, keuntungan hubungan diplomatik, dan jaminan keamanan. Tapi belakangan Pyongyang membatalkan kesepakatan itu.
Analis lain menduga, uji coba ini merupakan bagian dari rencana pemimpin Korea Kim Jong-il, 67 tahun, mencengkeram kekuasaannya. Kim, yang dikabarkan mendapat serangan stroke pada Agustus tahun lalu, ingin mewariskan kekuasaan ke anak ketiganya, Kim Jong-un. ”Kim sedang mencoba (dengan uji coba nuklir ini) membuat kader dan elite politik untuk meyakinkan bahwa pemegang kekuasaan adalah keluarganya,” ujar Peter Back, ahli Korea dari American University di Washington.
Kim pula yang kemudian memutuskan mengakhiri kesepakatan gencatan senjata yang diteken dua Korea pada 1953. Kesepakatan itu telah menghentikan Perang Korea selama tiga tahun (1950-1953). Pencabutan kesepakatan gencatan senjata memaksa militer Korea Selatan meningkatkan keamanan di perbatasan.
Di angkasa, satelit Amerika menangkap tanda-tanda uap menyelimuti reaktor nuklir Yongbyon sebagai indikasi proses pengayaan bahan bakar nuklir dimulai.
Raihul Fadjri (AP, AFP, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo