Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Iring-iringan mobil jenazah membelah udara dingin yang membekap Seoul, Jumat pagi pekan lalu. Sirene kendaraan polisi terdengar meraung-raung di sepanjang jalan menuju Istana Gyongbok di pusat kota. Di pinggir jalan, sekitar 5.000 warga Seoul berdesakan menyaksikan mobil hitam berkalung bunga berjalan pelan. Tak kurang dari 15 ribu polisi anti-huru-hara diterjunkan mengamankan prosesi pemakaman.
Di dalam mobil, terbungkus keranda, terbaring tubuh bekas presiden Roh Moo-hyun. Sabtu pagi, hampir dua pekan lalu, tubuhnya melayang jatuh dari perbukitan kapur di kampung halamannya di Bongha, Provinsi Gyeongsang, sebelah selatan Korea. Pemerintah mengeluarkan pernyataan, kematian presiden yang berkuasa pada periode 2003-2008 itu disebabkan bunuh diri.
Jerit histeris dan isak tangis terdengar ketika mobil melewati kerumunan orang. ”Dia martir! Dia tidak bersalah!” terdengar teriakan dari tengah kerumunan. Sebagian besar mengenakan pakaian berwarna kuning, yang menjadi warna partai Roh, Partai Uri.
Pemakaman Roh berlangsung dengan upacara kerajaan. Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak tampak di antara tamu kehormatan. Tampak pula mantan presiden Kim Young-sam dan Kim Dae-jung, yang dikenal sebagai pendukung Roh. Setelah prosesi pemakaman, jenazah Roh dibawa ke sebuah kuil di kampung halamannya di Bongha.
Dalam pidato pemakamannya, Perdana Menteri Korea Selatan Han Seung-soo menyebut Roh sebagai ”kesatria hak asasi manusia, memerangi otoritarian dan menegakkan demokrasi”. Rakyat Korea, kata Han, akan melanjutkan jejak Roh yang telah merintis rekonsiliasi, persatuan, dan pertum-buhan Korea yang lebih baik.
Perkabungan tak saja berlangsung di Korea Selatan, tapi juga di sejumlah negara sahabat. Di kantor Kedutaan Besar Korea Selatan di Washington, DC, Amerika Serikat, Menteri Luar Negeri Hillary Clinton menyampaikan penghormatan di depan foto Roh dan menulis kata kenangan di buku tamu. ”Bekas presiden Roh adalah sosok yang berjasa besar bagi proses rekonsiliasi Korea,” kata Hillary.
Inilah akhir yang tragis bagi Roh. Lima tahun berkuasa, ia dikenal sebagai sosok yang membawa demokrasi di tengah kekuasaan konservatif yang mewarnai pemerintah Korea Selatan selama puluhan tahun. Ia pula yang merintis dibukanya kembali hubungan dua negara serumpun di Semenanjung Korea. Pemerintah Roh bahkan membuka jalur kereta api khusus yang menghubungkan dua desa berdekatan di dua negara itu. Di bawah Roh pula Amerika Serikat merasakan hubungan yang nyaman dengan Korea yang menampakkan wajah yang lebih demokratis.
Roh, yang memulai kariernya sebagai pengacara, sudah lama dikenal sebagai pendukung demokrasi. Ia ikut turun ke jalan dan dipukuli polisi ketika menggerakkan demonstrasi buruh pada 1980-an melawan diktator Chun Doo-hwan. Usianya yang relatif muda, 56 tahun, ketika menjabat presiden membuatnya menjadi tumpuan harapan rakyat Korea. Apalagi, bersama partainya yang didominasi kaum demokrat, Roh berjanji memberantas korupsi yang terus melekat di tubuh pemerintah.
Namun, baru setahun berkuasa, Roh sudah diguncang masalah. Partainya terus-menerus dilanda skandal dan perseteruan. Parlemen bahkan sempat mengajukan mosi tak percaya kepada Roh dan membekukan pemerintahnya pada 2004, tapi ia selamat karena Mahkamah Konstitusi menggugurkan mosi dan mengembalikannya ke kursi presiden.
Guncangan yang lebih besar datang tahun lalu, tepat di akhir pemerintahannya. Roh dituding terlibat skandal yang menyeret istri dan juru bicaranya. Ia disebut-sebut menerima suap senilai US$ 5 juta atau sekitar Rp 55 miliar dari pengusaha sepatu Park Yeon-cha untuk memuluskan bisnis. Istrinya juga disebut kerap menerima barang mewah berupa jam tangan dan perhiasan dari pengusaha.
Turun dari jabatan pada Februari 2008, Roh tak benar-benar menghadapi tuntutan hukum. Namun partai lawan, Nasional Raya, menggunakan kesempatan ini untuk menjatuhkan pamor Uri. Pada April 2008, tanpa banyak hambatan, Lee Myung-bak naik menggantikan Roh.
Baru pada awal April lalu, dugaan suap itu berubah menjadi tuntutan hukum. Roh, yang menghabiskan waktu di kampung halamannya dengan bertani dan beternak bebek, dinyatakan terlibat dalam serangkaian kasus suap, penggelapan pajak, dan sejumlah kesalahan manajemen di tubuh pemerintah pada 2004-2007.
Di depan pendukungnya, Roh sempat menyampaikan permintaan maaf karena sudah mengecewakan mereka. ”Saya sudah mempermalukan diri sendiri dan mengecewakan kalian,” katanya dalam pernyataan resmi yang disiarkan secara nasional.
Rupanya, kasus hukum itu pula yang membuat Roh berpikir untuk mengakhiri nasibnya. Di sebuah perbukitan kapur, tempat ia biasa mendaki dan bersepeda, Roh memutuskan bunuh diri dengan menerjunkan diri.
Jenazahnya ditemukan Sabtu pagi sekitar pukul 06.25. Polisi setempat mengatakan Roh sempat mengunjungi kuil tempat orang tuanya diperabukan. Roh juga menyuruh pengawalnya yang datang menyusul untuk turun. Dalam kesaksian kepada tim penyidik, pengawalnya mengaku berbicara dengan Roh selama 20 menit sebelum dia melompat ke bawah bukit kapur.
Kematian Roh yang mendadak ini mengejutkan rakyat Korea. Sebagian besar menyebut ada konspirasi politik di balik tudingan suap. Menurut mereka, Roh hanyalah korban dari tarik-menarik politik berlawanan dalam parlemen Korea. Bahkan istrinya, Kwon Ryang-suk, mengatakan tindakan nekat Roh didorong oleh sikap konservatif.
”Saya bukan pendukung Uri, tapi saya yakin Roh hanya korban dari ketidaksukaan pihak konservatif pada pertumbuhan demokrasi di Korea Selatan,” kata Bo Hang-sik, seorang akuntan di Seoul. Namun pemerintah menolak tudingan itu. Presiden Lee juga memutuskan menutup penyidikan kasus suap yang melibatkan Roh. Sejumlah pengamat yang pesimistis menyebutkan langkah ini secara tak langsung akan menyelamatkan partai konservatif yang juga dipenuhi pejabat korup dan doyan menerima suap.
Tak jelas bagaimana pemerintah Korea akan melewati masa sesudah kematian Roh, mengingat kecaman kian gemuruh mengarah ke partai Lee. Sebagaimana yang ditulis Roh dalam surat terakhirnya, ”Sudahlah, saya tak ingin jadi beban bagi banyak orang. Saya tak bisa menanggung malu. Perabukan saja saya dan tanamlah sebuah batu peringatan di dekat rumah saya. Itu sudah lama saya pikirkan.”
Angela Dewi (AFP, BBC, Reuters, TheChosunilbo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo