Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=verdana size=1>Palestina</font><br />Dari Jalur Gaza Ke Yerusalem

Serangan Israel ke Gaza dibalas pembantaian di sekolah agama. Sementara itu, perundingan damai Israel-Palestina tak akan berhasil baik tanpa melibatkan Hamas.

10 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Malam Jumat pekan lalu, di madrasah Yahudi atau yeshiva Mercaz Harav yang hening di Yerusalem Barat, seorang bersenjata menyelinap masuk, mengeluarkan AK-47 dari sebuah kotak, dan mulai menembak. Di perpustakaan sekolah itu horor pecah: tubuh para siswa usia 20-an tahun malang-melintang di lantai; darah dan Talmud berceceran. Delapan siswa tewas, sembilan luka-luka. Hanya stasiun televisi Al-Manar milik kelompok Hizbullah di Libanon yang menyingkap latar belakang si penembak. Ia Ala Hashem Abu Dhaim, 25 tahun, dari Kelompok Pembebasan Galilea dan Martir Imad Mughniyah—diambil dari nama pemimpin senior Hizbullah yang terbunuh di Damaskus bulan lalu.

Abu Dhaim memang tidak menjemput kematian dengan cara yang biasa ditempuh orang-orang Hamas: meledakkan diri hingga berkeping-keping. Ia terus menembak sampai akhirnya seorang polisi menghentikannya dengan peluru senapan. Namun, di Jalur Gaza, Hamas dan kelompok militan yang terlibat dalam pertempuran lima hari melawan pesawat-pesawat tempur F-14, buldoser, helikopter Apache, dan tank-tank Israel yang dilengkapi rudal dua pekan itu larut dalam sukacita. Seorang Palestina warga Yerusalem dari kelompok yang tak terkenal itu telah membalas angkara murka pasukan Israel di Jalur Gaza. Ya, operasi militer Israel yang menewaskan hampir 130 orang Palestina, termasuk para milisi, orang tua, perempuan, dan bayi.

”Ini reaksi wajar terhadap tindakan kriminal Israel di Gaza,” begitu pernyataan resmi Hamas, ”Kami memberkati aksi ini dan memastikan bahwa itu bukan yang terakhir kalinya.”

Semua berawal dari satu titik: ketika kiriman rutin roket home-made Hamas—namanya Qassam—ke daerah-daerah perbatasan di Israel selatan membawa korban. Seorang warga kota Sderot tewas, kemudian Israel memutuskan akan memberi pelajaran tak terlupakan kepada Hamas dan orang-orang yang mendukungnya. Maka, pada Sabtu tengah malam dua pekan lalu, pasukan Israel menyeberangi perbatasan, menerobos kota Jabaliyah, bergerak dari satu rumah ke rumah penduduk, menghancurkan gardu-gardu listrik, dan dalam keadaan gelap-gulita menembak segala yang bergerak.

Pasukan Israel ingin menanamkan logika di kepala semua warga Gaza bahwa Hamaslah yang bertanggung jawab atas semua kesengsaraan ini. Di Jalan Al-Quds, belahan timur Jabaliyah, dekat sebuah warung internet, pasukan Israel yang bertahan di rumah keluarga Muhammad Abu Shbak menembak mati Iyad, putra tuan rumah yang berusia 16 tahun. Saat itu, Iyad sekeluarga disekap dalam kamar ketika pasukan Israel menggunakan rumahnya untuk menembaki milisi Hamas. Iyad kemudian tak tahan; ia ingin buang air dan melangkah ke kamar mandi. Saat itulah salah seorang serdadu menembak dadanya. Jacqueline, 17 tahun, kakak perempuannya, berlari hendak menolong sang adik yang rebah berdarah, tapi seorang serdadu Israel lainnya menembak kepalanya. Malam itu, keluarga Muhammad Abu Shbak—ia sama sekali bukan pendukung Hamas—kehilangan dua anaknya.

Di pinggir jalan Al-Quds yang ramai dan porak-poranda itu kini berdiri tenda-tenda putih, dihuni warga yang rumahnya nyaris rata dengan tanah. Hampir setiap tenda menyimpan cerita kematian salah seorang anggota keluarganya.

Israel akhirnya menarik seluruh pasukannya dari Gaza, Senin pekan lalu, meski orang mulai meragukan keberhasilan operasi militer itu. Israel hanya kehilangan dua serdadunya, tapi dua hal yang melatarbelakangi serangan itu seperti tak terjangkau. Hamas tidak menjadi lemah dan masyarakat di Gaza yang lelah dengan kekerasan umumnya tak dengan serta-merta menyebut Hamas biang keladi kehancuran itu. Apalagi, dalam sebuah pertemuan terbuka di Gaza City, Hamas mulai menempuh diplomasi gaya Hizbullah di Libanon. Mahmud Zahar, salah seorang pemimpin Hamas, telah berjanji akan membangun kembali rumah-rumah yang hancur akibat serangan Israel.

Pendapat Ahmad Burai, 27 tahun, warga Gaza City, mungkin mewakili suara masyarakat umum di Gaza. ”Secara pribadi saya tidak setuju dengan Hamas yang rajin menembakkan roket ke Israel, tapi kalau Anda terus-menerus didesak ke sudut, Anda pun akan melawan,” katanya.

Hamas yang keras—mereka menolak mengakui Israel, tidak mau menghentikan perlawanan bersenjata—memang bukan pecundang. Dalam pemilihan parlemen yang demokratis dua tahun lalu, kelompok berbendera hijau ini berhasil menyapu suara mayoritas. Rupanya itulah kemenangan yang mencemaskan banyak pihak. Hamas tak juga berubah: kelompok yang berjanji menghapus negara Yahudi itu dari muka bumi. Maka, Amerika Serikat, Israel, dan Uni Eropa melupakan bahwa Hamas pemenang pemilihan parlemen 2006, seraya meyakini bahwa Hamas organisasi teroris, lantas bergerak bersama menggencet kelompok pesaing Fatah itu.

Ketiganya melancarkan embargo ekonomi, lebih-lebih setelah Hamas yang tengah berseteru melawan kelompok Fatah itu kemudian mengambil alih Gaza, delapan bulan silam. Di Jalur Gaza, 1,5 juta penduduk hidup serba tercekik dengan jatah bahan makanan pokok dan obat-obatan sangat pas-pasan. Gaza terisolasi, begitu juga Hamas. Perundingan damai Timur Tengah yang dimotori Presiden Amerika Serikat Geroge W. Bush melenggang terus tanpa Hamas. Itulah perundingan damai dengan pamor internasional yang tinggi tapi nyaris tanpa legitimasi domestik Palestina.

Mahmud Abbas, Presiden Otoritas Palestina yang mewakili Palestina dalam perundingan itu, memang tidak dalam posisi menyenangkan. Ia terjepit di tengah-tengah. Bahkan terpaksa meneruskan perundingan setelah sempat meradang keras terhadap kesewenang-wenangan Israel di Jalur Gaza. Abbas menghentikan pembicaraan (sementara), tapi kemudian menyatakan siap melanjutkan setelah mendapat tekanan Amerika Serikat.

”Abbas bersalaman dengan Ehud Olmert (Perdana Menteri Israel) dan pada saat yang sama Olmert memberikan perintah membunuh kita,” begitu Mahmud Qalaja, 20 tahun, seorang mahasiswa di Gaza City, melukiskan ironi. Qalaja menyalahkan Hamas dalam serangan mutakhir Israel ke Gaza itu, tapi ia melihat terlalu banyak kepentingan negara-negara luar—termasuk kepentingan George W. Bush yang bernafsu menggoreskan namanya sebagai juru damai Timur Tengah—dalam perundingan itu.

Perundingan yang tak lengkap, menurut Ali Abuminah dari Palestine Center di Washington DC. ”Jika kita tidak mau berbicara dan berunding (dengan Hamas), kita hanya berpura-pura seakan mereka tidak ada,” katanya.

Kini dunia mengalihkan pandangannya dari Jalur Gaza ke Yerusalem Barat, ke yeshiva Mercaz Harav. Israel tak akan menunda perundingan damai, tapi ia berjanji akan memburu orang yang bertanggung jawab sampai ke kolong langit mana pun. Amerika Serikat, negara-negara Eropa, tak terkecuali Mahmud Abbas mengutuk dan mengecam pembantaian itu. Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon menyebut aksi itu ”serangan biadab”, tapi Dewan Keamanan PBB gagal mengeluarkan pernyataan yang mengutuk. Wakil dari Libya dan beberapa negara lain tidak setuju jika pernyataan itu hanya mengecam pembantaian di Yerusalem Barat tanpa menyebut serangan Israel di Gaza yang menimbulkan banyak korban di kalangan sipil.

Idrus F. Shahab (BBC, CNN, Washington Post, New York Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus